Oleh : Dwi Sri Utari, S.Pd
(Praktisi Pendidikan dan Aktivis Dakwah Politik Islam)
“Sosok ibu memiliki peran penting dalam pembangunan di Kabupaten Bandung.” Pernyataan tersebut disampaikan oleh Bupati Kabupaten Bandung M Dadang Nasser selepas upacara peringatan hari ibu nasional di Bale Rame Sabilulungan, Soreang, Kabupaten Bandung, pada Selasa 22 Desember 2020. Kaum ibu dinilai olehnya memberikan kontribusi penting dalam peningkatan ekonomi di Kabupaten Bandung melalui berbagai UMKM dimana kaum ibu sebagai peggeraknya. Namun, apakah dengan meningkatkan daya kontribusi kaum ibu dalam pembangunan ekonomi daerah sejalan dengan mingkatnya taraf ekonomi keluarga sehingga terwujud keluarga yang sejahtera dan bahagia?
Kaum ibu mendapat pujian dari Dadang Nasser yang beberapa waktu lalu memperoleh predikat Innovative Government Award (IGA) 2020 untuk katagori kabupaten sangat inovatif dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI dipenghujung masa jabatannya sebagai Bupati Kabupaten Bandung. Disampaikan olehnya, berbagai prestasi yang diraih tersebut tidak lepas dari peran aktif para ibu di berbagai bidang, baik sebagai eksekutor maupun motivator. Lebih lanjut, Bupati Kabupaten Bandung tersebut juga menyinggung soal kesetaraan gender. Disampaikan olehnya bahwa peran ibu sejak dulu sampai sekarang tidak jauh berbeda. Hanya saja, kalau dulu para ibu atau perempuan itu memperjuangkan kesetaraan gender, seperti yang dilakukan R.A. Kartini dan Raden Dewi Sartika. Namun, saat ini kesetaraan gender itu sudah ada, tinggal bagaimana memperjuangkan penegakan hak-haknya.
Permasalahan ekonomi dan kemiskinan memang cukup melekat dengan masyarakat di negara Indonesia, tidak terkecuali masyarakat Kabupaten Bandung. Terlebih ditengah kondisi negara yang sedang dilanda pandemi Covid-19. Bahkan berdasarkan analisis dan data yang disampaikan para ahli, angka kemiskinan meningkat pasca pandemi Covid-19. Dalam mengatasi kegoncangan ekonomi tersebut, para ibu dinilai mampu membatu mengatasinya. Kaum wanita tersebut dianggap turut bertanggungjawab dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan mengatasi berbagai problem ekonomi keluarga, dengan didorong untuk keluar rumah dan turut aktif berkontribusi dalam aktivitas-aktivitas ekonomi. Harapannya, agar terwujud keluarga yang sejahtera dan bahagia.
Alih-alih harapan tersebut dapat terwujud. Fakta justru menunjukan hal yang sebaliknya. Seperti yang ditunjukan oleh video yang beberapa waktu lalu sempat viral di dunia maya dimana menampakan potret antrian kaum wanita di pengadilan agama kabupaten bandung dalam rangka gugat cerai. Kondisi ekonomi keluarga menjadi motif paling dominan dari aktivitas gugat cerai tersebut. Hal ini hakikatnya menunjukan bahwa kondisi ekonomi keluarga masih memprihatinkan. Terut berperannya kaum ibu dalam aktivitas ekonomi tidak menjamin terwujudnya keluarga yang sejahtera dan bahagia. Sebaliknya, yang ada adalah celaka.
Terlibatnya kaum wanita dalam aktivitas ekonomi memang merupakan salah satu wujud dari kesetaraan gender. Wanita dianggap memiliki hak untuk bekerja dan melakukan aktivitas ekonomi sebagaimana kaum pria. Paham tersebut dirasa berbahaya apabila melihat dampak yang terjadi. Paham yang sejatinya berasal dari pandangan hidup sekuler tersebut nampak memposisikan kaum wanita sebagai komoditi bisnis. Apabila diperhatikan berbagai bisnis banyak melibatkan kaum wanita. Apakah itu fasion, kosmetik, industri, bahkan aktivitas pornografi. Berbagai aktivitas ekonomi dinilai menguntungkan apabila melibatkan para kaum wanita ini. Hal ini sejalan dengan pandangan ekonomi ala kapitalis yang menjadikan apapun sebagai pundi-pundi uang para pengusaha kapitalis.
Lebih jauh dari itu, jargon perempuan sebagai penyelamat ekonomi keluarga yang digembor-gemborkan ternyata merusak keluarga muslim. Demi pekerjaan dan uang, kadang kala kaum wanita bersedia melanggar beberapa hukum agama khususnya syariat Islam, yang berkaitan dengan interaksi antara laki-laki dan perempuan, penjagaan kehormatan, urusan pakaian, tabaruj dan sebagainya. Tak jarang juga terjadi pelanggaran hukum tentang relasi suami-istri, juga penelantaran pengasuhan anak. Inilah yang akhirnya juga menghantarkan pada angka perceraian yang kian meningkat dari waktu ke waktu. Tak berlebihan jika dikatakan, ide kesetaraan gender ini menghantarkan pada kehancuran keluarga muslim.
Begitulah kapitalisme, ideologi ini mampu mengalihkan fitrah dan fungsi dasar kaum wanita sebagai seorang ibu, penjaga generasi dan peradaban. Sistem ini membuat anak-anak terkena dampak dengan hilangnya hak dasar pengasuhan. Demikian kesengsaraan yang harus dihadapi keluarga. Hal ini sejatinya menunjukan bahwa sistem ini gagal mewujudkan ketahanan keluarga. Semua itu menjadi buah apabila memilih sistem ala kapitalis sebagai cara hidup, dan mencampakan aturan Sang Pencipta sebagai sistem hidup.
Karena sesungguhnya, hanya sistem hidup yang berasal dari Sang Penciptalah yang mampu menjadi penjaga ketahanan keluarga, penjamin kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga. Melalui sistem Islam, yang memposisikan kaum wanita dengan mulia sesuai dengan fitrahnya. Menjadikannya sebagai sosok yang memiliki hak untuk dipenuhinya segala kebutuhan hidup. Sementara laki-laki adalah sosok yang bertanggungjawab dalam pengurusannya. Sehingga kaum wanita mampu menjalankan fungsi utamanya mempersiapkan generasi unggul penerus peradaban mulia yang diberkahi Sang Pencipta, Allah Swt. Wallahu a’lam bishshawab.
Tags
Opini