Karut Marut Perkedelaian





Oleh: Maya Dhita
Aktivis Dakwah Muslim


Pergantian tahun kali ini diawali dengan hilangnya tahu tempe di pasaran. Hal ini disebabkan karena para produsen tempe dan tahu menghentikan produksi sebagai bentuk protes atas kenaikan harga bahan baku, yaitu kedelai, dari Rp 7.200 menjadi Rp 9.200 per kilogram. (www.jawapos.com, 3/1/2021).

Kebutuhan akan kedelai di Indonesia mencapai 2,5 hingga 2,6 juta ton pertahun. Dari jumlah itu, 90% dipenuhi oleh kedelai impor dan 10% kedelai lokal. Hal ini menyebabkan harga kedelai dipasaran dalam negeri sangat dipengaruhi oleh harga kedelai internasional.

Naiknya harga kedelai internasional disebabkan adanya lonjakan permintaan kedelai dari China kepada Amerika Serikat. Pada Desember 2020 permintaan kedelai China naik dua kali lipat dari 15 juta ton menjadi 30 juta ton. Amerika Serikatlah yang sedang panen kedelai dan mempunyai cadangan ekspor. Selain itu negara produsen kedelai besar lainnya yaitu Brazil dan Argentina sedang menipis persediaan kedelainya sehingga harus memenuhi kebutuhan domestik. (www.finance.detik.com, 9/1/2021)

Indonesia yang kaya akan sumber daya alam dan lahan subur seharusnya mampu memenuhi sendiri kebutuhan akan kedelai. Swasembada kedelai. Tetapi rupanya pemerintah tidak serius menginginkan adanya ketahanan pangan dan lebih memilih membuka kran impor untuk mengatasi kelangkaan suatu produk di pasaran.

Ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor didukung karena adanya liberalisasi perdagangan. Ini sebagai konsekuensi atas tergabungnya Indonesia dalam WTO. Dimana Indonesia harus tunduk pada aturan yang ada dalam Agreement on Agriculture. Poinnya adalah, Indonesia harus mengurangi subsidi ekspor, subsidi dalam negeri dan harus membuka akses pasar bagi para pelaku perdagangan internasional.

Untuk menghentikan ketergantungan impor kedelai, Indonesia harus mampu mewudkan kemandirian dan kedaulatan pangan. Hal ini tidak dapat dicapai saat negara masih patuh pada perjanjian perdagangan internasional yang merugikan masyarakat.

Saatnya kembali kepada aturan Islam. Dimana politik Islam yang diterapkan oleh khilafah akan mengatur pengelolaan pertanian dan jaminan pemenuhan pangan untuk rakyat. Seluruh kebijakan yang diambil didasarkan pada syariat Islam. Segala hal yang berhubungan dengan terpenuhinya hajat hidup rakyat harus mampu dikelola sendiri.

Kebutuhan akan kedelai yang cukup tinggi akan menjadi prioritas khalifah. Negara akan memberikan dukungan penuh terhadap penelitian, pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan produksi kedelai lokal. Selain itu sarana dan prasara serta infrastruktur pertanian yang mendukung seperti jalan dan irigasi akan dilengkapi.

Tak hanya itu, Khalifah akan mengatur tentang penggunaan dan kepemilikan tanah untuk mencegah penguasaan lahan. Mengawasi pasar jangan sampai ada praktik penimbunan dan mafia pangan dengan jalan menghilangkan peran korporasi dan penegakan sanksi sesuai syariat Islam.

Untuk mewujudkan kedaulatan, khilafah tidak akan bergantung kepada negara manapun. Khilafah adalah negara yang independen. Negara khilafah tidak akan ikut serta dalam perjanjingan-perjanjian perdagangan yang bertentangan dengan syariat Islam. Kalaupun harus impor, itu bukan karena tekanan dari pihak manapun.

Khalifah akan menjalankan perannya sebagai periayah rakyatnya. Bukan hanya sebagai regulator semata. Pemimpin-pemimpin yang jujur dan amanah berangkat dari akidah yang kuat. Kesejahteraan rakyat akan teraih atas rida Allah pada negara yang mampu menerapkan Islam secara kafah dalam bingkai khilafah.

Ketahanan pangan akan terwujud dan tidak akan ada kelangkaan kedelai yang menyebabkan naiknya harga kedelai dipasaran dalam negeri.
Wallahu a'lam bishshowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak