Oleh : Umi Syahidah
(Pemerhati Kebijakan Publik)
Tahun 2020 menorehkan catatan pahit bagi buku utang Indonesia. Indonesia menghadapi persoalan kenaikan utang luar negeri sejak krisis ekonomi 1998 dan era reformasi bergulir. Utang Luar Negeri yang tadinya berada pada level di bawah seribuan triliun rupiah, kini sudah nyaris menyentuh Rp 6.000 triliun per Oktober 2020. Tidak heran jika belum lama ini Bank Dunia memasukkan Indonesia sebagai 10 besar negara berpendapatan rendah dan menengah yang memiliki utang luar negeri terbesar pada tahun lalu.
Bank Dunia merilis dalam laporan "Statistik Utang Internasional (IDS)" pada Senin (12/10) itu menunjukkan Indonesia berada pada peringkat keenam pengutang terbesar. Dengan mengecualikan China, negara-negara yang memiliki utang luar negeri lebih banyak dari Indonesia adalah Brasil, India, Meksiko, Rusia, dan Turki (republika.co.id)
Negara yang sejahtera bisa dilihat salah satunya dari baiknya tata kelola sistem keuangannya. Serta dilihat darimana sumber pemasukan negara dan mekanisme alokasinya.
Indonesia dengan sistem demokrasi menempatkan Pajak dan Utang Luar Negeri sebagai sumber pemasukan negara.
Indonesia adalah negeri yang sangat kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA), namun berbading terbalik dengan kondisi rakyatnya yang miskin. Pengelolaan SDA yang semerawut, sehingga aset negara banyak di serahkan kepada Asing. Hal ini membuat pemerintah tak mampu menyejahterakan rakyatnya secara utuh. Lalu mereka membuat aturan agar rakyat membayar pajak dengan dalih menambah pendapatan negara. Sungguh miris memang, kondisi wajah negeri ini yang berasas demokrasi. Jangankan untuk bayar pajak, untuk makan saja masih terasa sempit.
Fakta di lapangan menunjukkan dengan sangat jelas. Sejak pandemi, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja rakyat sudah kesulitan apalagi untuk membayar pajak. Wajar saja, sejak pandemi pajak yang di gadang-gadang negara tidak sesuai dengan hitungannya. Sehingga negara menggantungkan dari utang luar negeri untuk pembiayaan APBNnya.
Kondisi dengan adanya pandemi, defisit atau kebutuhan pembiayaan APBN yang dalam Perpres 72 Tahun 2020 ditargetkan sebesar Rp1.039,2 triliun atau 6,34 persen dari PDB Indonesia yang pada dasarnya melonjak drastis dari UU Nomor 20 Tahun 2019 tentang APBN Tahun Anggaran 2020. Sebelum COVID-19 terdeteksi di Wuhan, China, dan sebelum merebak ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, kebutuhan pembiayaan APBN 2020 ditargetkan sebesar Rp307,2 triliun atau sebesar 1,76 persen. Artinya naik sekitar 70 persen (www.viva.co.id)
Wajar saja, melonjaknya Utang Luar Negeri karena Indonesia mengandalkan Utang Luar negeri sebagai sumber pendapatannya setelah melambatnya pembayaran pajak masyarakat. Melihat kondisi sekarang, sebenarnya kita memiliki solusi tuntas, jika kita menerapkan sistem Islam.
Dalam sistem Islam, yakni Khilafah untuk sumber pemasukan negara meliputi:
1. Pos fa'i dan kharaj yakni pemasukan negara dari ghonimah, kharaj, tanah tanah jizyah, fa'i dan pajak ( pajak hanya di tarik dari orang kaya saja dan jika kas negara dalam keadaan kosong).
2. Pos kepemilikan umum yakni pemasukan negara dari minyak bumi, gas, listrik, barang tambang, laut, sungai, selat, mata air, hutan, padang gembalaan, hima, dan sebagainya.
3. Pos zakat, ini meliputi zakat uang, komoditas perdagangan, pertanian, dan buah buahan, unta, sapi, dan domba.
Sedangkan untuk alokasi pembelanjaan, dalam khilafah ada 8 pos yaitu : Pos Darul Khilafah, Pos Kemaslahatan Negara, Pos Subsidi, Pos Jihad, Pos Pengelolaan Zakat, Pos Pengelolaan Kepemilikan Umum, Pos Keperluan Darurat, Pos Anggararan, Pengontrolan, dan Pengawasan Umum.
Dengan mekanisme pemasukan dan pembelanjaan negara yang sesuai dengan tuntunan syariat memungkinkan bagi khilafah untuk mewujudkan negara yang sejahtera tanpa utang. Tanpa adanya campur tangan Asing dan Aseng.
Indonesia, hanya akan makin terjerumus ke dalam pusaran utang selama menerapkan sistem demokrasi sekuler. Mari merujuk dan kembali kepada aturan Allah Set yakni syariat Islam dalam bingkai khilafah. Sehingga Indonesia sejahtera tanpa utang.
Wallahu a'lam bishawwab
Wallahu a'lam bisshawab