Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis
Berita tragis kekejaman anak kepada orang tua kembali mengusik nurani. Beberapa hari ini media banyak di hiasi headline tuntutan 3 milyar rupiah yang dilayangkan anak kepada ayah kandungnya yang sudah berusia renta.
Sebagaimana yang dilansir www.tribunnews.com pada 20 januari 2021, Kakek Koswara (85) dituntut Rp 3 Miliar oleh anak keduanya karena masalah warisan. Cerita bermula ketika Koswara berniat untuk tidak lagi menyewakan tanahnya pada Deden (anak kandung Koswara) karena mau dijual dan dibagi rata sebagai warisan ke seluruh anaknya. Deden yang selama ini menyewa tanah ayahnya dan mendirikan toko untuk berjualan, merasa dirugikan. Akhirnya Deden menuntut kerugian sebesar 3 Milyar rupiah kepada sang ayah.
Kan kalau kita mau flash back kembali ke belakang, berita semisal sangat banyak. Dan tidak hanya itu, peristiwa anak memenjarakan ibunya sekadar soal baju, anak membunuh ibunya karena tidak dipenuhi keinginannya, dan banyak lagi lainnya.
Bicara kerusakan sistem jelas bukan perkara yang bisa dibantah. Bicara buruknya kepemimpinan jelas sudah menjadi pemahaman umum. Namun sebagai orang tua pelajaran apa yang bisa kita gunakan untuk bermuhasabah diri dalam menjalankan proses pendidikan pada anak-anak kita.
Anak adalah amanah terbaik, harta titipan yang dipercayakan kepada setiap orang tua. Siapapun dan bagaimanapun kualitas kita sebagai orang tua, tanggung jawab mendidik mereka ada di pundak kita.
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (TQS al-A’raf: 26)
Ibn Abi Dunya dalam Kitab at-Taqwa mengutip pernyataan Umar bin Abbdul Aziz ra., “Takwa kepada Allah itu bukan dengan sering shaum di siang hari, sering salat malam, atau sering melakukan kedua-duanya. Akan tetapi, takwa kepada Allah itu adalah meninggalkan apa saja yang Allah haramkan dan melaksanakan apa saja yang Allah wajibkan.”
Menanamkan ketakwaan sejak dini butuh kesungguhan, kesabaran dan keteladanan. Menanamkan ketakwaan sama dengan membangun nilai rasa pada anak bahwa bahagia itu ketika Allah Swt meridai perbuatan mereka. Bahagia itu bukan ketika mendapatkan nilai bagus dalam ujian lalu mendapat pujian dari guru dan orang tua.
Maka orang tua baru akan merasa tenang ketika melihat anak-anak mereka gemar beramal saleh, bersemangat dalam menuntut ilmu dengan dorongan meraih pahala. Mereka tumbuh mencintai syariat, takut kepada Allah (khasyyah), tidak takut celaan para pencela. Pribadi yang kuat memegang kebenaran, kokoh bagai gunung yang tinggi menjulang.
Dan penting sebagai pedoman kita orang tua dalam memilih sekolah terbaik bagi anak – anak kita adalah kurikulumnya. Asas yang membangun pendidikan haruslah akidah Islam. Tidak boleh memisahkan agama dari kehidupan (sekularisme). Dan rancangan pembelajaran bagi peserta didik wajib bersumber dari al-Qur’an, hadis dan apa-apa yang tidak bertentangan dengan keduanya. Sebab pendidikan akan membentuk cara pandang terhadap kehidupan, cara berpikir, dan cara bersikap pada peserta didik.
Bila terpaksa harus memilihkan lembaga pendidikan yang tidak ideal kurikulumnya, sekolah di sekolah umum bukan sekolah berbasis Islam, orang tua tetap bisa berkontribusi dalam membangun visi pendidikan yang benar bagi anak. Orang tua memang harus menjadi ustaz/ustazah di rumah mengajarkan Islam kepada anak-anak. Maka saat ini orang tua harus memastikan dirinya mengikuti pembinaan Islam secara intensif dalam berbagai halqah, mengikuti taklim-taklim yang mengajarkan berbagai tsaqafah Islam baik bahasa Arab, ilmu hadis, tafsir, dan lain sebagainya. Karena titik harapan kita pada anak – anak kita, ada pada ketaqwaan. Terakhir kita serahkan sepenuhnya kepada Allah SWT untuk selalu membimbing kita, menjaga kita dan keluarga kita, setelah sepenuhnya kita curahkan daya dan upaya.
Wallahu a’lam bi ash showab.