Sejak awal pekan ini, tahu dan tempe kembali
beredar di pasar. Namun, harganya naik. Ketua Gabungan Koperasi Produsen Tempe
Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifudin mengatakan para pengusaha diberi
kebebasan untuk menentukan kenaikan harga sesuai wilayah masing-masing.
"Rata-rata naik sebesar 20 persen.
Mulai besok (Senin) tahu dan tempe sudah harga baru," kata Aip kepada
Tempo, 3 Januari 2020.
Dia mencontohkan, jika biasanya harga tempe
sekitar Rp 11-12 ribu per kilogram, maka dengan harga baru bisa mencapai Rp 15
ribu. Keputusan kenaikan harga ini diperlukan untuk menutup ongkos produksi.
( https://fokus.tempo.co/read/1420714/di-balik-lonjakan-harga-kedelai-tahu-dan-tempe )
Hal semacam itu terjadi setiap tahun,
tetapi pemerintah seolah tak punya langkah konkrit untuk mengantisipasinya.
Pemerintah selalu mengklaim kenaikan itu masih dalam batas wajar. Tetapi bagi rakyat tidak demikian. Kenaikan sepeserpun
akan berdampak langsung pada kehidupan ekonomi mereka. Problem kenaikan harga pangan yang selalu
berulang tersebut diatas, adalah karena adanya mafia pangan dan
ketidaksinkronan antara kebijakan impor dengan data kementerian pertanian seperti
pada kasus impor beras beberapa tahun lalu, ini menunjukkan betapa carut
marutnya tata kelola dan data pangan di negeri kita ini. Penyebabnya tidak lain
adalah karena diterapkannya sistem kapitalisme dimana pihak penyelenggara atau
pemerintah terfokus pada perhitungan untung dan rugi, bukan pada kesejahteraan
rakyat. Pemerintah seharusnya berperan aktif juga memberikan perhatian terhadap
sarana dan prasarana yang menunjang distribusi hasil pertanian, misalnya
penyediaan alat transportasi yang memadai serta perbaikan infrastruktur jalan
karena pertanian merupakan salah satu pilar ekonomi negara, bahkan negara bisa
mengalami kegoncangan jika pertanian dikuasai ataupun bergantung pada negara
lain.
Ada 2 faktor penyebab kenaikan harga pangan :
Pertama, faktor “alami” antara lain langkanya ketersediaan
bahan pangan tertentu akibat gagal panen, serangan hama, jadwal panen dan
lain-lain.
Kedua, karena penyimpangan ekonomi dari hukum-hukum syari’ah
Islam, seperti terjadinya penimbunan, permainan harga, hingga kecurangan
yang menghantarkan kepada penjajahan ekonomi.
Dalam Islam, jika melambungnya harga karena faktor alami yang disebabkan kelangkaan barang, maka
disamping umat dituntut bersabar, Islam juga mewajibkan negara untuk mengatasi
kelangkaan tersebut dengan mencari suplay dari daerah lain. Jika seluruh
wilayah dalam negeri keadaannya sama, maka bisa diselesaikan dengan kebijakan
impor dengan masih memperhatikan produk dalam negeri. Namun jika
melambungnya harga disebabkan pelanggaran terhadap hukum-hukum syari’ah, maka
penguasa harus mengatasi agar hal tersebut tidak terjadi.
Rasululah SAW juga pernah bersabda dalam hadist yang
diriwayatkan Anas.
Suatu ketika Anas berkata: “Wahai Rasulullah tentukanlah
harga untuk kita!”. Beliau menjawab, “Allah itu sesungguhnya adalah penentu
harga penahan, pencurah, serta pemberi rizki. Aku mengharapkan dapat menemui
tuhanku dimana salah seorang dari kalian tidak menuntutku karena kezaliman
dalam hal darah dan harta.”
Bukan hanya itu saja, Rasulullah saw sampai turun sendiri ke
pasar untuk melakukan ‘inspeksi’ agar tidak terjadi penipuan harga maupun penipuan
barang/alat tukar, beliau juga melarang penimbunan. Pada jaman Khalifah Umar
bahkan melarang orang yang tidak mengerti hukum fikih terkait bisnis melakukan
bisnis. Para pebisnis secara berkala juga pernah diuji apakah mengerti hukum
syara’ terkait bisnis ataukah tidak, jika tidak faham maka mereka dilarang
berbisnis. Hal ini dilakukan karena setiap kemaksiatan apalagi kemaksiatan
terkait ekonomi akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan ekonomi.
Manusia dalam berbisnis
di beri kebebasan untuk mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya. Tetapi ia terikat dengan hukum syara’ yang mencakup
didalamnya iman dan etika, sehingga manusia tidak bebas mutlak menentukan
penetapan suatu harga. Harga yang terlalu tinggi dan melebihi kemampuan daya
beli masyarakat dan bisa merugikan pihak pembeli atau yang membutuhkan karena
tidak sanggup membeli.
Semua bentuk dalam jual beli
harus berjalan sesuai dengan prinsip atau kaidah keislaman dengan menerapkan
prinsip keadilan guna menghindari kezaliman. Prinsip keadilan sangat
penting di terapkan dalam ekonomi islam karena keadilan mengandung prinsip dari
semua prinsip hukum islam. Adanya suatu harga yang adil dapat menjadi pedoman
yang mendasar dalam transaksi Islam. Pada prinsipnya transaksi bisnis di
lakukan dengan harga yang adil merupakan suatu cerminan bagi setiap muslim.
Tujuan utama dari harga yang adil adalah memelihara suatu keadilan dalam
melakukan transaksi timbal balik di antara anggota masyarakat.
Demikianlah
konsep dan nilai-nilai syariah Islam yang mampu memberikan kontribusi pada
penyelesaian masalah pangan. Konsep tersebut tentu baru dapat dirasakan
kemaslahatannya dan menjadi rahmatan lil alamin bila ada institusi negara yang
melaksanakannya. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengingatkan pemerintah
akan kewajiban mereka dalam melayani urusan umat, termasuk persoalan pangan. Dengan
menerapkan syariah yang bersumber dari Allah SWT dalam bingkai Khilafah
Islamiyah.
Wallahu’alam
bishowab