Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis
Di awal tahun 2021 para pelaku industri tahu dan tempe sangat terbebani dengan adanya kenaikan harga kedelai yang mencapai hampir sebesar 50 persen. Kenaikan harga kedelai tersebut memukul para pelaku industri tahu dan tempe, sehingga mereka memutuskan untuk melakukan mogok produksi.
Kepada wartawan www.JPNN.com pada 4 januari 2021, Anggota DPR RI Fraksi PKS Nevi Zuairina, Anggota Komisi VI Daerah Pemilihan Sumatera Barat II, mengatakan adanya kenaikan harga kedelai yang hampir mencapai 50 persen menjadi kado pahit bagi industri tahu dan tempe di awal tahun 2021, mengingat di tengah pandemi COVID-19 saat ini daya beli masyarakat menurun.
Nevi juga menjelaskan sesuai dengan amanat UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan khususnya pada pasal 54 ayat (3), Pemerintah dapat membatasi impor barang dengan alasan untuk membangun, mempercepat, dan melindungi industri tertentu di dalam negeri, atau untuk menjaga neraca pembayaran dan/atau neraca perdagangan. Tentunya hal tersebut harus diimbangi dengan peran Pemerintah untuk dapat meningkatkan produksi kedelai dari dalam negeri, sehingga kebutuhan kedelai untuk industri dapat dipenuhi tanpa harus impor
Sementara itu Sekretaris Jenderal Kerapatan Indonesia Tanah Air (KITA) Ayep Zaki angkat bicara merespons meroketnya harga kedelai dari semula seharga Rp 6.500/kg menjadi sekitar Rp 9.000/kg. Menurut Zaki, kenaikan harga kedelai hingga hampir 50 persen ini merupakan dampak dari lonjakan permintaan pembelian dari Tiongkok. (www.JPNN.com, 4/1/2021).
Demikianlah, ketersediaan kedelai impor berdampak serius terhadap gonjang – ganjing pelaku UMKM di Indonesia. Namun sebagai negeri agraris yang terkenal subur alamnya, dan menjadi sentra produk olahan tradisional kedelai, janggal rasanya Indonesia amat tergantung kedelai impor. Bukankah tempe sudah dikenal oleh anak negeri jauh sebelum lahirnya republik ini?
Kondisi ini tentu tidak terjadi tiba-tiba. Semenjak pemerintah membuka keran impor kedelai di tahun 2000, kondisinya berbalik seratus delapan puluh derajat. Bila pada 1992 Indonesia berhasil mencapai swasembada kedelai, maka berangsur-angsur kedelai impor menggeser pasokan kedelai lokal. Kebijakan ini dinilai salah oleh Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santoso. Akibatnya, masih menurut beliau, 80-90% kebutuhan kedelai dalam negeri dipasok dari impor (tirto.id, 26/10/2020).
Ketergantungan ini makin menjadi, ketika pertanian dalam negeri makin sulit diharapkan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Berkurangnya lahan pertanian karena kebijakan alih fungsi lahan merupakan salah satu penyebabnya. Belum lagi rendahnya produktifitas kedelai dalam negeri, akibat petani kedelai kurang mendapat dukungan negara, dalam mendapatkan pupuk dan varietas unggul. Di sisi lain, berbagai fasilitas bagi importir kedelai justru banyak diberikan oleh negara produsen kedelai, Amerika Serikat.
Terlebih dengan disahkannya UU Omnibus Law Ciptaker, kemudahan impor komoditas pangan nyaris tanpa hambatan. Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) mengungkap dihapusnya sejumlah pembatasan impor komoditas pertanian dalam UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Pelintan) melalui UU kontroversial ini. Jelas pelonggaran impor ini akan merugikan petani lokal (tirto.id, 26/10/2020).
Dewasa ini, demokrasi makin terbukti sebagai sistem politik pemerintahan yang padat modal. Di titik inilah, kehadiran para pemodal yang membiayai kontestasi politik dalam demokrasi, menjadi alasan mengapa rezim yang terbentuk, akan lebih mengabdi kepada mereka. Ya, mengabdi kepada pemodal, bukan rakyat yang memilihnya. Pengabdian itu akan tampak dalam berbagai aturan dan kebijakan yang berpihak kepada pemodal meski harus mengkhianati dan mengorbankan wong cilik. Termasuk berbagai kebijakan yang bersangkut paut dengan problem kedelai hari ini.
Di sinilah selayaknya kita menyikapi demokrasi, sesuai apa adanya demokrasi itu. Bukan sesuai apa yang kita harapkan darinya. Telah lama kita menaruh harap pada sistem ini di atas semangat menolak kesewenang-wenangan yang lahir dari sistem kerajaan yang usang.
Pendapat obyektif tentang wajah buruk demokrasi, tidak hanya lahir dari orang islam saja. Seorang intelektual barat yang bukunya viral belakangan ini, Levitsky-Ziblatt, juga mengungkap mekanisme demokrasi lah yang menjadikan kepala negara berubah jadi otoriter. Ketergelinciran ini menjadi konsekuensi atas sikap demokrasi yang menolak wahyu sebagai sumber petunjuk.
Gonjang ganjing harga kedelai hendaknya menyadarkan kita bahwa hidup adil makmur dalam sistem demokrasi hanya ilusi. Mungkin sudah saatnya merujuk kepada sistem ilahiyah yang terbuti 3,5 abad menjadi primadona di panggung sejarah. Terlebih bagi kuam muslimin, menerapkannya tidak hanya menghantarkan kesejahteraan, namun juga wujud ketaqwaan.
Wallahu a’lam bi ash showab.