Linda Maulidia, S.Si *
Miris dan sedih. Entah kata apa lagi yang lebih tepat untuk menggambarkan realitas hari ini. Bukan sekali saja kita dapati kabar mengenai seorang anak yang menuntut orang tuanya sendiri, bahkan membawanya hingga ke meja hijau.
RE Koswara kakek 85 tahun asal Kecamatan Cinambo, Kota Bandung yang digugat Rp 3 miliar oleh anak kandungnya baru mengetahui jika Masitoh anak ketiganya meninggal dunia setelah sidang perdata digelar. Masitoh adalah kuasa hukum Deden anak kedua Koswara. Masitoh mendampingi Deden, kakaknya untuk menggugat tanah waris milik ayahnya. Masitoh meninggal karena penyakit jantung pada Senin (Kompas.com, 18/1/2021).
Di tempat yang berbeda, seorang aparatur sipil negara (ASN) Dewi Firdauz (52) yang merupakan mantan istri dari eks Direktur RSUD Salatiga dr Agus Sunaryo mengalami nasib seperti kakek Koswara (85) yang digugat oleh anak kandungnya sendiri. Warga Perumahan Bukit Wahid Regency, Kelurahan Semarang Barat, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang ini digugat oleh anak kandungnya sendiri. Kasus ini saat ini sudah memasuki persidangan di Pengadilan Negeri Salatiga.
Adapun penyebabnya karena masalah kepemilikan mobil Toyota Fortuner.
Nenek berusia 87 tahun di Banyuasin, Sumatera Selatan yang digugat anak kandungnya sendiri murka hingga menyebut mereka durhaka. Hal itu lantaran sang anak bersikeras meminta bagian harta kepada orang tua yang telah terjual. (Tribunnews.com, 22/01/2021)
Mungkin mereka tidak pernah menyangka. Anak yang telah dirawat dan dididik sejak kecil, ibarat air susu dibalas air tuba, bukannya memberikan kebahagiaan dan ketenangan di masa tuanya, justru menuntut bahkan menyengsarakan mereka.
Ini bukanlah masalah sederhana. Perkara ini semakin membuktikan, bahwa sedang terjadi dekadensi moral dan akhlak pada generasi kini. Terlepas dari berbagai latar belakang dan penyebab atas hal tersebut, bagaimanapun juga, tidaklah pantas seorang anak memperkarakan orang tua mereka, hingga sampai pada meja pengadilan.
Masalah generasi memang kian mengkhawatirkan. Tak dapat dibayangkan bagaimana nasib bangsa ini kelak, jika tidak ada keseriusan untuk mengatasi masalah kualitas sumber daya manusia, yang seharusnya dibanggakan dan menjadi bagian dalam pembangunan peradaban bangsa.
Jika dicermati lebih dalam, negara yang berparadigma sistem sekuler kapitalis neoliberal saat ini, menjadi soal utama yang menjadi penyebab rapuhnya individu-individu rakyat yang ada didalamnya. Sebuah sistem yang menjadikan akal manusia sebagai penentu hukum dan kebijakan tak ayal melahirkan aturan-aturan yang jauh dari menuntaskan persoalan dan menyejahterakan seluruh elemen masyarakat.
Salah satu bagian penting yang menyumbang peran besar dalam membangun generasi yang baik adalah diperlukan sistem pendidikan yang baik. Pendidikan yang sekuler –matrealistik saat ini memang bisa melahirkan orang yang menguasai sains teknologi, namun tak bisa dipungkiri banyak juga yang gagal membentuk kepribadian peserta didik dan penguasaan tsaqofah Islam. Berapa banyak lulusan pendidikan umum yang tetap saja “buta agama” dan rapuh kepribadiannya? Sementara mereka yang belajar dilngkungan “Pendidikan Agama”, memang di samping menguasai tsaqofah Islam.
Secara relatif sisi kepribadiannya tergarap baik, tapi disisi lain buta terhadap kemajuan zaman serta perkembangan sains dan teknologi akhirnya sektor-sektor modern (industri manufaktur, perdagangan dan jasa) masih diisi oleh orang-orang yang relatif awam terhadap agama karena orang-orang yang mengerti agama terkumpul di dunianya sendiri (madrasah, dosen/ guru agama, Kemenag) tidak mampu terjun di sektor modern.
Islam dengan kesempurnaan aturan didalamnya, memiliki konsep yang lengkap untuk mengatur masyarakat dalam berbagai aspek, termasuk pendidikan. Pendidikan dalam pandangan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur serta sistematis untuk mensukseskan misi penciptaan manusia sebagai abdulullah dan khalifah Allah di muka bumi. Pendidikan harus nampak bagian yang tak terpisahkan dari sistem hidup islam. Sebagai bagian integral dari sistem kehidupan islam.
Kurikulum pendidikan Islam sendiri sangatlah khas, unik, sehingga bertujuan untuk membentuk manusia yang berkepribadian islam, menguasai tsaqofah Islam, menguasai ilmu kehidupan (sains dan teknologi), yang pada hakikatnya merupakan perwujudan dari konsekuensi seorang muslim, yakni bahwa sebagai muslim ia harus memegang erat identitas keislamannya dalam seluruh aspek dan aktivitas kehidupannya. Identitas ini menjadi kepribadian yang tampak pada pola fikir (aqliyah) dan sikapnya (nafsiyyah) yang dilandaskan pada ajaran Islam.
Pada prinsipnya ada tiga langkah untuk membentuk dan mengembangkan kepribadian islam pada diri seseorang sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW. Pertama, menanamkan aqidah islam. Kedua, mengajaknya bertekad bulat untuk senantiasa menegakkan bagaimana cara berfikir dan perilakunya diatas pondasi ajaran islam semata. Ketiga, mengembangkan kepribadiannya dengan cara membuka semangatnya untuk bersungguh-sungguh mengisi pemikirannya dengan tsaqofah islamiyyah dan mengamalkan serta memperjuangkan dalam seluruh aspek kehidupan sebagai wujud ketakwaan kepada Allah SWT dan wujud ketaatan itu adalah ikhlas.
Jika generasi bertakwa, tidak akan ditemui anak yang menggugat orangtuanya. Jika anak baik imannya, maka yang terpatri di jiwanya adalah kebahagiaan orang tuanya, baik di dunia maupun akhirat. Wallahu a'lam bishshawab
*(Pemerhati Pendidikan, Ibu dan Anak)
Tags
Opini