Oleh:
Endah Husna
Berita datang dari Sumber MetroTimes, 8 Januari 2021, lagi-lagi banjir
melanda sebagian wilayah di dua desa di Kecamatan Driyorejo, Kabupaten Gresik,
Provinsi Jawa Timur, yakni Desa Krikilan dan Desa Sumput. Banjir setinggi lutut
orang dewasa ini merendam puluhan rumah warga di dua desa tersebut.
Ketua Front Pembela Suara Rakyat (FPSR), Aris Gunawan cukup prihatin
dengan kondisi yang seakan menjadi tradisi bagi warga terdampak banjir tersebut.
Banjir tersebut bukan tanpa sebab. Selain karena letak gegrafis wilayah
Kecamatan Driyorejo, banjir juga disebabkan oleh banyaknya bangunan yang diduga
menyalahi aturan.
Dari penelusuran Aris bersama tim FPSR, terdapat sejumlah bangunan yang
menutupi saluran air di wilayah Kecamatan Driyorejo khususnya di Desa Sumput
dan Desa Krikilan. Tak ayal, air tidak bisa mengalir dan menggenangi wilayah
desa.
BMKG prediksi puncak musim hujan terjadi pada bulan Januari-Februari
2021 di Pulau Jawa (AntaraNews, 6 Oktober 2020). Maka seharusnya patut bagi aparat
terkait untuk mempersiapakan segala hal terkait prediksi ini. Mulai dari saluran-saluran
air dipastikan telah lancar dan tidak ada yang mengahalangi air hujan lewat.
Berbicara masalah bencana alam termasuk
banjir adalah qadharullah namun meskipun demikian kita sebagai manusia bisa
berikhtiar berbuat baik agar tidak mengundang datangnya sebuah bencana. Seperti
yang di jelaskan oleh Prof Fahmi Amhar (mediaumat.com, 21/2/2013), dalam
mengurai masalah banjir yang terus berulang ini, beliau menyatakan jika banjir itu hanya
insidental, maka itu persoalan teknis belaka. Tetapi jika banjir itu selalu
terjadi, berulang, dan makin lama makin parah, maka itu pasti persoalan sistemik.
Banjir sistemik dapat selesai dengan proyek bendungan baru, pompa baru,
kanal baru dll, ini berkaitan sistem-teknis. Namun, jika masalahnya menyangkut
tata ruang yang tidak dipatuhi seperti kasus banjir di Driyorejo ini akibat
dari tersumbatnya kali Avor karena ada tembok yang dibangun tepat berada di
sungai Avor, maka itu sudah termasuk non-teknis.
Islam mempunyai kebijakan dalam mencegah terjadinya banjir adalah
sebagai berikut: Pertama, kasus banjir yang disebabkan keterbatasan daya
tampung tanah terhadap curahan air, baik akibat hujan, gletser, rob, dll, maka
negara akan menempuh beberapa upaya berikut:
(1)Membangun berbagai bendungan yang mampu
menampung curahan air dari aliran sungai, curah hujan, dll.
(2) Memetakan berbagai daerah rendah yang
rawan terkena genangan air (akibat rob, kapasitas serapan tanah yang minim
dll), dan selanjutnya mengeluarkan kebijakan melarang membangun pemukiman di
wilayah-wilayah tersebut; atau jika ada pendanaan yang cukup, negara akan membangun
kanal-kanal baru atau resapan agar air yang mengalir di daerah tersebut bisa
dialihkan alirannya, atau bisa diserap oleh tanah secara maksimal. Dengan cara
ini, maka berbagai wilayah dataran rendah bisa terhindar dari banjir atau
genangan. Sedangkan daerah pemukiman yang awalnya aman dari banjir dan
genangan, namun karena berbagai sebab terjadi penurunan tanah, sehingga terkena
genangan atau banjir, maka negara akan berusaha semaksimal mungkin menangani
genangan itu, dan jika tidak mungkin negara akan mengavakuasi penduduk di
daerah itu dan dipindahkan ke daerah lain dengan memberikan kompensasi.
(3) Membangun kanal, sungai buatan, saluran
drainase, atau apapun namanya untuk mengurangi dan memecah penumpukan volume
air; atau untuk mengalihkan aliran air ke daerah lain yang lebih aman. Secara
berkala, dilakukan pengerukan lumpur- lumpur di sungai, atau daerah aliran air,
agar tidak terjadi pendangkalan. Tidak hanya itu saja, Khilafah juga akan
melakukan penjagaan yang sangat ketat bagi kebersihan sungai, danau, dan kanal,
dengan cara memberikan sanksi bagi siapa saja yang mengotori atau mencemari
sungai, kanal, atau danau.
(4) Membangun sumur-sumur resapan di
kawasan tertentu. Sumur ini, selain untuk resapan, juga digunakan sebagai tandon
air yang sewaktu-waktu bisa digunakan, terutama musim kemarau atau paceklik
air.
Kemudian dalam aspek undang-undang dan kebijakan, Negara Islam akan
menggariskan beberapa hal penting berikut:
(1) Membuat kebijakan tentang master plan,
yang di dalamnya ditetapkan kebijakan sebagai berikut; pertama, pembukaan
pemukiman atau kawasan baru, harus menyertakan variabel-variabel drainase;
kedua, penyediaan daerah serapan air; ketiga, penggunaan tanah berdasarkan
karakteristik tanah dan topografinya.Dengan kebijakan ini, Negara mampu
mencegah kemungkinan terjadinya banjir.
(2) Mengatur syarat-syarat tentang izin
pembangunan bangunan. Jika seseorang hendak membangun sebuah bangunan, baik
rumah, toko, dll, maka ia harus memperhatikan syarat-syarat tersebut. Kebijakan
tersebut tidak untuk menyulitkan rakyat yang hendak membangun sebuah bangunan.
Bahkan Khilafah akan menyederhanakan birokrasi, dan menggratiskan surat izin
pendirian bangunan bagi warganya. Hanya saja, ketika pendirian bangunan di
lahan pribadi atau lahan umum, diduga bisa mengantarkan bahaya, maka Khalifah
diberi hak untuk tidak menerbitkan izin pendirian bangunan. Hal ini sesuai
kaidah ushul fikih ad-dhararyuzâlu (bahaya itu harus dihilangkan). Khilafah pun
akan memberi sanksi bagi siapa saja yang melanggar kebijakan tersebut tanpa
pandang bulu.
(3) Membentuk badan khusus yang menangani
berbagai bencana alam yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan berat,
evakuasi, pengobatan, dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi
bencana. Selain dilengkapi peralatan canggih, petugas lapangan juga dilengkapi
pengetahuan yang cukup tentang SAR (search dan rescue), serta ketrampilan yang
dibutuhkan untuk penanganan korban bencana alam. Mereka diharuskan siap sedia
setiap saat, dan bergerak cepat ketika ada bencana atau musibah.
(4) Menetapkan daerah-daerah tertentu
sebagai cagar alam yang harus dilindungi. Juga menetapkan kawasan hutan
lindung, dan kawasan buffer yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan izin.
Termasuk memberi sanksi berat bagi yang merusak lingkungan hidup.
(5) Menyosialisasikan pentingnya menjaga
kebersihan lingkungan, serta kewajiban memelihara lingkungan dari kerusakan.
Ini sesuai ketetapan syariat mengenai dorongan berlaku hidup bersih dan tidak
membuat kerusakan di muka bumi. Negara pun mendorong kaum Muslim menghidupkan
tanah-tanah mati atau lahan kurang produktif, sehingga bisa menjadi buffer
lingkungan yang kokoh.
Selanjutnya, dalam menangani korban bencana alam, Khilafah akan segera
bertindak cepat dengan melibatkan seluruh warga yang dekat dengan lokasi
bencana. Lalu menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak,
agar korban bencana alam tidak menderita wabah penyakit, kekurangan makanan
atau terlantar. Selain itu, negara mengerahkan para alim ulama memberikan
taushiyyah-taushiyyah bagi korban agar mereka mengambil pelajaran dari musibah,
sekaligus menguatkan keimanan mereka agar tetap tabah, sabar, dan tawakal
sepenuhnya kepada Allah swt.
Demikianlah bagaimana sistem Islam dalam menyelesaikan masalah banjir
sehingga tidak terulang disetiap musim hujan. Islam sempurna bukan, Anda
sepakat jika Islam diterapkan?
Wallahu a’lam bissawab.