Oleh Ummu Caca*
Setelah tertunda pengesahannya selama 8 tahun, kini RUU P-KS kembali mencuat ke permukaan. Kali ini tidak tanggung-tanggung. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) masuk usulan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 (Detik News/16/01/2021).
Draf RUU P-KS tersebut merumuskan kekerasan seksual dalam 9 kategori yaitu
-pelecehan seksual, eksploitasi seksual,
-pemaksaan kontrasepsi,
-pemaksaan aborsi,
-perkosaan,
-pemaksaan perkawinan,
-pemaksaan pelacuran,
-perbudakan seksual, dan/atau
penyiksaan seksual.
Pelecehan seksual dibagi dalam dua kategori, yaitu pelecehan fisik dan pelecehan nonfisik.
Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini mengungkapkan
pihaknya bersama sejumlah organisasi terlibat penuh dalam mengadvokasi RUU tersebut dan akan terus mengawal proses pembahasan RUU P-KS ini di DPR. Ia berharap DPR menetapkan RUU P-KS sebagai RUU inisiatif seperti halnya RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Sekilas bagi yg melihat gerakan perempuan ini seperti perjuangan yang luar biasa dalam membela kehormatan wanita. Padahal sejatinya ada udang di balik batu yaitu ingin memperjuangkan kesetaraan gender (ide feminisme) yang selama ini digaungkan oleh barat.
Tidak bisa dipungkiri, kasus kekerasan perempuan semakin mengkhawatirkan. Hal ini menuntut adanya penyelesaian segera. Sebab jika tidak diselesaikan, akan timbul masalah berikutnya. Namun, dalam menyelesaikannya tak boleh gegabah dan sekadar mencari solusi pragmatis.
Kebanyakan lembaga atau tokoh masyarakat saat ini, hanya menjadikan fakta sebagai sumber berpikir bukan objek berpikir akibat pengaruh pola pikir sekuler dan liberal. Mereka berpikir, untuk menyelesaikan masalah yang timbul adalah dengan membuat aturan antimasalahnya.
Berbeda bila menjadikan masalah itu sebagai objek berpikir. Maka harus ditelusuri dahulu di mana akar masalahnya dan mengapa hal itu sampai terjadi. Sehingga akan dapat menentukan solusi yang benar dalam menghadapi masalah tersebut.
Meski sempat dibantah Komnas Perempuan, Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor, bahwa RUU P-KS ini sarat kepentingan feminisme, tetap saja masih banyak tokoh menyatakan RUU ini bernuansa feminisme. Selain itu, RUU P-KS ini sejatinya juga ada upaya untum menyerang aturan Islam.
RUU yang lebih kental pada pembelaan dan perjuangan kesetaraan perempuan ini sangat membahayakan. Hanya merancang penyelesaian masalah dari kalangan perempuan. Padahal, kekerasan seksual juga terjadi pada laki-laki. Seperti masalah sodomi yang acap kali terjadi pada anak laki-laki di bawah umur.
Selain itu, dalam draf RUU yang dicantumkan adalah sebuah nilai kejahatan manakala ada unsur pemaksaan jika seorang suami ingin berbagi dengan istri, tapi istri tak mau dan suami memaksa. Sehingga suami dapat masuk dalam delik pidana. Padahal dalam Islam, hal ini bisa dipandang bentuk ketidaktaatan istri pada suami.
Poin lainnya, RUU ini tak bisa menjerat perilaku perzinaan di luar nikah yang dilakukan suka sama suka. Sehingga, RUU ini sebenarnya sangat bertentangan dengan sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Serta sangat jelas bertentangan dengan Islam.
Islam sebagai pandangan hidup, jelas memberikan solusi bagi segala permasalahan hidup manusia. Khususnya dalam kasus kejahatan seksual. Solusi datang baik untuk penanggulangannya (kuratif) maupun pencegahannya (preventif). Solusi dalam pandangan Islam ini meliputi tiga mekanisme.
Pertama, menerapkan sistem pergaulan Islam yang mengatur interaksi laki-laki dan perempuan baik dalam ranah sosial maupun privat. Tentu saja dasar dari sistem pergaulan ini adalah akidah Islam. Sistem Islam juga akan menutup celah bagi aktivitas yang mengumbar aurat atau sensualitas di tempat umum. Sebab, kejahatan seksual bisa dipicu rangsangan dari luar yang kemudian memengaruhi naluri seksual (gharizah an-nau’).
Islam membatasi interaksi laki-laki dan perempuan kecuali di sektor yang memang membutuhkan interaksi tersebut, seperti pendidikan (sekolah), ekonomi (perdagangan, pasar) dan kesehatan (rumah sakit, klinik, dll).
Kedua, Islam memiliki sistem kontrol sosial berupa amar ma'ruf nahi munkar. Saling menasihati dalam kebaikan dan ketakwaan, juga menyelisihi terhadap segala bentuk kemaksiatan. Tentu semuanya dilakukan dengan cara yang baik. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Ketiga, Islam memiliki sistem sanksi yang tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Contohnya, sanksi bagi pelaku tindak pemerkosaan berupa had zinâ, yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati, jika pelakunya muhshan (sudah menikah) dan dijilid (dicambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun, jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah). Hukuman tegas ini akan memberikan efek jera (zawajir) kepada si pelaku, sekaligus menjadi penghapus dosa (jawabir) yang telah dilakukannya ketika sampai waktunya di yaumul hisab nanti.
Ketiga mekanisme Islam yang sangat baik ini akan terlaksana dengan baik jika ada institusi yang melaksanakan syariat Islam secara kaffah atau keseluruhan. Yaitu dengan tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah, bukan institusi sekuler liberal seperti demokrasi atau yang lainnya. Wallahu a’lam bish-shawwab.
*(Aktivis dakwah Nganjuk)
Tags
Opini