Derita Rakyat ketika Harga Kedelai Naik



Oleh: Neng Ipeh* 

Tahu dan tempe, kedua makanan berbahan baku kedelai ini biasa dikonsumsi oleh mayoritas orang Indonesia. Selain harganya murah, kandungan gizi di dalamnya juga tak kalah dengan makanan lain. Sayangnya, dalam waktu tiga bulan terakhir ini harga kedelai terus  mengalami kenaikan dari harga Rp6.700, hingga kini Rp9.500. (radarcirebon.com/13/01/2021)

Kondisi ini tak hanya dikeluhkan oleh pedagang di kota Cirebon saja karena kota-kota lainnya pun juga mengalami hal yang sama. Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan, Suhanto  naiknya harga kedelai di dalam negeri, murni menegaskan naiknya harga kedelai di tingkat internasional. Suhanto memaparkan  harga kedelai di pasar internasional naik 9% dari kisaran US$ 11,92 menjadi US$ 12,95 per busel. Padahal saat ini Indonesia masih memenuhi kebutuhan kedelainya 70% dari impor. (cnnindonesia.com/13/01/2021)

Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada (UGM) Catur Sugiyanto menyebut, ada sejumlah faktor yang membuat harga kedelai impor di Indonesia membumbung tinggi. Dalam jangka pendek antara 1-2 tahun ke depan, adanya Covid-19 mengakibatkan pengiriman kedelai (dari negara eksportir ke negara importir) agak terganggu karena banyaknya pembatasan dan aturan yang diberlakukan sejumlah negara dalam rangka mengendalikan pandemi Covid-19 di wilayahnya. Faktor lain adalah keberadaan China sebagai negara importir kedelai terbesar di Asia. Telah pulihnya China dari terpaan badai hebat Covid-19 membuat kebutuhan kedelai di negara berpenduduk padat itu meningkat, khususnya untuk keperluan pangan. "China sudah mulai recover (dari) Covid-19, sehingga permintaan kedelai untuk pakan meningkat, akibatnya banyak kedelai tersedot ke China," jelasnya (kompas.com/13/01/2021)

Permasalahan ini akan terus berulang, karena Indonesia belum bisa memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri. Padahal Indonesia adalah negara dengan konsumsi kedelai terbesar di dunia setelah China. Apalagi sebagian besar kedelai terserap untuk kebutuhan produksi tahu dan tempe yang menjadi makanan mayoritas rakyat. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor kedelai Indonesia sepanjang semester-I 2020 mencapai 1,27 juta ton atau senilai 510,2 juta dollar AS atau sekitar Rp 7,24 triliun (kurs Rp 14.200). Sebanyak 1,14 juta ton di antaranya berasal dari Amerika Serikat (AS). Produktivitas di AS lebih tinggi lantaran tanaman kedelai mendapatkan penyinaran matahari sekitar 16 jam, sedangkan Indonesia berkisar 12 jam. 

Mengingat besarnya impor kedelai tersebut, presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat melontarkan janji untuk swasembada kedelai saat menjabat di periode pertamanya tahun 2014-2019. Dimana pemerintah telah menargetkan Indonesia bisa swasembada pangan khususnya untuk 3 jenis produk pertanian meliputi padi, jagung, dan kedelai dalam 3 tahun. Bahkan ia mengeklaim tak segan-segan untuk memecat Menteri Pertanian jika target tersebut tak bisa direalisasikan. "Saya sudah beri target Menteri Pertanian tiga tahun, tidak boleh lebih. Hati-hati, tiga tahun belum swasembada, saya ganti menterinya," kata Presiden Jokowi saat memberi kuliah umum di Kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada penghujung 2014 silam. (kompas.com/13/01/2021)

Salah urus pemerintah dalam sektor pangan ini tampak dalam rendahnya pasokan dalam negeri serta ketidakmampuan pemerintah dalam menjaga kestabilan harga. Program swasembada hanyalah sekedar mimpi belaka selama sistem sekuler kapitalisme masih berkuasa. Padahal urusan pangan adalah masalah yang krusial. Karena itu, negara tidak boleh bergantung pada negara lain. Negara harusnya memberi subsidi besar bagi para petani agar mereka dapat memproduksi pangan, biaya produksi ringan, dan keuntungan bisa besar. Apalagi ketika berbicara masalah pangan pasti juga berkaitan erat dengan lahan pertanian, alat produksi, dan petani itu sendiri. 

Hilangnya kendali negara dalam urusan pangan ini telah membuahkan kecarutmarutan. Di satu sisi masyarakat makin sulit mengakses pangan karena harga mahal, disisi lain petani terus termarginalisasi dan tidak bergairah bertani. Ujung-ujungnya pemerintah mudahnya melakukan impor dengan dalih pemenuhan stok dan stabilisasi harga pangan. Padahal pemerintahlah yang abai dalam mengurusi pangan.

Tentu hal ini tidak akan terjadi jika negara mau menerapkan sistem Islam. Karena Khilafah akan hadir secara utuh dalam pengelolaan pangan mulai dari aspek hulu sampai ke hilir sebagai wujud pertanggungjawaban atas amanah kekuasaan dari Rab-Nya. 

Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda dalam sebuah hadits: “Sesungguhnya seorang penguasa adalah pengurus (urusan rakyatnya), dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)


* (aktivis BMI Community Cirebon)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak