Demokrasi, Illusi Menuntaskan Persoalan Kekerasan Seksual



Oleh : Qonitta Al-Mujadillaa

 (Aktivis Dakwah Islam)

Bagaikan fenomena gunung es, kekerasan seksual semakin menjamur. Kekerasan seksual terus berulang tanpa ada akhirnya, walaupun upaya pembatasan selalu ada. Hal ini menjadi alarm bagi negeri atas problem kekerasan seksual ini.

Sebagaimana dilansir oleh Kompas.com (15/1/2021) , Universitas Brawijaya menerbitkan Peraturan Rektor nomor 70 tahun 2020. Penerbitan itu demi melindungi seluruh sivitas akademika dari tindak kekerasan seksual dan perundungan. Sebelumnya, UGM juga telah mengeluarkan peraturan Rektor tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual oleh Masyarakat UGM yang dituangkan dalam Peraturan Rektor No 1 tahun 2020. Peraturan itu, merupakan upaya besar UGM dalam mencegah dan menindak kasus kekerasan seksual. Tujuannya agar lebih cepat menangani korban dan menindak pelaku. 


Adapun dalam skala nasional yang dilansir oleh detiknews.com (Komnas Perempuan menyambut baik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2021. Sebab, RUU PKS tersebut sudah diusulkan sejak 2012. Komnas Perempuan pun mengapresiasi DPR RI yang telah menetapkan hal tersebut. 


Persoalan kekerasan seksual makin hari makin memuncak, hadirnya peraturan-peraturan untuk memberantasnya. Lantas, mampukah peraturan undang-undang tersebut untuk memberantas segala bentuk kekerasan seksual khususnya untuk perempuan dan anak?


Sedari awal, hadirnya RUU PKS banyak menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Sebagian masyarakat meragukan akan peraturan ini dalam mengatasi persoalan kekerasan seksual.


Sebagaimana dilansir dari detiknews.com (Kamis, 14/2/2019) bahwa Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Euis Sunarti, menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) disahkan. Menurut Euis, RUU tersebut seolah melegalkan pelacuran karena tidak mengatur larangan perzinaan dalam RUU PKS itu. Adapun dalam RUU PKS memang benar mengatur masalah kekerasan seksual, namun persoalan penyimpangan dan kejahatan seksual tidak diatur. Dalam RUU ini yang dipersoalkan hanya kekerasannya. Seperti pelacuran yang dipersoalkan yakni kekerasan dalam prakteknya, bukan sebab mengapa hal tersebut terjadi dan aktivitas pelacurannya. Sama halnya terkait aborsi, kekerasan dalam aborsinya, bukan aktivitas aborsinya.


Begitupula, penyimpangan seksual seperti elgebete pun tidak diatur, padahal penyimpangan ini sangat meresahkan masyarakat dan terus bermunculan di tengah masyarakat. Maka, jika aktivitas tersebut dilakukan dengan suka sama suka, tidak ada paksaan atau kekerasan seksual, baik itu perzinaan, elgebete dan selainnya, maka hal ini dibiarkan berkembang. Inilah bahaya dari RUU PKS ini. 


Sejatinya, munculnya peraturan tersebut tidak membawa solusi bagi persoalan kekerasan seksual di tengah masyarakat. Malah menjadi bumerang dan semakin berkembangnya penyimpangan seksual dengan dalih suka sama suka di tengah masyarakat. Sungguh, ini akan membuat boom waktu meledaknya atas kerusakan sosial dan berpeluang besar terjadinya kejahatan akan hadir di tengah masyarakat. Inilah tabiat dari sistem demokrasi yang niscaya akan melahirkan peraturan yang justru bukan menuntaskan persoalannya, akan tetapi membuat persoalan semakin bertambah. Sistem demokrasi yang menjadikan manusia sebagai pihak yang berdaulat untuk membuat aturan. Sedangkan, manusia adalah makhluk yang lemah, terbatas dan tergantung. Manusia tidak akan pernah mampu membuat aturan kehidupan yang kompleks untuk mengatasi persoalan kehidupan. Sebab manusia sendiri adalah seorang makhluk lemah yang diciptakan oleh Allah Swt. Selain daripada itu, selama masyarakat saat ini masih bertumpu pada kehidupan sekuler (memisahkan agama dari kehidupan) dan liberal (bebas) maka persoalan ini tidak akan tuntas sekalipun hadir RUU PKS ini. Justru adanya peraturan ini akan menjadi payung hukum bagi pelaku elgebete, zina atau perselingkuhan yang dilakukan atas dalih suka sama suka.


 Oleh karena itu, harusnya seluruh elemen masyarakat haruslah jeli  dan memahami draf RUU PKS. Akan tetapi, inilah konsekuensi atas penerapan sistem demokrasi – kapitalisme (sekuler) di tengah kehidupan. Maka, semua niscaya tidak akan berikan solusi tuntas dan paripurna atas berbagai persoalan kehidupan khususnya kekerasan seksual.


Berbeda dengan Islam, dalam Islam merupakan agama sekaligus ideologi yang melahirkan aturan sempurna sebagai solusi kehidupan. Islam sejak 1400 tahun lamanya menjadi sebuah peradaban yang agung dan melindungi hak-hak kemanusiaan, menjaga jiwa, harta dan sebagainya baik kepada perempuan maupun laki-laki. Islam begitu memuliakan perempuan dan selalu berada di garda terdepan dalam menyelamatkan perempuan dari ketertindasan, sedang Arab jahiliyah, Roma, Persia dan lainnya justru mengeksploitasi perempuan.


Adapun Islam sangat menjaga, menghormati dan melindungi perempuan, menurut Islam bahwa zina dan elgebete adalah kejahatan seksual. Islam memberikan solusi bagi kekerasan seksual secara kuratif (penanggulangan) dan preventif (pencegahan). Adapun secara preventif (pencegahan), maka Islam akan mengubah pandangan masyarakat secara total mengenai hubungan laki-laki dan perempuan sesuai dengan pandangan Islam. Islam memandang bahwa kehidupan laki-laki dan perempuan terpisah, kecuali karena uzur syar’i, berdagang, pendidikan, kesehatan, muamalah dan dengan diciptakan mereka untuk berta’awun (tolong-menolong). 


Adapun terkait ketertarikan dengan lawan jenis adalah hal yang wajar karena Allah menciptakan gharizatun naw, namun ini dipenuhi hanya melalui pernikahan untuk melestarikan jenisnya. Selain dari pada itu, pandangan masyarakat ini harus dibangun karena ketakwaan yang akan ditanamkan dalam sistem pendidikan Islam. Dalam Islam, sistem pendidikan Islam akan melahirkan generasi yang bersyaksiyah (berkepribadian). Islam juga akan menerapkan sistem pergaulan Islam yang mengatur interaksi laki-laki dan perempuan dalam kehidupannya.


Islam memiliki kontrol sosial dengan adanya aktivitas nasehat menasehati (amar maruf nahi munkar) kebaikan dan kebenaran dan menyelisihi segala bentuk kemaksiatan di tengah masyarakat dengan cara yang ahsan (baik). Islam tidak akan membiarkan media baik cetak, televisi atau selainnya jika ada tayangan ataupun sajian mengenai pornografi dan pornoaksi. Begitupula, apresiasi dari Islam kepada manusia bukan karena fisiknya tetapi karena ilmu, kecerdasan dan karya kualitas yang mampu memberikan kontribusi pada masyarakat dan peradaban Islam.


Adapun secara kuratif (penangulangan), maka Islam secara tegas memberikan sanksi jika terjadi penyimpangan seksual atau kekerasan seksual yang terjadi pada masyarakat terlebih kaum perempuan dan anak. Sanksi (uqubat) tegas bagi pelaku elgebete, zina, dan  selainnya. Hukuman bagi elgebete yakni dibunuh (sesuai hadist Abu dawud, at-tirmidzi dan ibnu majah), sebab inilah hukuman untuk memutus mata rantai penyimpangan ini. Hukuman zina jika sudah menikah maka dirajam sampai meninggal dunia, yang belum menikah akan dicambuk seratus kali dan di arak di perkampungan sekitar (sesuai hadis al – Bukhari). Sanksi Islam ini akan memberikan efek jera (zawajir) dan menebus dosa ketika di akhirat (jawabir) bagi pelaku. 


Tentu semua solusi kuratif dan preventif ini akan bisa dilaksanakan tatkala negara menerapkan syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) dibawah naungan institusi Khilafah Isslamiyah. 

Wallahu ‘alam bishawab. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak