Oleh : Alin FM
Praktisi
Multimedia dan penulis
Mengawali tahun 2021, masyarakat dikejutkan
dengan kelangkaan tempe dan tahu di pasaran. Kado pahit awal tahun yang
mencengangkan dimana Indonesia masih dalam dekapan covid-19 dan mempengaruhi
perekonomian masyarakat. Sehingga pilihan menu favorit keluarga di masa
pandemic ini adalah tempe dan tahu.
Selain tempe dan tahu adalah makanan yang sangat terjangkau bagi masyarakat
saat ini, ia juga terbuat dari kedelai yang kaya akan protein dapat memenuhi
asupan gizi keluarga Indonesia.
Kelangkaan tempe dan tahu bukanlah tanpa sebab. Kenaikan harga kedelai memukul para pelaku
industri tempe dan tahu. Akibatnya
banyak dari mereka memutuskan untuk melakukan mogok produksi selama 3 hari.
Para pelaku industri tempe tahu sangat terbebani dengan adanya kenaikan harga
kedelai yang mencapai sebesar 46,2% persen pada awal tahun 2021 ini.
Harga kedelai telah mengalami lonjakan
drastis selama pandemi virus Corona (COVID-19). Normalnya, harga kedelai di
kisaran Rp 6.100-6.500 per kilogram (Kg), kini naik menjadi sekitar Rp
9.500/Kg. (finance.detik.com, 3/01/2021)
Sementara itu, impor kedelai memang tak
terbendung ke Indonesia. Sejak awal tahun hingga bulan Oktober 2020 saja,
menurut data BPS yang dikutip Minggu (3/1/2021), Indonesia sudah mengimpor
kedelai sebanyak 2,11 ton kedelai dengan total transaksi sebesar US$ 842 juta
atau sekitar Rp 11,7 triliun (kurs Rp 14.000).
Mogoknya
para pelaku industri tempe dan tahu bukanlah kali pertama. Di tahun 2012
para pelaku industri tempe tahu pernah melakukannya. Kenapa kelangkaan
tempe dan tahu kembali terulang? Apa
penyebab para pelaku industri tempe tahu mogok selama 3 hari?.
Negeri ini salah satu mengkonsumsi kedelai
terbesar di dunia. Tempe adalah makanan keseharian masyarakat Indonesia sampai
dikenal dengan negeri tempe. Istilah
tempe pernah menjadi bagian dari pidato Soekarno 17 Agustus 1963 dengan gaungan
"bukan bangsa tempe" sebagai ungkapan Indonesia bukan bangsa pengemis,
melainkan negara besar.
Bisa dikatakan hampir sebagian besar
penduduk negeri ini mengenal tempe dan tahu. Keanekaragaman olahan tempe dan
tahu bisa disajikan setiap hari. Oleh karena itu,
adalah wajar ketergantungan negeri ini terhadap tempe dan tahu dengan bahan
baku dari kedelai itu sangatlah besar.
Persoalannya, Indonesia sangat bergantung
sekali pada kedelai impor. Indonesia sendiri setiap tahunnya membutuhkan
sebanyak 2 juta ton kedelei untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.
Selama Januari-Oktober 2020, impor kedelai
dari AS ke Indonesia jumlahnya mencapai 1,92 juta ton dengan nilai transaksi
sebesar US$ 762 juta atau sekitar Rp 10,6 triliun. Selama tiga tahun terakhir,
impor kedelai pun terus meningkat. Di tahun 2018 impor kedelai mencapai 2,58
juta ton, kemudian jumlahnya naik di tahun 2019 menjadi 2,67 juta ton. Selama
itu pula, AS menjadi negara paling banyak yang menyediakan kebutuhan kedelai di
Indonesia. ( finance.detik.com, 3/01/2021)
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor
kedelai Indonesia sepanjang semester-I 2020 mencapai 1,27 juta ton atau senilai
510,2 juta dollar AS atau sekitar Rp 7,52 triliun (kurs Rp 14.700). Sebanyak
1,14 juta ton di antaranya berasal dari AS.
Dikutip dari Harian Kompas, selama kurun
sepuluh tahun terakhir, volume kedelai impor mencapai 2-7 kali lipat produksi
kedelai lokal, sebagian besar berasal dari Amerika Serikat.
Karena ketergantungan impor yang sangat
tinggi, tentunya gejolak harga di pasar internasional sangat rentan sekali
terhadap pasokan di dalam negeri.
Bayangkan, harga kedelai impor kini
mencapai Rp9.500 per kg atau naik 46,2% dibandingkan dengan akhir tahun Rp6.500 per kg. Perajin mengkhawatirkan harga
itu diprediksi bisa menembus Rp10.000 per kg. Jika tidak ada operasi pasar pemerintah.
Perajin tahu dan tempe langsung menjerit.
Biaya produksi naik signifikan, tetapi di sisi lain mereka tidak berani
menaikkan harga jual. Tidak sedikit perajin yang harus bersedia mengurangi
keuntungannya hingga 30%, bahkan berhenti produksi. Akibat ketidakberdayaan
itu, perajin dan produsen siap melakukan aksi mogok dengan menghentikan
produksinya selama 3 hari yang sudah direncanakan pada 30 Desember tahun lalu.
Aksi mogok yang dilakukan perajin tahu dan tempe ditujukan agar mendapat
perhatian pemerintah.
Para pengrajin tempe tahu anggota Gabungan
Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) akan melakukan mogok
produksi pada 1-3 Januari 2021. Ketua Umum Gakoptindo Aip Syarifuddin dalam
surat edarannya menyampaikan jika aksi ini dilakukan untuk menyikapi harga
kedelai yang terus naik dan berdampak kepada harga jual produksi tempe dan
tahu. (finance.detik.com, 30/12/2020).
"Sejalan dengan hal tersebut, dengan
ini kami pengurus GAKOPTINDO mendukung langkah dan upaya yang dilakukan
PUSKOPTI DKI Jakarta dan Jawa Barat untuk melakukan mogok produksi, dengan
tujuan agar kenaikan harga tempe dan tahu bisa kompak," ujar Aip dikutip
dari surat edaran, Rabu (30/12/2020).
Lantaran banyaknya beredar kedelai impor
dibandingkan kedelai lokal telah mengakibatkan harga kedelai eceran turut
dipengaruhi harga kedelai pasar internasional.
Isu gagal panennya pertanian kedelai di
Amerika Serikat dan Eropa membuat harga di pasar internasional terus merangkak
naik. Kondisi itu juga berpengaruh terhadap pasar domestik. Untuk mendapatkan
kedelai lokal sudah tidak ada lagi karena seluruh kedelai yang ada di eceran
kebanyakan kedelai impor dari AS.
Liberalisasi Kedelai
Sebagai negara agraris, sistem perdagangan
merupakan kunci keberhasilan pengembangan sistem agribisnis. Kesepakatan World
Trade Organization (WTO) yang dicapai pada tahun 1994 melalui pertemuan Putaran
Uruguay (Uruguay Round) diberlakukan mulai 1 Januari 1995 dan berakhir pada
31Desember 2005. Kesepakatan di bidang pertanian (AoA) merupakan bagian sangat
penting dalam kesepakatan umum tersebut. Sebagai salah satu negara yang ikut
meratifikasi kesepakatan itu, Indonesia telah mengajukan komitmennya
sebagaimana yang tertuang dalam Schedule XXI.
Isi komitmen untuk perdagangan hasil-hasil
pertanian penurunan tarif (tariff reduction), tarif kuota (quota tariff),
pengamanan khusus (Special Safegard=SSG), dan subsidi ekspor (export subsidy).
Dalam implementasinya, Indonesia hanya menggunakan instrumen tarif sebagai alat
perlindungan. Namun karena posisi Indonesia lemah, maka tarif yang dikenakan
untuk impor kedelai 0%, padahal dalam AoA-WTO disepakati 27%. Dampaknya adalah
derasnya arus impor kedelai ke Indonesia, sehingga mengakibatkan jatuhnya harga
kedelai dalam negeri.
Liberalisasi perdagangan di sektor
pertanian yang dirancang dalam AoA WTO semula diharapkan mampu membawa hasil
yang signifikan bagi pembangunan ekonomi, khususnya pembangunan perdesaan dan
pertanian di sebagian besar negara anggota WTO, termasuk Indonesia. Namun yang
terjadi adalah sebaliknya. Impor pangan
justru mengalami peningkatan dibanding sebelumnya, sebaliknya ekspor
produk pertanian dari Indonesia cenderung mengalami penurunan.
Kemiskinan dan kelaparan juga melanda
Indonesia belum berkurang, bahkan di beberapa tempat bertambah. Pada saat yang
sama, hutang luar Indonesia meningkat. Hal itu telah menyulitkan Indonesia
untuk mempercepat pengentasan kemiskinan, memperlemah ketahanan pangan, dan
pembangunan perdesaan. Padahal, tidak kurang dari 60% penduduk Indonesia
bertempat tinggal di wilayah perdesaan, dominan penduduk miskin serta
bergantung pada sektor pertanian. Dampak buruk dari liberalisasi perdagangan
dan beban hutang luar negeri sangat terasa oleh masyarakat Indonesia.
Sistem Demokrasi-kapitalisme yang
dibangga-banggakan telah menemui kegagalan. Dari menangani pandemi covid-19
sampai mengurus ketahanan pangan termasuk ketahanan pangan kedelai di dalam
negeri. Situasi ketahanan pangan kedelai memburuk seiring lemahnya sektor
produksi dan arus distribusi barang di masa pandemic ini. Ketahanan pangan
kedelai yang tidak dimiliki memicu gejolak kenaikan harga kedelai.
Kedelai adalah salah satu komoditas
pertanian yang paling diminati di Indonesia. Kemampuan yang dalam menyediakan
kedelai menjadi hal penting dalam kelangsungan produksi tempe, tahu, dan olehan
kedelai lainnnya. Maka ketahanan pangan
kedelai di dalam negeri harus terjaga agar terwujudnya kesejahteraan masyarakat
dan terhindar dari krisis pangan kedelai. Tapi apa jadinya jika negeri ini
sangat bergantung pada impor. Dengan alasan produksi dalam negeri tidak
mencukupi kebutuhan sehingga dengan gampang melakukan solusi impor. Kemudian
bagaimana jika negara pengimpor tidak lagi menyuplai kebutuhan pangan kedelai
di tengah pandemi seperti sekarang ini? Pasti yang terjadi ancaman
krisis pangan kedelai dan penimbunan mafia kedelai yang ingin mencari
keuntungan. Sehingga kenaikan harga kedelai tak terhindarkan.
Kondisi itu justru harusnya menjadi peluang
Indonesia untuk memanfaatkan kenaikan harga pasar internasional untuk dapat
mengembangkan kedelai di dalam negeri, sehingga harga kedelai lokal akan lebih
kompetitif.
Selama ini, rendahnya produksi kedelai
lokal disebabkan oleh petani tidak tertarik untuk menanam kedelai, karena
harganya rendah. Harga kedelai lokal rendah mengikuti harga kedelai impor.
Selain problem produktivitas, faktor harga jual di tingkat petani dinilai
berpengaruh besar terhadap pengembangan kedelai lokal. Oleh karena dianggap
tidak menguntungkan, petani memilih menanam komoditas lain.
Seharusnya pemerintah memberikan perhatian
khusus kepada bahan baku tempe dan tahu ini. Penguasaan teknologi kedelai
secara tepat sebagai kendala harus kuasai. Meningkatkan produktivitas secara
efesien sampai menghentikan impor harus dilakukan sehingga petani kedelai tidak
merugi dan geliat produksi kedelai meningkatkan.
Masalah ketahanan pangan kedelai kerap
terjadi pada negara pengabdopsi sistem ekonomi neoliberal. Tata kelola yang
menjadi basis ketahanan pangan kedelai tidak dioptimalkan secara sempurna.
Alih-alih produktivitas lahan kedelai ditingkatkan malah kendala demi menjadi alasan dalam
menggenjot produksi.
Sistem ekonomi neoliberal telah benar-benar
merusak, termasuk sektor ketahanan pangan kedelai negeri ini. Hanya dinikmati oleh segelintir kaum
kapitalis telah menjadikan hukum ekonomi layaknya hukum rimba, siapa yang kuat
dan bermodal besar dialah yang bertahan dan menguasai pasar. Modal lebih banyak beredar di bisnis mafia
pangan dibandingkan modal untuk produksi pangan nasional. Limpahan Sumber Daya
Alam yang luar biasa belum bisa dinikmati dengan semestinya.
Dalam sistem Islam, ketahanan pangan adalah
salah satu faktor yang sangat diperhatikan karena ketahanan pangan menyangkut
ketahanan negara. Kebutuhan pangan adalah kebutuhan dan hak dasar setiap
manusia. Negara harus menjamin kebutuhan hidup setiap warganya. Islam tak akan
membiarkan swasta atau asing menguasai aset ataupun sumber daya alam yang
berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Pengelolaan Sumber daya alam
dilakukan sendiri tanpa intervensi asing ataupun kepentingan kaum kapitalis.
Hasil pengeloaan SDA akan digunakan sebagai sumber pendanaan untuk kepentingan
rakyat.
Islam Sebagai sistem kehidupan dan agama
yang sempurna memiliki konsep paripurna dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Islam memandang pangan merupakan salah
satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi per individu. Seorang pemimpin
akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak bila ada satu orang
saja dari rakyatnya yang menderita.
Untuk itu peningkatan ketersediaan
pangan agar manusia terhindar dari
krisis pangan, maka harus ada upaya untuk
mengelola lahan menjadi produktif. Khilafah sangat menaruh perhatian
tentang hal tersebut guna meningkatkan produktivitas lahan. Tanah-tanah mati
yaitu tanah yang tidak tampak adanya bekas-bekas tanah itu diproduktifkan, bisa
dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya dengan maksud untuk
memproduktifkannya atau menanaminya dan tanah itu menjadi milik orang yang
menghidupkannya itu. Rasul bersabda:
Siapa saja yang menghidupkan tanah mati
maka tanah itu menjadi miliknya (HR. Tirmidzi, Abu Dawud).
Selanjutnya, siapapun yang memiliki tanah
baik dari menghidupkan tanah mati atau dari warisan, membeli, hibah, dsb, jika
ia telantarkan tiga tahun berturut-turut maka hak kepemilikannya atas tanah itu
hilang. Selanjutnya tanah yang
ditelantarkan pemiliknya tiga tahun berturut-turut itu diambil oleh negara dan
didistribusikan kepada individu rakyat yang mampu mengolahnya, tentu dengan
memperhatikan keseimbangan ekonomi dan pemerataan secara adil.
Kenyataannya bahwa sistem kapitalisme
dengan ekonomi neoliberal tak akan mampu menyelamatkan masyarakat dari pandemi
yang diikuti kenaikan harga kedelai yang akan terjadi pasca pandemic. Seharusnya makin menyadarkan masyarakat
terutama seorang muslim bahwa kita membutuhkan tatanan dunia baru. Satu-satunya
sistem yang telah terbukti mampu menyelesaikan persoalan ini adalah sistem
Islam selama 1300 abad silam. Khilafah Islamiyyah A'la minhajil nubuwwah.
Wallahu a'lam bishoab