Oleh: Ummu Zamzama
Al-Qur'an adalah Kalamullah yang berisi pesan indah bagi tiap-tiap akal manusia. Al-Qur'an juga memuat sejumlah regulasi dari Sang Pencipta tentang kehidupan agar selaras dan seimbang, sesuai fitrah kemanusiaan. Selain kontennya yang sempurna, struktur bahasa dan syairnya pun sempurna. Kedua unsur itu mengungguli mahakarya terbaik manusia pada zamannya, yakni mahakarya syair zaman jahiliyah.
Pada sisi inilah, orang-orang kafir Quraisy merasa 'dikalahkan' oleh keagungan Al-Qur'an. Al-Qur'an telah menempatkan Muhammad pada kedudukan yang menggeser popularitas punggawa kafir jahiliyah. Mereka tentu saja iri hati, sebagaimana diungkap oleh Allah dalam QS. az-Zukhruf [43]:31,
"Dan mereka berkata: "Mengapa Al-Qur'an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?"
Lalu Allah pun menjawabnya pada ayat berikutnya, "Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (QS. az-Zukhruf [43]: 32)
Tipologi pertanyaan yang diajukan oleh kaum kafir Quraisy itu jelas terkategori dengki yang dipicu motif harta, tahta, atau berupa kesenangan dunia lainnya. Padahal Muhammad diutus sebagai nabi dan rasul bukan untuk menjadi 'pesaing' mereka dalam hal ini. Akan tetapi, Muhammad hanyalah menyampaikan dan menyeru kebenaran kepada mereka, yaitu ketauhidan kepada Allah.
Bukannya open mind, orang-orang kafir itu justru mengunci rapat mata hati dan pikiran mereka. Allah pun menyebut mereka sebagai kaum yang tidak mengerti (QS. al-Hasyr [59]:13) dan tidak memahami pembicaraan (QS. an-Nisa[4]: 78). Mereka selalu membantah ayat-ayat Al-Qur'an dengan berkata: "Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah" (QS. al-An'am [6]: 124).
Sungguh, sikap kafir Quraisy terhadap dakwah Muhammad dapat dipahami sebagai upaya pembelaan membabi-buta terhadap kepentingan bisnis dan reputasi sosial mereka, serta adat istiadat dan sistem masyarakat jahiliyah. Selain juga pembelaan terhadap prestise mereka. Sebuah penghinaan terhadap harga diri bahwa bagaimana mungkin seorang pemuda kemarin sore tiba-tiba mendustakan keyakinan leluhurnya sendiri? Dalam kacamata kaum kafir Quraisy, hal ini tentu saja dapat menurunkan martabat dan kedudukan mereka di tengah masyarakat Arab. Rasa iri inilah yang telah menyulut api kebencian pada diri mereka.
Kebencian itu dibangun lantaran risalah kenabian yang didakwahkan Muhammad dan para pengikutnya. Oleh karena itu, mereka melakukan berbagai upaya untuk 'menembak' dakwah. Pada awalnya mereka menyasar profil pribadi Muhammad. Dikatakanlah bahwa Muhammad seorang pendusta, tukang sihir hingga orang gila. Namun 'peluru' cercaan itu gagal bersarang sebab Muhammad sangat populer dengan gelar al-amiin (yang terpercaya).
Mereka kemudian menembakkan peluru berikutnya, yaitu penindasan. Orang-orang lemah dan tak berdaya dari kalangan pengikut Muhammad menjadi sasaran kekejaman dan penyiksaan fisik. Keluarga Yasir dan Bilal adalah contoh dari aksi memilukan ini. Bahkan Rasulullah ﷺ sendiri pun tak luput dari sejumlah aksi kekerasan fisik ini meskipun beliau dijaga oleh Allah.
Sasaran kekejaman Quraisy meluas, tidak hanya pada kalangan lemah, dan para budak tetapi juga kalangan terpandang seperti Abu Bakar, Utsman bin Affan, Zubai bin Awwam, dll. Abu Bakar dilukai kepalanya hingga pingsan. Utsman bin Affan disiksa pamannya dengan pukulan menyakitkan. Sementara itu, Zubair bin Awwam digulung dalam tikar dan dipaksa menghirup asap. Sungguh menyesakkan dada.
Rasulullah ﷺ sangat sedih atas peristiwa yang menimpa pengikut-pengikutnya. Tidak ada ajakan lain dari Rasulullah ﷺ kecuali untuk tetap bertahan dalam kesabaran, ketegaran, dan keistiqomahan dalam dakwah. Tidak ada yang Beliau ﷺ janjikan kepada pengikut setianya kecuali pertolongan Allah. Rasulullah ﷺ meringankan siksaan yang dirasakan para sahabat dan pengikutnya dengan cara 'story telling', yaitu mengisahkan bagaimana orang-orang mukmin terdahulu bertahan dari siksaan kaum kafir.
Nampaknya kaum kafir Quraisy tidak memiliki jalan lain kecuali menindas kaum muslim. Hal ini dimaksudkan untuk menjadi pelajaran bagi kaum muslim lain agar berpikir ulang untuk memeluk Islam dan meninggalkan ajaran nenek moyang. Berbagai kabilah Quraisy menggunakan tangan besinya untuk menghalangi tersebarnya Islam dan menembak dakwah Islam.
Namun upaya ini tak sedikitpun menyurutkan laju dakwah. Bahkan Islam kian dikenal di kalangan luar Arab lantaran dijadikan sasaran eksploitasi amarah dari para pembesar kabilah. Endingnya, upaya ini pun gagal. Hingga tibalah bagi kaum kafir Quraisy untuk menembak dakwah dengan peluru berikutnya, yaitu pemboikotan.
Episode dakwah Islam era Mekah mendekati klimaks. Perseteruan antara kefururan dan keimanan sampai pada segmen blokade. Orang-orang kafir Quraisy melakukan persekongkolan dan pemufakatan jahat untuk melakukan embargo terhadap kaum muslim secara ekonomi, sosial, dan militer. Tak tanggung-tanggung, dibuatlah nota kesepakatan (piagam resmi) yang ditandatangani bersama dan digantung di dinding Kakbah. Sungguh, mereka telah bersepakat untuk menyengsarakan Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib dengan melarang adanya pernikahan dan transaksi jual beli bagi keduanya.
Aktor intelektual di balik pemboikotan ini adalah Abu Jahal dan Abu Lahab. Tujuan pemboikotan ini tak lain adalah agar Muhammad meninggalkan dakwahnya. Teruntuk kedua Bani yang diboikot, tujuannya agar mereka menyerahkan Muhammad kepada Quraisy untuk dibunuh.
Namun, tiga tahun dilockdown total, Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib nampak tegar meskipun harus berkelahi dengan rasa lapar dan dahaga. Mereka rela bertaruh nyawa demi melindungi dakwah Islam. Di sinilah Islam menemukan realitasnya. Pertama, bahwa keimanan yang dibangun di atas dasar proses berpikir mendasar dan menyeluruh mampu survive pada kondisi kritis sekalipun.
Kedua, bahwa segala bentuk intimidasi tidak menemukan hasil relevan bagi kaum kafir Quraisy sebab dilakukan dengan cara merusak logika dan tidak manusiawi. Hal ini justru menarik simpati publik di luar jazirah Arab dan makin meluaskan opini dakwah sebagai sebuah kebenaran.
وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ ۚ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ ٱللَّهُ ۖ وَٱللَّهُ خَيْرُ ٱلْمَٰكِرِينَ
Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya. (QS Al Anfal : 30).
Demikianlah sejarah memberi pelajaran bagi siapa saja yang mau berpikir. Segala tipu daya terhadap dakwah, pasti akan musnah. Sejarah mencatatkan para pengikut Rasul berada dalam barisan orang-orang yang mulia dan dikenang sepanjang masa. Sebaliknya, sejarah mewanti-wanti agar kita tidak dinobatkan sebagai "kekasih setan" karena menghalang-halangi manusia dari jalan kebenaran.
Sudah waktunya kita mengambil posisi dalam berislam secara tepat dan proporsional. Meneruskan dakwah mengikuti jalan para nabi, baik dakwah amar ma'ruf maupun nahi mungkar dan bukan memilih diam atau bungkam terhadap kesewenang-wenangan.