Cukupkah dengan PPKM Jawa-Bali?



Oleh: Neng Ipeh *

Tingginya angka harian kasus positif Covid-19 di Tanah Air serta temuan varian baru virus SARS-Cov-2 yang disebut lebih cepat menular membuat pemerintah memutuskan untuk menarik rem darurat. Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat ( PPKM) di Jawa-Bali ini berlaku mulai dari 11 sampai 25 Januari 2021. Setidaknya ada 22 daerah yang menjadi prioritas pelaksanaannya. (nasional.kontan.co.id/13/01/2021)

PPKM mirip dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang selama ini berlaku, tetapi dengan sejumlah ketentuan baru untuk membatasi aktivitas masyarakat. PPKM/PSBB akan membatasi sejumlah kegiatan, dari bekerja, beribadah, bersekolah, hingga wisata demi mengurangi penyebaran virus Covid-19 di Indonesia.

Meski tidak termasuk kota yang melaksanakan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), namun Walikota mengatakan Pemkot (pemerintah kota) Cirebon akan tetap melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat untuk pencegahan penyebaran Covid-19 dan mengantisipasi dampak PPKM Jawa-Bali yang berlaku di daerah lain. “Karena Kota Cirebon posisinya berada di perlintasan jalur nasional dan menjadi sentral perekonomian di sekitarnya, maka kita harus memastikan agar setiap lalu lalang orang yang akan keluar masuk Kota Cirebon aman dan bisa meminimalisir penularan,” ujar Azis. (radarcirebon.com/13/01/2021)

Sayangnya, Epidemiolog Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menilai kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB Jawa-Bali hanya akan sia-sia dalam upaya menekan penyebaran Covid-19. Menurutnya, Indonesia hanya akan berada dalam jebakan PSBB jika tidak ada langkah konkret menangani Covid-19. Langkah itu berkaitan dengan testing, tracing, dan isolasi besar-besaran untuk mencegah penularan yang semakin tinggi. "PSBB tanpa testing yang optimal ya bolak-balik enggak akan efektif. Ini yang harus jadi pelajaran, malah jadi jebakan PSBB," katanya. (cnnindonesia.com/13/01/2021)

Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menilai kebijakan ini sudah sangat terlambat. Pasalnya, angka kasus positif corona di Indonesia sudah terlanjur tinggi dan sulit untuk ditekan. “Kita patut menyesali keputusan untuk tidak lockdown 10 bulan lalu karena imbasnya jadi seperti saat ini. Ketika pemerintah mencari jalan tengah antara kesehatan dan ekonomi akhirnya selama 10 bulan tak mampu menekan kasus,” ujarnya. (kontan.co.id/13/01/2021)

Kebijakan itu ibarat pil pahit yang harus ditelan oleh ekonomi karena Indonesia gagal mengendalikan pandemi selama 10 bulan terakhir. Apalagi kebijakan ini tentu berdampak besar bagi aktivitas sektor industri, perdagangan, konstruksi hingga pertanian yang mayoritasnya berada di pulau Jawa dan Bali. Jika dilihat dari proporsinya, empat lapangan usaha ini memiliki kontribusi sebesar 57 persen terhadap PDB.

Banyak pihak menilai pemerintah terlihat tak konsisten dalam kata dan perbuatan terkait penanganan kasus corona ini. Disatu sisi ingin agar ekonomi jalan tapi kesehatan tetap dijaga dan dipantau, namun pengawasannya justru lemah sehingga penularan terjadi di banyak tempat.

Berubah-ubahnya kebijakan yang di terapkan oleh pemerintah merupakan watak dari sistem sekuler kapitalis. Karena dalam kapitalisme yang tetap adalah kemaslahatan dan keuntungan materi. Ini merupakan bukti bahwa rezim saat ini tidak memiliki dasar yang benar dalam membuat aturan dan kebijakan. 

Hal ini sangat berbeda dengan Islam yang selalu konsisten dalam setiap aturannya. Benar dan salah dinilai dengan parameter yang jelas. Dimana boleh tidaknya suatu perbuatan ditetapkan berdasarkan standar yang tetap dan tidak berubah-ubah. Semua aktivitas manusia harus terikat dengan hukum syara, “at-taqayyud”. Tidak ada satu pun perbuatan manusia yang bebas dari penilaian hukum syara. Sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam surah al-Baqarah ayat 208: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kalian turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian”.

Ketidakjelasan karena sering berubah-ubahnya aturan yang ada dalam sistem Kapitalisme sangat berbeda dengan sistem Islam. Hanya sistem Islam yang akan memberikan kepastian hukum. Para pemimpinnya tidak mengambil keuntungan pribadi dan kelompok dari pemberlakuan hukum tersebut. Penerapan hukum semata untuk menjalankan amanah yang ada di pundaknya, yakni terlaksananya hukum syara secara sempurna, hingga mampu merealisasikan Islam sebagai rahmatan lil’aalamiin.

 *(aktivis BMI Community Cirebon)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak