Oleh : Nikmatus Sa'adah, SP.
Pada awal tahun 2021 ini para perajin tahu dan tempe dikejutkan dengan melambungnya harga kedelai. Para perajin tempe dan tahu yang mengandalkan kedelai impor sebagai bahan baku produksi mereka, menjerit ketika mengetahui harga kedelai impor melonjak sekitar Rp 3.000 per kilonya pada awal tahun ini. Harga kedelai yang semula ada di kisaran Rp 6.500 menjadi Rp 9.500. Kementerian Perdagangan menyebut penyebabnya adalah harga kedelai internasional yang meningkat, akibat lonjakan permintaan dari Cina ke negara produsen, Amerika Serikat.
Akibat harga kedelai yang melonjak, produsen tahu dan tempe di Indonesia sempat mogok beberapa hari sampai 3 Januari 2020. Di beberapa rumah makan, ada yang tetap menjual tahu tempe dengan harga lebih mahal. Ada juga yang memilih tidak menjual sama sekali (tempo.co 08/01/2021).
Sudah menjadi budaya dari rakyat Indonesia bahwa tahu dan tempe adalah makanan yang harus ada dimeja makan. Harganya yang sangat terjangkau dan ternyata juga memiliki gizi yang tinggi. Kandungan gizi tempe terbilang sangat lengkap. Tak hanya protein, melainkan juga sejumlah vitamin dan mineral di dalamnya.
Maka dampak dari meningkatnya harga atau bahkan menghilangnya tahu tempe ini tidak hanya mengakibatkan keresahan rakyat namun juga bisa meningkatkan angka kelaparan, gizi buruk dan kemiskinan.
Potensi negeri agraris nampaknya tidak cukup memiliki perhatian besar bagi negara ini. Nyatanya kadelai yang merupakan kebutuhan mendasar rakyat negeri ini menjadi komoditas impor utama, yaitu mencapai 70-75% dari kebutuhan kedelai dalam negeri. Ketergantungan impor yang besar inilah yang mengakibatkan harga kedelai melambung tinggi, katena harga mengikuti internasional.
Beberapa penyebab ketergantungan Indonesia mengimpor kedelai diantara lain produktivitas kedelai lokal yang rendah, lahan kedelai yang semakin berkurang, harga kedelai lokal rendah, dan pembebasan masuk impor kedelai.
Akar penyebab permasalah impor ini sesungguhnya sudah menjadi watak dari sistem hari ini, yaitu sistem kapitalisme. Dimana semua kebijakan diukur berdasarkan untung rugi materi, bukan semata-mata kesejahteraan rakyat. Sistem kapitalisme akan terus membuka kran impor dengan besar karena impor ini menguntungkan segelintir orang dimana mereka adalah pemangku kebijakan itu sendiri.
Pengaturan ini tentu sangat berbeda dengan pengaturan di dalam negara Islam yang menerapkan Islam secara kaffah. Pertama Negara Islam tidak akan ketergantungan impor. Negara akan mengerahkan potensi SDA dan SDM untuk memenuhi kebutuhan pangan negara. Tentunya negara akan memfasilitasi dalam peningkatan produksi. Hal ini didukung dengan pengaturan ekonomi Islam, politik Islam dan pendidikan Islam. Negara akan memfasilitasi petani dalm meningkatkan produktivitas yaitu dari segi teknologi, kebutuhan benih maupun pupuk, dan pendampingan dari tenaga ahli. Kedua, kebijakan distribusi pangan yang adil dan merata. Islam melarang penimbunan barang dan permainan harga di pasar. Dengan larangan itu, stabilitas harga pangan akan terjaga. Selain itu, negara akan memastikan tidak adanya kelangkaan barang akibat larangan Islam menimbun barang.
Maka sesungguhnya permasalahan yang ada hari ini bukan hanya membutuhkan solusi cabang, namun membutuhkan solusi yang mengakar, yaitu menggamti sistem kapitalisme dengan sistem Islam. Dimana pengaturan sistem Islam berasal dari Allah SWT. Hanya peraturan dari Allah SWT yang sesuai dengan fitrah manusia dan akan mewujudkan kesejahteraan manusia.
Wallahu 'alam