Oleh: RATNA SARI DEWI
Awal 2020 segudang masalah terjadi. Diawali masalah pandemi covid-19 yang menghantam seluruh aspek kehidupan. Dari aspek kesehatan, pendidikan, ekonomi, sosial budaya dan pemerintahannya.
Pandemi Covid-19 yang terjadi akibat ke rakusan manusia yang hidup sesuka hawa nafsunya, merugikan seluruh aspek kehidupan. Di tambah lagi aturan yang di pakai aturan yang rusak yang merusak tatanan kehidupan yaitu sistem kapitalis sekuler.
Dari aspek kesehatan sebelum ada pandemi pun kesehatan yang ada saat ini dijadikan komoditas keuntungan yang kesehatan yang di kapitalisasi. Misalnya BPJS yang tidak tentu arah kepastiannya dan di kabarkan mengalami kebangkrutan.
Gagalnya penguasa mengatasi pandemi berimbas dengan banyaknya anggota medis yang gugur dan ribuan mayat menjadi korban pandemi covid-19 yang lebih mementingkan ekonomi ketimbang kesehatan rakyatnya.
Dari aspek pendidikan, dasar pendidikan saat ini yang tidak berlandaskan Islam, pastinya membawa kerusakan untuk masa depan anak-anak bangsa. Pendidikan di jadikan komoditas kapital yang hanya menciptakan pribadi yang bermental pekerja, penunjang para pengusaha saja. Tidak menjadikan pribadi yang bersaksiayah islam yang mempunyai karateristik pemikiran yang cemerlang. Ditambah lagi pandemi yang mengharuskan para pelajar untuk belajar dirumah dengan sistem daring online. Yang dengan pasilitas yang tidak mumpuni mengakibatkan stres di pihak pelajar, guru dan orang tua.
Dari aspek ekonomi, mental demokrasi yang mengambil seluruh aturannya dari luar islam. Yang merusak seluruh aspek. Dan aspek ekonominya masih dengan sistem ekonomi ribawi yang melilit dan semakin menancapakan penjajahannya. Terbungkus dengan kedok investasi pemerintah menbuka keran secara besar-besaran untuk pihak asing menjajah Indonesia. Dengan berlanjutnya proyek OBOR China ini membuat Indonesia tidak akan bisa terhidar dari jebakan utang China. Mengakibatkan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia meningkat. Bank Indonesia (BI) mencatat posisi ULN RI menjadi sebesar 408,6 miliar dollar AS pada kuartal II 2020.
Dari aspek sosial, ketimpangan sosial masih terjadi kemiskinan masih menjangkiti.
Jumlah penduduk miskin di Indonesia kembali mengalami peningkatan pada Maret 2020 menjadi 9,78 persen atau sebanyak 26,42 juta orang. Bertambahnya kemiskinan disebut akibat dampak dari pandemi Covid-19 yang menganggu keseimbangan sektor ekonomi.
Menutup catatan perjalanan umat di tahun 2020, kita dientak dengan tragedi dibunuhnya enam orang anggota FPI. Tak lama dari itu, seorang ulama dipenjarakan hingga muncul aksi pembelaan pada 18/12/2020.
Sebelum itu, berbagai catatan buruk telah terjadi. Gelombang besar PHK akibat pandemi, angka pasien terinfeksi Covid-19 dan kematian akibatnya makin tinggi, sejumlah ibu membunuh anak kandung karena stres, siswa bunuh diri karena pelajaran, tingginya angka gugat cerai dan kasus kekerasan di rumah tangga, kasus kriminalitas yang semakin banyak, korupsi yang dilakukan dua orang menteri, dan sebagainya.
Aspek hukumnya pemerintah mengunakan kekuasaannya hanya untuk melangengkan kekuasaan saja. Siapa saja yang berani melawan pemerintah dan mengkritis pemerintah akan dengan mudah di hukumi. Tetapi disaat para kapitalis dan para penguasa terjerat kasus korupsi sebisa mungkin pemerintah membela dan meringankan hukumannya. Seakan hukumannya tumpul keatas tetapi tajam kebawah.
Contohnya, seorang nenek yang mencuri Tiga Buah Kakao, dihukum satu bulan. Terbaru kasus pelajar yang membunuh pelaku begal untuk menyelamatkan sang kekasih terancam hukuman seumur hidup.
Kasus ini seolah menjadi cermin betapa penegakan hukum di Tanah Air masih tebang pilih. Ketika koruptor yang merampok uang rakyat masih bebas berkeliaran, mereka yang lemah secara ekonomi dan status sosial begitu mudahnya diseret ke meja hijau bahkan dibui.
Di sisi lain, pemerintah negeri ini semakin tak bersahabat dengan rakyatnya. Alih-alih merevisi kebijakannya yang tidak adil dan menyengsarakan rakyat, rezim juga tidak segan-segan merenggut hak rakyat untuk bersikap kritis.
Banyak aktivis, kelompok, dan ulama yang kontra rezim dibungkam, dikriminalisasi, dan dipenjara. Tercatat sepanjang periode ke-2 Jokowi berkuasa, ada lebih dari 200 orang dikriminalisasi dan dijebloskan ke penjara dengan berbagai macam delik, mulai dari ujaran kebencian, hasutan, hoaks; sampai tuduhan menghina presiden, pejabat negara, dan melakukan makar.
Sejalan dengan itu, banyak lembaga yang lumpuh karena kooptasi kekuasaan. Hampir seluruh kekuatan politik formal—termasuk parpol dan DPR—di bawah kendali kekuasaan eksekutif atas dukungan para pemodal.
Dan lembaga lain seperti MK dan KPK tidak berkutik. KPK sendiri telah dikebiri melalui serangkaian rekayasa politik, mulai dari kriminalisasi ketua dan wakil ketuanya, hingga terakhir di tahun ini ada revisi UU KPK yang memberangus kewenangannya.
Hingga akhirnya Indonesia tergolong negara dengan demokrasi cacat berkinerja paling buruk, terjun bebas 16 peringkat, dari rangking 48 pada 2016 ke rangking 64 pada 2019 (The Economist Intelligence Unit 2017, 2019).
Posisi Indonesia di bawah Timor Leste (41), Malaysia (43), dan Filipina (52). Terancamnya kebebasan sipil dan lemahnya budaya politik menjadi faktor paling menentukan dalam kemerosotan kondisi demokrasi Indonesia.
Refleksi 2020
Sejak awal, rezim ini mengawali kekuasaannya dengan tidak jujur dan berdarah-darah. Pilpres 2019 kecurangannya masif dan vulgar, mulai dari politik uang, mobilisasi anggota kabinet dan birokrasi di pusat dan daerah, persekusi dan kriminalisasi tokoh oposisi, pemanfaatan anggaran dan fasilitas negara, dan lain-lain.
Yang menyedihkan ada sekitar 894 petugas pemilu meninggal dunia. Dan Laporan Komnas HAM pada Oktober 2019 mengungkap demonstrasi usai Pilpres Mei 2019 telah merenggut sembilan nyawa, 465 orang ditangkap, 74 di antaranya anak-anak dan 32 orang dilaporkan hilang.
Di tengah ketidakpercayaan publik terhadap rezim, serangan Covid-19 pada awal Februari 2020 makin membuka kelemahan rezim sistem demokrasi dalam mengurusi rakyatnya. Tidak melakukan karantina wilayah, tidak menyuplai kebutuhan rakyat selama pandemi, sarana dan layanan kesehatan yang kurang, dilema pendidikan antara BDR atau BDS, kasus pasien terpapar Covid-19 yang terus bertambah, semakin membuat rakyat tidak percaya.
Ditambah lagi, di tengah tengah karut marut penanganan pandemi, rezim mengeluarkan UU diskriminatif. Omnibus Law UU Cipta Kerja yang memanjakan korporasi dan mengancam lingkungan, UU Korona No. 2/2020 yang membuka jalan korupsi, dan RUU HIP/BPIP yang disinyalir akan memberangus ormas Islam.
Yang memalukan, di momen pilkada serentak baru lalu, para pejabat memanfaatkan kekuasaan politik untuk membangun dinasti politiknya. Ada istri, anak, menantu, besan pejabat ikut kontestasi. Jelas-jelas umat makin tidak percaya terhadap rezim ini. Pupus sudah harapan untuk mewujudkan kehidupan sejahtera, adil dan aman.
Kerinduan umat untuk hadirnya pemimpin dambaan ditunjukkan dengan sambutan mereka terhadap kepulangan HRS. Dari berbagai daerah, mereka berduyun-duyun datang ke Jakarta. Dan ini menjadi simbol perlawanan umat atas kezaliman rezim. Terbukti akhirnya, tokoh umat ini diperkarakan dengan delik aneh.
Lengkap sudah sikap otoriter rezim, dan diyakini sebagai pertanda matinya demokrasi termasuk oleh para aktivis pembela demokrasi. Tahun 2020 ditutup dengan semakin nyinyirnya rakyat terhadap perilaku penguasanya. Demokrasi telah mati.
Harapan 2021
Mengawali lembaran baru catatan umat pada 2021, akankah cerita buruk ditulis kembali? Jika kita semua ingin segera keluar dari kondisi buruk ini, tinggalkanlah aturan yang telah menimbulkan malapetaka itu.
Sumber masalah bukan saja pada sosok penguasa, melainkan pada sistem politik pemerintahannya. Demokrasi bukanlah sistem politik ideal, meski diyakini akan berpihak pada kepentingan rakyat karena dideklarasikan sebagai sistem hukum yang berasal dari kehendak rakyat dan dijalankan untuk kepentingan rakyat yang penguasanya dipilih rakyat, nyatanya sejak sistem ini dilahirkan, kehidupan dunia tidak pernah aman dan sejahtera.
Tidak ada satu pun negara yang menggunakan demokrasi—termasuk adidaya—yang menorehkan tinta emas sebagai pembentuk peradaban dunia yang beradab dan berkeadilan.
Penggalan cerita panjang ihwal kesengsaraan rakyat dan kegagalan negara demokrasi yang ditulis di atas adalah bukti kepentingan manusia tidak diatur hukum yang benar.
Jelas-jelas hukum di sistem demokrasi yang lahir dari produk berpikir manusia, bertentangan dengan hukum Allah SWT sebagai pencipta manusia dan semesta alam.
Allah sendiri menyatakan dalam firman-Nya dalam surah Thaha ayat 124:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”
Saat manusia berpaling dari dzikri yakni Al-Qur’an, kehidupannya akan sempit. Artinya saat manusia tidak menggunakan hukum Allah SWT, kesulitan hidup yang didapat. Demokrasi sistem politik buatan manusia terbukti secara nyata menyengsarakan kehidupan rakyat.
Mengembalikan Perisai yang Hilang
Sebenarnya Allah SWT telah membuat rumusan hukum untuk kehidupan manusia yang dicontohkan dalam praktik bernegara dan bermasyarakat oleh Rasulullah Muhammad saw., dan dilanjutkan para Khalifah setelahnya.
Kekuasaannya sentralistis dan powerful, tidak terkooptasi kepentingan siapa pun, sebab Khalifah menjalankan syariat Islam yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT pembuat syariat.
Khilafah memastikan dan menjamin setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhannya. Mekanisme pemenuhan ekonomi rakyat ditetapkan dengan kewajiban bekerja pada pria dewasa yang mampu. Mereka diwajibkan menafkahi istri, anak, dan keluarganya.
Negara akan menjamin penyediaan lapangan kerja. Bagi rakyat yang tidak mampu, diperintahkan pada kerabat atau tetangganya untuk membantu. Jika tidak ada kerabat dan tetangga yang mampu, negara akan memenuhi kebutuhannya. Bagi rakyat yang tidak mempunyai modal untuk usaha, negara akan memberikannya. Sehingga, dalam sistem Khilafah tidak dijumpai kemiskinan ekstrem dan permanen.
Khilafah tidak menjadikan utang luar negeri sebagai pemasukan negara karena akan menjadi alat penjajahan. Sumber pendapatan berasal dari pengelolaan kekayaan alam yang dilakukan secara mandiri dan sumber lain yang ditentukan syariat seperti ghanimah, kharaj, zakat.
Harta tersebut digunakan untuk operasional pemerintahan, penyediaan kebutuhan urgen masyarakat, jaminan pengadaan kebutuhan pokok rakyat, untuk pengembangan dakwah, dan sebagainya.
Khilafah tegas terhadap praktik korupsi, suap, dan penyelewengan lainnya. Penegakan hukumnya yang pasti terhadap berbagai pelanggaran di tengah masyarakat dapat meminimalisasi tindak kejahatan. Politik pendidikannya, selain melahirkan generasi saleh bertakwa, juga mempunyai keahlian dan keterampilan dalam melayani kebutuhan masyarakat.
Juga menyiapkan peserta didik menjadi calon orang tua yang siap menjalankan fungsi keluarga yang akan melahirkan pelanjut estafet generasi. Kewajiban seorang khalifah adalah menjadi pelayan seluruh urusan rakyatnya, dia mengabdi untuk kepentingan rakyat.
Harapan perubahan nasib umat ada pada tegaknya Khilafah. Khilafah digambarkan sebagai perisai pelindung umat. Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh Imam (Khalifah) itu (laksana) perisai; orang-orang akan berperang di belakang dia (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR al-Bukhari, Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ahmad).
Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahîh Muslim berkomentar, “(Imam/Khalifah itu perisai), yakni seperti as-sitr (pelindung), karena Imam (Khalifah) menghalangi/mencegah musuh dari mencelakai kaum Muslim, mencegah manusia satu sama lain saling mencelakai, memelihara kemurnian ajaran Islam; dan manusia berlindung di belakang dia dan tunduk di bawah kekuasaannya.”
Perisai itu kini telah hilang, dan kewajiban umat Islam untuk menemukannya kembali, dengan kembali mewujudkan kehidupan umat yang dinaungi syariat Islam. Mengupayakannya dengan dakwah dan amar makruf nahi mungkar di tengah umat, hingga umat paham dan siap untuk mewujudkannya kembali.
Dan catatan perjalanan hidup umat diisi dengan cerita baik dan penuh keberkahan, hingga Allah mengakhiri kehidupan dunia ini. Dan bertanya kepada seluruh manusia tentang segala amal yang dilakukannya di dunia.
Tentukanlah diri kita sejak sekarang, untuk menjadi hamba yang memenuhi seruan Allah dengan bekerja sungguh-sungguh menyongsong peradaban baru, Abad Khilafah, agar kita punya hujah di hadapan Allah kelak.