Borneo Berduka, Bukan Hujan Penyebabnya



Oleh : Raihana Radhwa 
(Ibu Rumah Tangga)

Bumi Borneo berduka. Tanah banjar terendam air bencana. Berhari-hari ribuan warga terhenti aktivitasnya. Genangan setinggi dada memaksa korban menyelamatkan nyawa dan harta. Bahkan sebagian daerah tergenang melebihi kepala.

Dua daerah yang terparah diterjang banjir di Kalimantan Selatan adalah Kabupaten Banjar dan Kabupaten Tanah Laut. BPBD Kalimantan Selatan mencatat 67.842 jiwa terdampak dari 57 peristiwa banjir sejak awal tahun (suara.com, 15/01). Hujan turun beberapa hari dengan intensitas tinggi disinyalir menjadi penyebab bencana. Namun ada faktor lain yang seharusnya tak luput dari perhatian pihak berwenang.

Masifnya pembukaan lahan secara terus menerus turut andil terhadap datangnya banjir yang terparah di Kalimantan Selatan sepanjang sejarah. Staf Advokasi dan Kampanye Lingkungan Hidup WALHI Kalsel, M. Jefri Raharja, mengatakan akumulasi bukaan lahan yang telah mencapai 50 persen izin konsesi dikuasai oleh perusahaan tambang dan sawit. “Pembukaan lahan atau perubahan tutupan lahan juga mendorong laju perubahan iklim global. Kalimantan yang dulu bangga dengan hutannya, kini hutan itu telah berubah menjadi perkebunan monokultur sawit dan tambang batu bara,” ujarnya (kompas.com, 15/01)

Berkurangnya tutupan hutan tropis Kalimantan berganti dengan perkebunan monokultur sawit membuat permukaan tanah berkurang kemampuannya sebagai resapan air hujan. Padahal akar-akar pohon hutan heterogen berperan mengikat dan menyimpan air dalam tanah. 

Sama halnya dengan tambang yang bersifat destruktif terhadap lingkungan Kalimantan. Tahun 2020, sudah terdapat 814 lubang tambang milik 157 perusahaan batu bara yang masih aktif maupun ditinggal tanpa direklamasi.

Pembukaan sawit dan tambang tanpa analisis lingkungan yang komprehensif telah nyata menimbulkan kerusakan yang merugikan masyarakat banyak. Dengan alasan mengejar pertumbuhan ekonomi, tak seharusnya kita mengoyak alam tempat kita menggantungkan hidup. 

Dikeluarkannya izin tambang yang massif tanpa adanya sanksi bagi merusak lingkungan serta pemberian izin pembukaan lahan sawit cermin keserakahan negara. Apalagi kebanyakan keuntungan dari dua sektor yang menguasai Kalimantan ini kembali pada para konglomerat yang menguasainya. Masyarakat yang dipekerjakan hanya mendapat setetes nikmat dari upah yang minimalis.  

Kerusakan-kerusakan ini tentu tak lepas dari paradigma kapitalisme bahwa semua sumber daya boleh dikuasai oleh individu, bahkan benda-benda yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kapitalisme pun menempatkan negara sebagaimana corporate/perusahaan yang berorientasi pada keuntungan ekonomi sebanyak-banyaknya. 


ظَهَرَ الۡفَسَادُ فِى الۡبَرِّ وَالۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ اَيۡدِى النَّاسِ لِيُذِيۡقَهُمۡ بَعۡضَ الَّذِىۡ عَمِلُوۡا لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُوۡنَ
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Sejatinya, hutan dan tambang adalah sumber daya alam yang tergolong dalam kepemilikan umum. Hutan menjadi milik umum karena merupakan benda yang ketiadaan atau kerusakannya dapat menimbulkan kekacauan terhadap kehidupan manusia. Sedangkan tambang dengan cadangan yang sangat banyak tidak boleh dikelola dan dimiliki individu sebagaimana Rasul pernah menarik tambang garam Abyadh bin Hammal yang telah diberikan Rasul sebelumnya karena depositnya seperti air mengalir.

Terhadap hutan dan tambang, negaralah yang paling bertanggung jawab untuk mengelolanya tanpa dialihkan pada pihak lain. Negara wajib menjaga kelestarian hutan maupun mengelolanya dan diambil produktifitasnya untuk dikembalikan keuntungannya kepada masyarakat melalui pelayanan umum. Demikian halnya dengan tambang.

Rasulullah pernah menetapkan tanah-tanah yang diproteksi yang disebut hima An-Naqi’. Di dalamnya manusia dilarang berburu dalam radius 4 mil dan merusak tanaman dalam radius 12 mil. Ini menjadi dalil bahwa kepala negara berwenang untuk menetapkan kawasan konservasi lingkungan untuk kepentingan kelestariannya yang membawa maslahat bagi manusia itu sendiri.

Abdurrahman Ad-Dakhil pernah mengatur tata guna lahan Cordoba. Jalan dibuat berkelok menyesuaikan topografi tanah dengan tanah agar dapat terintegrasi dengan drainase air. Beliau pun menetapkan permukiman dalam satu blok hanya boleh dibangun 8 rumah. Tentu kebijakan ini membuat penataan permukiman menjadi rapi dan sustainable karena area terbangun tidak saling berhimpitan. 

Bencana akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktifitas manusia yang eksploitatif dapat dihindari melalui aturan-aturan yang bersumber dari Al-Quran dan Sunah. Bahkan Allah menempatkan kedudukan manusia sebagai penjaga dunia bukan perusaknya. 

Untuk menjadi penjaga Allah karuniakan kelebihan akal dibanding makhluq lainnya. Akal itu hendaknya kita gunakan untuk menggali tuntunan Allah dalam mengatur kehidupan, bukan sekedar pencipta teknologi namun minim adab terhadap alam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak