Beratnya Beban Guru Dalam Pendidikan Kapitalistik




Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban

Insiden SMAN 2 Padang masih 
bergulir, narasi intoleran masih hangat dibicarakan, memang kaum sekular sedang menemukan momen terbaiknya dan persoalan ini bukan yang pertama terjadi. Berulang dan selalu berakhir tak jelas di jajaran pemerintahan.

Mendikbud, Nadiem Makarim, dalam rapat bersama Komisi X DPR, 20 Februari 2020 secara tegas menyebut intoleransi sebagai salah satu dari "Tiga Dosa Pendidikan" selain kekerasan seksual dan perundungan yang harus ditindak tegas.

"Saya sangat setuju bahwa enggak bisa hal-hal yang negatif ini hanya dilakukan dengan penguatan karakter. Harus ada tindakan tegas. Harus ada konsekuensi yang sangat berat bagi pelaku yang bisa disebut dosa-dosa di sekolah kita," tegas Nadiem kala itu ( kompas.com20/2/2020).

Menurut Anik Widiastuti I , Dosen Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta, persoalan utama kasus intoleran ini karena tidak ada pemahaman yang baik dan benar terkait kebhinekaan. Maka menurutnya ada 2 model pembelajaran dan pelatihan guru di masa pandemi yang bisa diterapkan untuk membiasakan siswa dalam menerima kebhinnekaan. Pertama Reflective Learning dan kedua pembelajaran karakter toleransi.

Kedua pembelajaran itu bertumpu pada kekuatan guru saat menyajikannya di hadapan peserta didik, Reflective Learning, di mana guru menyajikan pembelajaran yang memberikan ruang kepada peserta didik untuk berpikir reflektif mengenai kebhinnekaan.

Menurut Busthan Abdy (2016:134), berpikir reflektif berbeda secara substansial dengan berpikir kreatif. Berpikir reflektif sifatnya internal, yaitu upaya menemukan ide-ide kritis dalam diri sendiri. Dengan cara inilah anak didik secara mandiri diharapkan bisa memahami, menganalisis, mengevaluasi, serta mencari solusi terhadap permasalahan kebhinnekaan yang ada di Indonesia, yang kemudian diharapkan muncul karakter toleransi secara simultan pada diri peserta didik.

Kedua adalah pembelajaran karakter toleransi. Kembali guru diharuskan mengambil peran penting dalam menumbuhkan karakter peserta didik. Guru diharuskan memiliki serangkaian pengetahuan dan keterampilan kebhinnekaan dan toleransi. Berupa pelatihan yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi, LSM, ataupun pemerintah.

Jelas beban guru di era kapitalisme ini sangatlah berat. Ia tak hanya dituntut paham bahwa konflik adalah alami dan biasa terjadi dalam kehidupan apalagi pada masyarakat multikultural. Guru juga dituntut menjadi orang yang mampu mengelola kebhinekaan dengan menjadi pendengar yang baik dari sudut pandang orang lain agar karakter toleransi itu muncul.

Hampir setahun setelah ide itu, nyatanya hingga hari ini isu intoleransi masih hangat diperbincangkan bahkan terkesan "diadakan" untuk membidik hal yang lebih besar dan berbahaya. Yaitu kebangkitan Islam Kaffah.

Guru sebagai tokoh sentral juga sangatlah memberatkan. Sebab, persoalan intoleran tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah, namun juga di masyarakat. Bahkan di berbagai belahan dunia lain, anak dengan mudah bisa melihat beritanya melalui media sosial.

Butuh upaya yang tepat dalam mengatasi "tiga dosa" pendidikan di Indonesia, namun jika diberantas dengan kapitalisme sama saja dengan menepuk angin, tak akan menuju pada hasil yang diinginkan. Sebab intoleran adalah stimulan menguntungkan bagi para kapital, dari mulai menaikkan harga saham, menentukan pasar dari beberapa usaha multinasional dan lain sebagainya.

Artinya sebagaimana penciptaan krisis di negeri-negeri Muslim lainnya, Indonesia hanya beda pendekatan saja. Masyarakat Indonesia cenderung ramah dan mudah menerima peradaban dan pemahaman asing sehingga hanya dipantik dengan isu intoleran semua bergolak. Tidak sebagaimana bumi Syam dan sekitarnya yang mereka berani angkat senjata untuk mempertahankan diri.

Maka, sebagai Muslim sejati, alangkah bijak kenali agama Islam secara benar dan mendalam, agar tak lagi masuk dalam jebakan yang sama. Dengan adanya insiden intolerasni ini makin membuka lebar kesempatan pemerintah untuk menggosok kebijakan yang akan berhadapan dengan pengemban dakwah Islam dan ide-ide perubahan yang diembannya.

Pendidikan tak akan berbekas mendalam jika hanya berupa pembelajaran kebhinekaan dan karakter toleransi, ini adalah ide yang absurd. Tergantung siapa yang mendefinisikan. Terkadang peristiwa yang jelas menyinggung intolerasi baik ucapan maupun perbuatan jika itu dilakukan oleh oknum yang dekat dengan pemerintahan tak dihukumi sama jika rakyat biasa yang lantang menyuarakan.

Butuh campur tangan pemerintah dan kerjasama masyarakat dimana setiap anak didik itu tinggal. Sebab, pendidikan tak akan berpengaruh jika perasaan, peraturan dan pemikiran masyarakat tentang sesuatu tak sama. Contoh: sebagian masyarakat melihat gadis SMP berpacaran, ada yang membolehkan sebab anak muda dan bagiaj dari penjajakan karakter, sedang sebagian yang lain merasa takut, sebab itulah awal perzinahan yang akan membawa kepada mudharat yang lebih besar lagi.

Hukum yang diadopsi pemerintahan harusnya menjerakan agar perbuatan menghina satu agama berikut ajarannya tidak berulang. Sebab negaralah yang punya kekuasaan mengubahnya, bukan hanya guru. O

Goresan Pena Dakwah

ibu rumah tangga yang ingin melejitkan potensi menulis, berbagi jariyah aksara demi kemuliaan diri dan kejayaan Islam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak