Oleh: Widdiya Permata Sari*
"Anak menjerit-jerit, asap panas membakar
Lahar dan badai menyapu bersih
Ini bukan hukuman, hanya satu isyarat
Bahwa kita mesti banyak berbenah
Memang, bila kita kaji lebih jauh
Dalam kekalutan, masih banyak tangan
Yang tega berbuat nista"
Sepenggal lirik lagu dari Ebiet G. Ade ini benar-benar menggambarkan keadaan negri ini. Di awal tahun 2021 banyak sekali bencana yang terjadi di negri ini mulai dari jatuhnya pesawat terbang, longsor, gunung meletus bahkan banjir di setiap daerah dan yang paling parah di daerah Kalimantan.
Sejumlah daerah di Kalimantan Selatan (Kalsel) terendam banjir pada beberapa hari terakhir.
Setidaknya 1.500 rumah warga di Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalsel kebanjiran. Ketinggian air mencapai 2-3 meter.
"Memang ada beberapa daerah yang dikepung banjir, tapi ada dua daerah yang terparah yang menjadi fokus kita," ujar Kepala Basarnas Banjarmasin Sunarto, (Kompas.com, 15/01/2021)
Namun sebelumnya setiap terjadi hujan bertahun-tahun belum pernah terjadi banjir sehebat kemarin. Bahkan ada sebagian yang menyebutkan bahwa hujan deras yang merata selama beberapa hari terakhir diduga menjadi penyebab. Namun bukanlah cuaca yang menyebabkan terjadinya bencana melainkan ulah manusia sendiri yang rakus akan kekuasaan.
Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, mengatakan bahwa banjir tahun ini merupakan yang terparah dalam sejarah.
Berdasarkan laporan tahun 2020 saja sudah terdapat 814 lubang tambang milik 157 perusahaan batu bara yang masih aktif bahkan ditinggal tanpa reklamasi, belum lagi perkebunan kelapa sawit yang mengurangi daya serap tanah.
"Ini menunjukkan daya tampung daya dukung lingkungan di kalsel dalam kondisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis, sudah sering kita ingatkan, dari total luas wilayah 3,7 juta hektar hampir 50 persen sudah dibebani izin pertambangan dan perkebunan kelapa sawit," tegasnya. (Suara.com,15/1/2021).
Sudah jelas banjir tersebut bukan karena curah hujan yang tinggi melainkan akibat peralihan fungsi lahan. Akibat perbuatan tangan manusia yang melakukan kemaksiatan yaitu berupa tindakan eksplotatif pemanfaatan hutan berujung pada kerusakan ekologisnya. Lahan yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan, namun berubah menjadi lahan komersil perkebunan tanpa mengikuti aturan.
Dari fakta di atas sudah jelas keadilan tidak berpihak kepada semua orang karena hanya orang tertentulah yang menikmati hasilnya dan masyarakat hanya menikmati dampak dari pengelolaan pengusaha rakus.
Inilah buah dari pengelolaan hutan sistem kapitalisme yang hanya akan menimbulkan kerusakan karena sistem paradigma kapitalisme hanya akan memberikan hak kepemilikan sebebas-bebasnya.
Penguasa berkewajiban dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang membahayakan masyarakat seperti banjir dan gempa. Namun faktanya para penguasa lalai akan perannya, sehingga bencana bertubi-tubi menghampiri.
Dalam pandangan Islam hutan merupakan kekayaan milik umum (milkiyah ammah) bukan milik individu atau negara, sebab hutan secara umum memiliki fungsi ekologis dan hidrologis yang dibutuhkan jutaan orang.
Rosulullah SAW bersabda
"Kaum muslim bersekutu (sama-sama memiliki hak) dalam tiga hal yakni air, Padang rumput dan api (hadits abu Dawud dan Ibnu Majah)
Karena hutan terkategori sebagai harta milik umum, maka hak mengelola berada ditangan negara, hasil pengelola hutan akan dimasukan dalam kas negara (Baitulmal) pos kepemilikan umum dan didistribusikan sesuai kemaslahatan rakyat menurut syari'at islam.
Negara tidak diperbolehkan atau haram untuk menyerahkannya kepada individu atau korporasi baik untuk pembukaan tambang, perkebunan sawit dan pembangunan infrastruktur. Namun negara tidak melarang jika individu memanfaatkan hutan secara langsung dalam skala terbatas seperti
Pertama, pengambilan ranting-ranting kayu, atau penebangan pohon dalam skala terbatas. Kedua, pemanfaatan hutan untuk berburu hewan liar. Ketiga, mengambil madu, rotan, buah-buahan dan air dalam hutan.
Negara hanya akan melakukan pengawasan dalam kegiatan masyarakat di hutan. Semua ini dibolehkan selama tidak menimbulkan bahaya dan tidak
Menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkan hutan.
Negara akan menetapkan kebijakan jika pemanfaatan hutan untuk pembukaan pemukiman harus menyertakan variabel-variabel drainase, penyediaan daerah resapan air, penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah dan topografinya, dengan kebijakan ini negara mampu mencegah bencana alam terutama kemungkinan bencana banjir atau genangan.
*(Komunitas Muslimah Perindu Syurga)
Tags
Opini