Oleh Nayla Iskandar
Banjir telah melanda sejumlah daerah di Kalimantan Selatan (Kalsel) pada beberapa hari terakhir. Setidaknya 1.500 rumah warga kebanjiran dengan ketinggian 2-3 meter.
Banjir besar di Kalsel disebabkan bukan semata-mata karena curah hujan yang tinggi, melainkan akibat alih fungsi lahan. Yaitu pembukaan lahan perkebunan secara terus menerus dan maraknya pertambangan.
Sebagaimana dikatakan oleh Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono bahwa banjir tahun ini merupakan yang terparah. Berdasarkan laporan tahun 2020 terdapat 814 lubang tambang milik 157 perusahaan batubara yang masih aktif bahkan ditinggal tanpa reklamasi, belum lagi perkebunan kelapa sawit yang mengurangi daya serap tanah. (suara.com/15/01/2021)
Pembukaan lahan kelapa sawit yang terjadi secara terus menerus dari tahun ke tahun. Antara tahun 2009 sampai 2011 terjadi peningkatan luas perkebunan sebesar 14 persen dan terus meningkat di tahun berikutnya sebesar 72 persen dalam waktu 5 tahun. (kompas.com/15/01/2021)
Perluasan lahan secara masif dan terus menerus dan maraknya galian tambang akan memperparah bencana terutama di kondisi cuaca ekstrem.
Hal inilah akhirnya akan mempengaruhi dan memperparah kondisi ekstrem cuaca, baik di musim kemarau maupun di musim penghujan.
Pada musim penghujan, kondisi permukaan bumi kurang dapat resapan air. Akar-akar pohon dari hutan heterogen dapat membantu tanah mengikat dan menyimpan air hujan. Karena banyak pohon yang ditebang menyebabkan berkurangnya secara dratis pohon-pohon yang akarnya mengikat dan menyimpan air, maka terjadilah banjir.
Demikian juga pada musim kemarau, lahan gambut yang dikeringkan untuk ditanami kelapa sawit ketika musim kemarau akan mudah sekali terjadi kebakaran.
Buah diterapkannya sistem kapitalis yang mengagungkan kebebasan kepemilikan menjadikan negara mengelola sumber daya alam sekehendak hatinya. Pemberian kekuasaan oleh negara pada korporasi dalam pengelolaan sumber daya alam demi kesepakatan yang menguntungkan keduanya. Padahal akal manusia lemah tidak bisa membedakan mana yang baik dan yang buruk untuk dirinya.
Dengan dalih pembangunan ekonomi berbasis investasi, negara memberikan ijin usaha pertambangan pada pengusaha. Prosesnya pun dikebut dan dipermudah. Sehingga pengusaha tak segan-segan mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Inilah yang menyebabkan bencana alam, sebagaimana yang terjadi di Kalsel.
Padahal berbagai diskusi dan kajian ilmiah oleh para intelektual telah dilakukan, untuk mewujudkan kelestarian lingkungan. Namun faktanya telah diabaikan.
Dalam Islam, alam seisinya adalah milik Allah SWT, maka Allah-lah yang berhak untuk mengatur seluruh isi bumi ini. Allah telah mengatur hak kepemilikan. Islam mengharamkan sumber daya alam yang melimpah diserahkan kepada individu swasta atau para kapitalis. Hutan, hasil tambang, hasil laut harus dimiliki oleh umum untuk kemaslahatan umat. Sebagaimana hadits nabi "Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api" (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Oleh karena itu sumber daya alam haram hukumnya dimiliki oleh pribadi. Akan tetapi harus dimiliki umum untuk kemaslahatan umat. Negaralah yang bertugas untuk mengelolanya. Jika negara tidak mampu atau tidak mempunyai tenaga ahli, maka boleh mengambil tenaga ahli dari luar dengan sistem gaji bukan dengan investasi dan menguasai.
Umat harus sadar bahwa kerusakan yang ada adalah akibat ulah tangan manusia yang bermaksiat. Dengan menerapkan sistem kapitalis yang rakus, akhirnya dapat menghancurkan semuanya.
Sebagaimana firman Allah
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا
كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ {٤١}
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Al-Rûm [30]: 41)
Dengan demikian saatnya umat segera mengganti sistem kapitalis yang rusak ini dengan sistem Islam yang membawa Rahmat bagi semesta alam.
Waallahu'alam bhisowab