Penulis : Dwi Susanti (Praktisi Pendidikan)
Mukaddimah
Bagi negara penganut sistem Demokrasi Kapitalis sekuler berhutang bukanlah hal yang asing dan baru. Bahkan di negara-negara seperti ini hutang merupakan salah satu unsur pembentuk APBN. Baik hutang luar negeri maupun hutang dalam negeri sama-sama dilakoni oleh negara Demokrasi. Misalnya Indonesia yang menghadapi kenaikan Hutang luar negeri yang sangat signifikan. Yang tadinya berada pada level dibawah seribuan triliun rupiah, kini sudah nyaris menyentuh Rp 6.000 triliun per oktober 2020. Tak heran jika belum lama ini Bank Dunia memasukkan Indonesia sebagai 10 besar negara berpendapatan rendah dan menengah yang memiliki hutang luar negeri terbesar pada tahun lalu (Republika.co.id , Sunday 27 Dec 2020).
Hutang luar negeri ini selain untuk pembangunan infrastruktur juga untuk memberikan bantuan kepada masyarakat khususnya di masa pandemi. Tentunya dalam berhutang akan ada konsekuensi yang harus disetujui oleh negara terhadap para kreditur.
Diantaranya harus membayar riba/bunga dalam kadar dan jangka waktu tertentu, merelakan aset atau bahkan membuat kebijakan yang menguntungkan kreditur. Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat dalam Kapitalis sekuler asas manfaat menjadi pijakan dasar setiap orang/negara dalam berbuat.
Lalu bagaimana pandangan Islam terkait dengan hutang luar negeri ini? Bagaimana pula perbedaan APBN saat ini dengan APBN dalam Islam? Benarkah Islam mampu melakukan pembangunan dan riayah terhadap umat tanpa berhutang?
Hutang Luar Negeri Dalam Islam
Pada dasarnya hutang dalam pandangan Islam boleh dilakukan baik ke dalam negeri/domestik maupun ke luar negeri/asing asalkan tidak melanggar ketentuan hukum syariat misalnya mengandung riba. Karena riba hukumnya haram dalam Islam sehingga jika ada transaksi hutang piutang dengan riba maka hukumnya batil dan haram.
Artinya semua hutang yang melanggar syariat maka hukumnya haram misalnya hutang yang disertai kesepakatan penguasaan hak kepemilikan umum tertentu untuk diserahkan kepada kreditur.
Namun jika akad hutang sesuai ketentuan syariat maka hutang yang terjadi sah dan bagi penghutang wajib membayar hutangnya sesuai dengan kesepakatan. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Al Quran “Wahai orang-orang yang beriman, Penuhilah janji-janji. Hewan ternak di halalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berikhram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki.” (QS Al Maidah (5) : 1)
Nah jika melihat paparan diatas maka jelas Hutang luar negeri yang dilakukan oleh negara-negara penganut sistem Demokrasi kapitalis sekuler saat ini jelas tidak boleh karena terdapat unsur riba.
Selain itu hutang luar negeri juga mengandung bahaya bagi debitur dalam pandangan Islam. Karena dapat menjadi alat masuknya asing ke negeri debitur untuk melakukan campur tangan atau kontrol terhadap kebijakan pemerintah. Misalnya lahirnya UU minerba, UU migas, dan lain sebagainya.
APBN saat ini versus APBN Khilafah Islam
APBN Saat Ini
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah dalam hal ini Indonesia yang disetujui oleh DPR. Dalam APBN ini memuat rincian rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun. APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban APBN ditetapkan dengan UU.
Komponen Utama APBN saat ini terdiri dari 1. Pendapatan negara dan hibah yang dijabarkan lagi dengan Penerimaan Dalam Negeri (Penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak) dan Hibah, 2. Belanja Negara yang meliputi Anggaran Belanja Pemerintah Pusat dan Anggaran Belanja untuk daerah, 3. Keseimbangan Primer, 4. Surplus/Defisit Anggaran, 5. Pembiayaan baik dalam negeri maupun luar negeri. (www.coursehero.com)
Posisi hutang baik dalam negeri maupun luar negeri masuk dalam pembiayaan. Ada artikel yang dibagikan oleh www.walhi.co.id dengan judul “Defisit adalah Penyakit APBN dan Obatnya adalah Utang”. Dari sini jelas bahwa Pajak dan Hutang merupakan salah satu unsur penyokong APBN saat ini.
APBN Khilafah
APBN saat ini sangat jauh berbeda dengan APBN di masa Kekhilafahan yang memiliki Sumber penerimaan yang jelas dan selalu ada dan tidak mencantumkan hutang sebagai salah satu unsurnya. APBN dalam Islam biasa dikenal dengan Baitu Mal yaitu pos yang dikhususkan untuk semua pendapatan dan pengeluaran yang menjadi hak kaum Muslim sesuai dengan ketentuan syariah. Besarnya nilai baik pos penerimaan dan pengeluaran masing-masing diserahkan kepada ijtihad Khalifah dalam setiap tahunnya.
Sumber pemasukan Baitul Mal terdiri dari fa’i, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah dan pemasukan dari hak milik umum , pemasukan dari hak milik negara, usyur, khumus, rikaz, tambang serta harta zakat. Dengan sumber pemasukan yang sifatnya tetap dan banyak tersebut maka Khilafah Islam sangat mungkin untuk memberikan pemenuhan kebutuhan pokok umat secara mudah.
Sejarah mencatat bagaimana kegemilangan Khilafah Islam dalam berbagai bidang termasuk bidang Ekonomi dll. Salah satunya adalah gambaran kemakmuran masyarakat pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ibnu Abdil Hakam dalam kitabnya Sirah Umar bin Abdul Aziz hal 59 meriwayatkan Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu berkata, “ Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun saya tidak menjumpai seorang pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan semua rakyat pada waktu itu berkecukupan. Akhirnya saya memutuskan membeli budak lalu memerdekakannya.” ( Al-Qardhawi, 1995).
Namun meski demikian tentu Khilafah islam tetap bisa berpotensi mengalami defisit anggaran. Maka saat ini terjadi ada 3 hal yang bisa dilakukan oleh negara untuk menutup defisit anggaran tersebut. Yaitu mengambil dana dari harta milik umum yang diproteksi ntuk negara, menarik pajak atas kaum muslimin maupun mencari pinjaman.
Terkait dengan pajak maka hanya diambil dari kaum muslim yang kaya saja ketika kas negara benar-benar kosong/tidak cukup membiayai pengeluaran dan bantuan tabbaruah (sukarela) dari kaum muslimin tidak mencukupi. Penggunaan pajak ini misalnya untuk membayar gaji pegawai negara, menyantuni fakir miskin, dan membangun sarpras yang bersifdat vital bagi umat, penanganan bencana semisal wabah, banjir, gempa dll. Pajak akan dihentikan saat kas negara kembali normal sehingga sifatnya tidak terus menerus.
Mengenai pembiayaan melalui pinjaman harus dipastikan bebas riba dan bebas dari kesepakatan yang dapat merugikan negara. Sehingga jelas pinjaman luar negeri seperti yang di lakukan Indonesia hukumnya tidak boleh secara syar’i. Karena mengandung riba dan kesepakatan yang menjadi jalan bagi asing untuk menguasai negeri ini.
Adapun terkait dengan adanya bencana maka negara merupakan pihak yang paling bertanggungjawab terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat. Negara harus mengerahkan segala daya upaya dan potensi yang dimiliki untuk penangangan bencana. Dalam APBN nya negara wajib menganggarkan pos pengeluaran mitigasi bencana untuk penanganan bencana. Bencana mencakup semua bencana yang menimpa seluruh rakyat Khilafah dimanapun berada. Pos ini bisa diambilkan dari fa’i dan kharaj maupun dari harta kepemilikan umum. Dalam penanganan bencana maka harus cepat agar penderitaan rakyat tidak terlalu lama, sehingga tidak perlu menunggu biaya terkumpul. Maka negara boleh mengambil pinjaman kepada masyarakat yang kaya untuk penanganan bencana ini.
Hal ini sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab ketika menghadapi bencana kemarau panjang di Madinah. Pertanian dan pertanian saat itu hancur total, banyak masyarakat yang mengalami kelaparan akibat paceklik ini. Dalam bencana ini sampai-sampai Umar bersumpah tidak makan daging dan minyak samin hingga kondisi normal. Lalu Umar mengirim surat kepada Abu Musa al Asy’ari di Bashrah dan Amr bin Ash di Mesir. Kedua Gubernur itu mengirimkan bantuan yang sangat besar ke Madinah. Abu Ubadah juga mengirimkan bantuan berupa 4000 hewan tunggangan yang dipenuhi makanan ke Madinah. Umar pun membagikan bantuan itu secara cepat kepada seluruh masyarakat.
Tidak hanya itu Umar juga mengajak seluruh rakyat Madinah untuk melakuakn sholat istisqa untuk memanggil hujan. Dengan kecerdasan, kebijaksanaan dan keshalihannya akhirnya Umar mampu memimpin masyarakat Madinah melewati wabah paceklik tersebut.
Khatimah
Dari pemaparan di atas maka jelas bahwa Khilafah Islam akan melakukan pembangunan infrastruktur dan pemenuhan kebutuhan masayarakat tanpa hutang. Hutang baru akan dilakukan sebagai pilihan terakhir dalam kondisi sangat mendesak ketika kas negara kosong dan pemasukan dari pos lain tidak tercukupi, tetap dengan mengacu pada ketentuan syariat. Dan kondisi ini sangat jarang terjadi dalam Khilafah.
Untuk itu negara manapun yang ingin bebas hutang baik dalam maupun luar negeri bisa menerapkan sistem Islam sebagai alternatif. Namun sayang saat ini tidak ada satu negarapun yang mengadopsinya sebagai sistem hidup. Padahal Islam menjanjikan kesejahteraan dan rahmat yang telah terbukti secara historis selama 1300 tahun lamanya. Ini karena masih minimnya pemahaman Islam pada umat dan pemangku kebijakan. Maka dakwah menuju Islam kaffah harus terus digencarkan hingga umat paham dan meminta sendiri Islam diterapkan suatu saat nanti. Allahu a’lamu bissawab