Akhiri Impor Kedelai dengan Khilafah


Oleh : Alin FM

Praktisi Multimedia dan Penulis

 

Penjual tempe di Pasar Kramat Jati mulai kembali berjualan usai perajin tempe mogok produksi selama 3 hari. Tempe ludes terjual sebelum matahari terbit.

 

Pasalnya, awal tahun 2021, tempe sempat hilang dari peredaran dan bikin heboh masyarakat. Penyebabnya lantaran harga kedelai impor meroket sehingga produsen atau pengrajin tempe menghentikan produksi.

 

Tempe menjadi salah satu menu favorit di Indonesia, baik diolah sebagai hidangan di meja makan maupun kudapan. Makanan merakyat yang terbuat dari kedelai ini amat mudah ditemui dari tukang gorengan hingga restoran.

 

Menurut Kasubdit Kedelai Direktorat Serealia Ditjen Tanaman Pangan Kementan Mulyono produksi kedelai di beberapa negara produsen kedelai dunia sedang turun. Sementara itu, permintaan impor justru naik tajam dari China.

 

Harga kedelai telah mengalami lonjakan drastis selama pandemi virus Corona (COVID-19). Normalnya, harga kedelai di kisaran Rp 6.100-6.500 per kilogram (Kg), kini naik menjadi sekitar Rp 9.500/Kg. (finance.detik.com, 3/01/2021)

 

Sementara itu, impor kedelai memang tak terbendung ke Indonesia. Sejak awal tahun hingga bulan Oktober 2020 saja, menurut data BPS yang dikutip Minggu (3/1/2021), Indonesia sudah mengimpor kedelai sebanyak 2,11 ton kedelai dengan total transaksi sebesar US$ 842 juta atau sekitar Rp 11,7 triliun (kurs Rp 14.000).

 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor kedelai Indonesia sepanjang semester-I 2020 mencapai 1,27 juta ton atau senilai 510,2 juta dollar AS atau sekitar Rp 7,52 triliun (kurs Rp 14.700). Sebanyak 1,14 juta ton di antaranya berasal dari AS.

 

Dikutip dari Harian Kompas, selama kurun sepuluh tahun terakhir, volume kedelai impor mencapai 2-7 kali lipat produksi kedelai lokal, sebagian besar berasal dari Amerika Serikat.

 

Karena ketergantungan impor kedelai yang sangat tinggi, tentunya gejolak harga di pasar internasional sangat rentan sekali terhadap pasokan di dalam negeri.

 

Bayangkan, harga kedelai impor kini mencapai Rp9.500 per kg atau naik 46,2% dibandingkan dengan akhir tahun  Rp6.500 per kg. Perajin mengkhawatirkan harga itu diprediksi bisa menembus Rp10.000 per kg. Jika tidak ada operasi pasar pemerintah.

 

Perajin  tempe langsung menjerit. Biaya produksi naik signifikan, tetapi di sisi lain mereka tidak berani menaikkan harga jual. Tidak sedikit perajin yang harus bersedia mengurangi keuntungannya hingga 30%, bahkan berhenti produksi. Akibat ketidakberdayaan itu, perajin dan produsen siap melakukan aksi mogok dengan menghentikan produksinya selama 3 hari yang sudah direncanakan pada 30 Desember tahun lalu. Aksi mogok yang dilakukan perajin tempe ditujukan agar mendapat perhatian pemerintah.

 

Para pengrajin tempe tahu anggota Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) akan melakukan mogok produksi pada 1-3 Januari 2021. Ketua Umum Gakoptindo Aip Syarifuddin dalam surat edarannya menyampaikan jika aksi ini dilakukan untuk menyikapi harga kedelai yang terus naik dan berdampak kepada harga jual produksi tempe dan tahu. (finance.detik.com, 30/12/2020).

 

"Sejalan dengan hal tersebut, dengan ini kami pengurus GAKOPTINDO mendukung langkah dan upaya yang dilakukan PUSKOPTI DKI Jakarta dan Jawa Barat untuk melakukan mogok produksi, dengan tujuan agar kenaikan harga tempe dan tahu bisa kompak," ujar Aip dikutip dari surat edaran, Rabu (30/12/2020).

 

Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia ketergantungan kedelai impor untuk memproduksi tempe. Ketika harga kedelai dunia melonjak langsung berimbas kepada pembuat tempe dalam negeri.

 

Sayangnya, kalau pun impor mau direm, produksi kedelai lokal masih sangat rendah. Ada beberapa penyebab utama rendahnya produksi kedelai lokal di Indonesia yang pernah dihimpun detik.com.

 

Salah satu pemicu rendahnya produksi kedelai lokal adalah minimnya lahan kedelai di tanah air. Selain faktor lahan, rendahnya produktivitas kedelai lokal menjadi alasan lain. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas kedelai lokal adalah tidak adanya ketersediaan subsidi pupuk dan pemberian benih kedelai varietas unggul ke petani.

 

Harga kedelai lokal saat panen di tingkat petani cukup rendah. Hal itu juga membuat para petani ogah dan tidak bergairah menanam kedelai lokal. Para petani lebih memilih menanam padi atau jagung ketimbang kedelai.

 

Menteri Pertanian (Mentan) periode 2009-2014 Suswono saat masih menjabat pernah menyatakan lahan kedelai kalah saing dengan jagung yang harga jualnya lebih mahal. "Memang soal lahan ini penting. Tidak ada pilihan lain untuk mencapai swasembada kedelai memang harus ada tambahan lahan. Sebab kedelai dan jagung ini posisinya trade off. Karena menanamnya dan lahannya relatif sama. Waktunya sama. Sehingga petani itu melakukan pilihan mana yang lebih menguntungkan," tutur Suswono 27 Juli 2012. (finance.detik.com, 10/1/2021)

 

Pada Faktanya di Indonesia banyak lahan-lahan kosong bertuan tapi tidak dikelola, kemudian di sisi lain banyak di antara petani justru tidak memiliki lahan sendiri untuk mereka tanami. Pada akhirnya mereka hanya menjadi buruh tani di negeri sendiri. Bahkan di antara mereka harus menjual lahan akibat penggusuran proyek besar negara.

 

Lemahnya  upaya Indonesia untuk swasembada pangan kedelai menjadikannya sebagai negara yang bergantung pada impor. Jadi ketika harga kedelai impor melambung, maka akan berdampak pada harga kedelai di Indonesia. Hal ini akan berdampak pula pada stok kedelai nasional dan mempengaruhi produksi olahan kedelai. Ditambah lagi dengan disahkannya UU Cipta kerja akan berpotensi membawa Indonesia dalam jebakan  impor atas nama investasi produk pertanian dan mengakibatkan negara mudah dijajah  dan dikuasai.

 

Indonesia dalam memenuhi segala kekurangan kebutuhan pokoknya selalu masih bergantung pada impor dan keterikatan Indonesia dalam perjanjian internasional seperti WTO dalam hambatan non tarif 0%. Ditambah produksi kedelai melemah sehingga selalu bergantung pada pangan luar negeri. Karena itu kemandirian pangan kedelai tidak pernah terwujud dalam sistem perdagangan bebas seperti sekarang ini. Alih-alih menuju kemandirian pangan kedelai justru semakin terjebak keran impor.

 

Akhiri Impor Kedelai dengan tata kelola Islam

 

Hakikat negara adalah melindungi segenap anak bangsa. Negara yang memainkan perpolitikan untuk mengurusi urusan rakyat.  Di dalam Islam, politik adalah ri’ayah su’un al-ummah (pengurusan urusan umat) yang didasarkan pada syariah Islam, sebagaimana ditegaskan  sabda Rasulullah saw.:

 “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggungjawab terhadap rakyat yang dia urus.” (HR Muslim dan Ahmad).

 

Kemakmuran sebuah negara bisa dilihat dari produktivitas hasil buminya sehingga terwujudnya ketahanan pangan dan mencapai swasembada.   Sehingga persoalan kebutuhan rakyat  mendasar ini menjadi permasalahan yang harus segera diselesaikan dan menjadi prioritas utama. Negara harus hadir dalam masalah ketersedian pangan karena hanya negaralah yang memiliki kapasitas untuk melakukannnya.

 

Untuk tata kelola Islam menuju swasembada pangan yang pertama kali dilakukan adalah menghentikan ketergantungan impor  dan jebakan utang sekaligus perdagangan bebas yang mengganggu stabilitas ketahanan pangan dalam negeri. Negara terbebas dari penjajahan sektor pertanian yang kerap kali terjadi.

 

Selanjutnya menggenjot produksi  mencapai swasembada. Membuka banyak lahan untuk pertanian, menyediakan pupuk terjangkau berkualitas, membuat sistem irigasi yang baik dan pemberian benih kedelai varietas unggul ke petani. Membangun sektor pertanian dengan teknologi mukhtahir sehingga kendala pra, selama, pasca produksi terselesaikan.

 

Dalam sistem Islam, ketahanan pangan adalah salah satu faktor yang sangat diperhatikan karena ketahanan pangan menyangkut ketahanan negara. Kebutuhan pangan adalah kebutuhan dan hak dasar setiap manusia. Negara harus menjamin kebutuhan hidup setiap warganya. Islam tak akan membiarkan swasta atau asing menguasai aset strategis ataupun sumber daya alam yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Pengelolaan Sumber daya alam dilakukan sendiri tanpa intervensi asing ataupun kepentingan kaum kapitalis. Hasil pengeloaan SDA akan digunakan sebagai sumber pendanaan untuk kepentingan rakyat.

 

Dari aspek manajemen rantai pasok pangan, kita dapat belajar dari Rasulullah saw yang pada saat itu sudah sangat serius terhadap persoalan akurasi data produksi. Beliau mengangkat Hudzaifah ibn al-Yaman sebagai katib untuk mencatat hasil produksi Khaybar dan hasil produksi pertanian. Sementara itu,  kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply dan demand bukan dengan kebijakan pematokan harga.  Anas ra. menceritakan:

 

Harga meroket pada masa Rasulullah saw lalu mereka (para sahabat) berkata: "ya Rasulullah patoklah harga untuk kami". Maka Beliau bersabda: "sesungguhnya Allahlah yang Maha Menentukan Harga, Maha Menggenggam, Maha Melapangkan dan Maha Pemberi Rezki dan aku sungguh ingin menjumpai Allah dan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan harta (HR at-Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Dawud, ad-Darimi, Ahmad).

 

Begitu pula, Praktek pengendalian supply seperti itu pernah dicontohkan oleh Umar bin al-Khaththab ra. Pada  waktu tahun paceklik dan Hijaz dilanda kekeringan, Umar bin al-Khaththab ra menulis surat kepada walinya di Mesir Amru bin al–'Ash  tentang kondisi pangan di Madinah dan memerintahkannya untuk mengirimkan pasokan. Lalu Amru membalas surat tersebut, "saya akan mengirimkan unta-unta yang penuh muatan bahan makanan, yang "kepalanya" ada di hadapan Anda (di Madinah) dan dan ekornya masih di hadapan saya (Mesir)  dan aku lagi mencari jalan untuk mengangkutnya dari laut".

 

Syariah Islam dalam bingkai Khilafah menjamin terlaksananya mekanisme pasar yang baik. Negara wajib menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan, riba, monopoli, dan penipuan.  Negara juga harus menyediakan informasi ekonomi dan pasar serta membuka akses informasi itu untuk semua orang sehingga akan meminimalkan terjadinya informasi asimetris yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar mengambil keuntungan secara tidak benar.

Dari Ma’mar bin Abdullah; Rasulullah bersabda, “Tidaklah seseorang melakukan penimbunan melainkan dia adalah pendosa.” (HR. Muslim).

 

Dalam riwayat lain disebutkan:

 

عن القاسم بن يزيد عن أبي أمامة قال : نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم أن يحتكر الطعام

 

Dari Al-Qasim bin Yazid dari Abu Umamah; beliau mengatakan, “Rasulullah melarang penimbunan bahan makanan.” (HR Hakim)

 

Itulah konsep dan nilai-nilai syariah Islam dalam bingkai Khilafah memberikan kontribusi pada penyelesaian masalah pangan sehingga umat manusia terhindar dari kelaparan. Konsep tersebut tentu baru dapat dirasakan kemaslahatannya dan menjadi rahmatan lil alamin bila ada institusi negara yang melaksanakannya. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk mengingatkan pemerintah akan kewajiban mereka dalam melayani urusan umat, termasuk persoalan pangan kedelai dengan menerapkan syariah yang bersumber dari Allah SWT, Pencipta manusia dan seluruh alam semesta.

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak