Oleh Ida Farida, S.Pi
Vaksin sebuah harapan
Vaksin menjadi harapan mutakhir masyarakat dibanyak negara untuk keluar dari pandemi. Berdasarkan survei yang diadakan Kementerian Kesehatan bersama Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) menunjukkan, mayoritas masyarakat siap mendapat vaksinasi Covid-19. Pemerintah berencana vaksinasi bisa dimulai di akhir Desember atau Januari 2021.
Berlawanan dengan harapan yang muncul ditengah masyarakat terhadap vaksin, Direktur keadaan darurat Organisasi Kesehatan dunia (WHO) Michael Ryan mengatakan bahwa vaksin seharusnya tidak dipandang sebagai solusi pamungkas untuk menangani pandemi Covid-19. “Jika kita memiliki vaksin dan melupakan hal lainnya, COVID tidak akan menjadi nol,” pungkasnya.
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO South-East Asia Region Prof dr Tjandra Yoga Aditama menjelaskan ada 9 cara yang harus dilakukan untuk menangani Covid-19 disamping pengobatan pasien yang telah terpapar. Tiga cara yang pertama adalah testing, tracing dan treatment atau sering disebut sebagai 3T. Cara ini efektif untuk membendung penularan dari orang yang sakit kepada orang yang lain. Tiga cara selanjutnya, adalah 3M, yakni memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Cara ini, tuturnya, merupakan cara paling efektif yang bisa dilakukan setiap individu mencegah penularan. Berikutnya adalah etiket batuk, bagaimana kita menutupi mulut ketika batuk. Selanjutnya adalah salaman, bagaimana kita mengucapkan salam tapi tidak bersentuhan. Baru yang ke-9 adalah vaksin yang saat ini sedang dikembangkan oleh sejumlah negara.
Penanganan pandemi dalam sistem kapitalisme
Langkah utama dan komprehensif ini tentu berdasarkan hasil penelitian terhadap karakteristik virus. Pelaksananan seluruh langkah harus menjadi perhatian utama bagi pemerintah, sehingga akan mampu mengembalikan kesehatan masyarakat. Namun sangat disayangkanuntuk pelaksanaan Test yaitu PCR Indonesia belum mampu mencapai sesuai standar WHO. Faktor sumberdaya laboratorium menjadi alasan utama yang dikemukakan pemerintah dari rendahnya angka Test. Sebenarnya ada masalah lain yaitu dari sisi masyarakat harga 900 ribu tiap satu test tentu dirasakan sebagai biaya yang cukup mahal pada saat ekonomi yang lesu seperti ini.
Bila negara membebankan semua biaya kesehatan dalam pelaksanaan langkah penanganan wabah kepada masyarakat tentu sangatlah membebani. Hal ini tentuakan menjadi penghambat terlaksananya strategi penurunan wabah di tengah masyarakat. Sehingga kegagalan dalam menghadapinya menjadi tidak mustahil. Lantas mengapa negara tidak memiliki kemampuan untuk menanggung beban pemenuhan pelayanan kesehtan ini di pundaknya?.
Kapitalismelah yang telah menjadikan kesehatan sebagai bagian dari pelayanan komersial. Kapitalisme juga yang telah mengharuskan negara menjadi institusi yang mengeluarkan aturan saja pemenuhan kebutuhan masyarakat termasuk kesehatan. Hingga negara menyerahkan pemenuhannya pada sektor swasta. Tentu profit menjadi orientasi. Karenanya biaya yang mahal untuk membeli kesehatan harus ditanggung masyarakatnya. Sehingga negara telah dilumpuhkan peran strategisnya dalam memberikan layanan semesta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pada layanan kesehatan paripurna.
Pada masa wabah dimana masyarakat secara jumlah besar membutuhkan pelayanan kesehatan maka terjadi kolaps akibat ketersediaan layanan semisal RS kurang dibandingkan yang membutuhkannya. Kondisi ini tidak hanya terjadi d Indonesia juga terjadi di jjnegara maju yang sistem kesehatannya. Sehingga bisa kita katakan system kapitalis telah gagal dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Pandemi telah mampu menguak kegagalan ini.
Khilafah dan perannya dalam menangani pandemi
Pelayanan kesehatan yang paripurna terlebih pada masa pandemi, harus bersandar pada negara. Karena besar nya dan luasnya pelayanan yang harus diberikan. Khilafah menjadi satu-satunya sistem pemerintahan yang akan mampu menanggungnya. Karena khilafah menjadikan kesehatan sebagai kebutuhan pokok masyarakat yang harus ditanggung oleh negara. Terlebih pada masa pandemi, keselamatan jiwa menjadi orientasi dalam setiap langkah penyelesaiannya. Karenanya negara melakukan segala daya upaya yang har haaaahus dilakukan sesuai dengan hasil mendalam termasuk didalamnya pemberian vaksin secara massal dan gratis di tengah masyarakat.
Mengganggarkan dana yang tidak terbatas dalam menyeelesaikannya adalah sesuatu yang mudah khilafah. Karena negara adalah pengelola kekayaan alam yang sangat besar. Negara mengambil dana dari baitul maal bersumber dari pemasukan kepemilikan umum, yaitu kekayaan yang berasal dari minyak bumi, barang tambang, hasil hutan dan laut. Sumber lain bisa berasal dari harta fai dan kharaj atau harta negara lainnya. Konsep pembiayaan mutlak untuk kebutuhan ini menjadikan negara tetap bertanggungjawab mendanainya meskipun dana di baitul maal kosong.
Mekanisme yang bisa digunakan dalam kondisi seperti ini dengan cara menerapkan pajak sementara kepada muslim yang mampu. Selain ini mekanisme lain yang bisa dilakukan pada saat Baitul Maal kosong adalah dengan mekanisme pinjaman kepada muslim yang kaya.
Sejarah telah menuliskan dan menggambarkan bagaimana khilkafah mampu keluar dari pandemic yang melanda negerinya. Ada 3 wabah besar yang pernah terjadi dalam masa khilafah yaitu wabah di Amwas wilayah Syam (kini Suriah) di tahun 639 M yang telah menimbulkan syahidnya dua sahabat Nabi saaw yaitu Abu Ubayda bin Jarrah dan Muadz bin Jabal. Lalu wabah ‘Black Death’ yang mengepung Granada, benteng terakhir umat Islam Andalusia di abad ke 14, dan terakhir wabah smallpox di abad 19 yang melanda Khilafah Uthmaniy. Seluruh wabah ini mampu ditangani dengan baik hingga khilafah masih mampu meluaskan kekuasaannya sepanjang 14 abad lamanya.
.
Tags
Opini