Oleh: Susi Damayanti, S.Pd
Sejak awal pengesahannya yang tampak tergesa-gesa pada 5 Oktober silam, UU Omnimbus Law Cipta Kerja memang sudah menuai banyak kontroversi. Akibatnya berbagai aksi penolakan dan gelombang unjuk rasa di berbagai wilayah pun tidak bisa dihindari.
Sejumlah pihak bahkan sudah mengajukan permohonan judicial review atas UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ini menunjukkan bahwa ada yang tidak beres dengan UU ini.
Bahkan sekretaris Utama BPIP Karjono mengatakan bahwa dalam perjalanannya isi UU Cipta Kerja memang terdapat sejumlah kesalahan. Namun kesalahan-kesalahan itu bersifat teknis dan manusiawi karena undang-undang itu mencakup 76 undang-undang dan menyangkut pasal serta halaman yang jumlahnya ribuan. (Republika, 27/11/2020)
Dari sini kita bisa melihat betapa rusaknya sistem demokrasi yang telah membidani lahirnya UU cacat seperti ini. Setidaknya ada beberapa hal yang dapat menjadi catatan, yaitu:
Pertama, dari segi kemunculan dan legalitasnya. Sejak awal pembentukan UU Cipta Kerja ini sudah mengandung cacat formil karena tidak memenuhi asas transparansi dan partisipasi publik baik dalam proses perumusan oleh pemerintah maupun proses pembahasan di DPR. Apalagi hingga kini naskah akhirnya tidak kunjung dapat ditunjukkan oleh pihak terkait, jika demikian bagaimana bisa dikritisi?
Kedua, dari segi isi. Hampir di semua pasal, undang-undang ini memuat banyak ketentuan bermasalah. Bahkan ada juga beberapa pasal yang justru tidak sejalan dengan ananat UUD 1945, mengabaikan hak aspirasi rakyat dan lebih condong pada kepentingan para penguasa. UU tak hanya berbahaya bagi sektor perburuhan saja, tapi juga menancam upaya pelestarian alam hingga membuka lebar peluang bagi komersialisai pendidikan.
Dari dua aspek itu saja sebenarnya sudah cukup untuk membongkar kedok demokrasi yang sesungguhnya dan semakin membuktikan bahwa slogan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, hanya sekedar jargon kosong belaka.
Hingga se ideal apapun upaya penerapan demokrasi, tetap berpeluang besar memunculkan kebijakan yang bertentangan dengan suara rakyat. Hal ini karena pihak pemegang kedaulatan yang sebenarnya adalah para pengusaha dan pemilik modal yang berada di balik para pemegang kekuasaan.
Belum lagi mekanisme pembuatan berbagai aturan dan UU dalam demokrasi bertumpu pada akal manusia. Keputusan kolektif berdasarkan suara terbanyak yang kadang tanpa memperhitungkan lagi aspek benar salah apalagi halal haram.
Tentu hal ini berkonsekuensi memunculkan aturan yang sarat kontroversi, memicu perselisihan dan tidak sesuai dengan fitrah manusia. Akhirnya aturan yang ada bukan memberikan solusi tuntas tapi justru memicu munculnya masalah baru.
Berbeda dengan demokrasi, Islam memberikan mekanisme yang jelas dan rinci bagi proses leglisasi aturan oleh negara. Islam mewajibkan hanya mengadopsi aturan dari hukum syara, bukan akal manusia.
Maka bagi aturan apapun yang lahir, wajib disertai dalil-dalil yang terperinci tentangnya.
Hal ini menjadi jaminan terpercaya bahwa aturan yang akan lahir pasti bersifat solutif dan cocok bagi manusia, karena bersumber dari Zat Yang Maha Benar.
Kemudian Islam pun memberikan kewajiban bagi rakyat untuk melakukan kontrol dan muhasabah atas setiap kebijakan atau aturan yang diadopsi daulah. Hal inilah yang akan menutup peluang bagi penguasa untuk berlaku semena-mena atau mengkhianati rakyat.
Walhasil, lahirnya UU Cipta Kerja ini hanya semakin mempertegas kebobrokkan sistem demokrasi. Agar tak semakin menciptakan kerusakan yang merata, sistem cacat ini harus segera dicampakkan, bukan diselamatkan atau ditambal sulam. Dan hanya Islam lah yang layak untuk dijadikan harapan.
Wallahu'alam