Oleh: Nita Kurnia
Ibu Rumah Tangga, Aktivis Dakwah
Belakangan ini, banyak ulama yang terlibat langsung dalam perhelatan perpolitikan. Keberadaannya di tengah-tengah pusaran pemerintah menjadi harapan baru bagi umat agar dapat menjadi mitra bagi para pelaksana amanat rakyat.
Ulama memang memegang peran penting di tengah-tengah masyarakat. Mereka berperan sebagai filterasi sosial kebudayaan dan politik yang berkembang. Penguasaannya terhadap seluruh aspek keilmuan menjadi figur strategis dalam memecahkan problem kehidupan baik tingkat individu, masyarakat, pengusaha hingga panguasa.
Terlebih pada tingkat penguasa yang mencakup kepentingan hajat hidup orang banyak maka ulama tidak membiarkan apalagi mendukung kezaliman penguasa. Tegas sekali Allah SWT berfirman:
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ
_"Janganlah kalian cenderung kepada orang-orang yang berbuat zalim, yang dapat mengakibatkan kalian disentuh api neraka"_ (TQS Hud [11]: 113).
Maka, sudah seharusnya ulama senantiasa memastikan bahwa penguasa menjalankan kekuasaannya sesuai dengan syariah Islam. Ketika penguasa menyimpang, ulama harus tampil ke depan meluruskan penyimpangan mereka hingga penguasa tunduk dan berjalan kembali di atas syariah Islam.
Imam al-Ghazali rahimahullah berkata:
_"Rusaknya rakyat disebabkan karena rusaknya penguasa. Rusaknya penguasa disebabkan karena rusaknya ulama. Rusaknya ulama disebabkan karena dikuasai oleh cinta harta dan ketenaran"_ (Al-Ghazali, Ihya‘ ‘Ulum ad-Din, 2/357).
Ketika ulama berlaku lurus dan tegas kepada penguasa, hakikatnya mereka telah mencegah sumber kerusakan. Sebaliknya, tatkala mereka berlaku lemah kepada penguasa zalim, saat itulah mereka menjadi pangkal segala kerusakan di tengah-tengah masyarakat.
Ulama yang membiarkan bahkan mendukung kezaliman penguasa adalah ulama _su'_. Ulama _su'_ merupakan seburuk-buruk manusia.
Di antara perilaku keji ulama su’ (jahat) adalah Pertama, menjadi stempel kekuasaan zalim. Ia mendukung dan membantu kelancaran setiap kepentingan penguasa.
Kedua, menjadi alat memecah belah umat untuk melanggengkan kedudukan penguasa.
Ketiga, menggadaikan agama untuk kepentingan dunia. Cinta dunia merupakan pangkal dari semua keburukan.
Nabi saw. benar-benar mencela perbuatan semacam itu. Beliau bersabda kepada Kaab bin ‘Ujrah ra.:
“Semoga Allah SWT melindungi kamu dari pemimpin bodoh. Kaab bertanya, “Siapa pemimpin bodoh itu.” Nabi saw. menjawab, “Para pemimpin yang datang setelah aku. Ia tidak memberi petunjuk dengan petunjukku dan tidak menjalankan sunnahku. Siapa saja yang membenarkan kedustaan mereka dan membantu kezaliman mereka, mereka tidak termasuk golonganku dan aku bukan golongan mereka, dan mereka tidak bisa mencapai telagaku.” (HR Ahmad).
Ulama secara etimologi adalah bentuk plural dari kata Alim yang berarti orang yang ahli ilmu. Namun, bukan hanya keilmuan yang tinggi, substansi ulama adalah orang yang memiliki rasa takut, sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
"Sungguh yang takut kepada Allah di kalangan para hamba-Nya hanyalah para ulama" (TQS Fathir [35]: 28).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa hakikat orang yang berilmu (ulama) bukan hanya orang yang memiliki keluasan ilmu namun yang terpenting memiliki rasa takut kepada Allah SWT. Dari keilmuannya menghantarkan pada ketakwaan dan ketundukan kepada-Nya.
Dalam sebuah hadis dijelaskan betapa tingginya kedudukan ulama; _Innal ‘ulama aaratsah al-anbiya’_ (sungguh ulama adalah pewaris para Nabi). Hadits Nabi saw. tersebut adalah penguat atas pesan Allah SWT yang terkandung di dalam Al-Quran:
_"Kemudian Kami wariskan al-Quran kepada mereka yang Kami pilih dari hamba-hamba Kami"_ (QS. 32: 35).
Oleh karena itu, seorang ulama tidak hanya orang pilihan, melainkan juga jauh dari nafsu duniawi, menguasai ilmu Syariah secara mendalam dan memiliki pengabdian yang tinggi semata-mata karena mencari keridhaan Allah SWT, bukan keridhaan manusia.
Untuk itu, tugas seorang ulama terhadap penguasa yakni _pertama_, memberikan loyalitas hanya pada Islam, tidak pernah gentar menghadapi kezaliman penguasa; _kedua_, mengawal kekuasaan agar tetap berjalan di atas syariah Islam; _ketiga_, menjadi garda terdepan dalam mengoreksi penguasa zalim.
_Wallahu a'lam bi ash-showwab._