Oleh : Tri Silvia
.
.
Politik?! Mungkin banyak orang yang akan langsung menolak ketika ditanyai tentang persoalan politik. Hal ini berlaku untuk masyarakat secara umum dan umat muslim secara khusus. Banyak alasan yang melatarbelakangi sikap tersebut tentunya. Namun untuk diketahui, nyatanya banyak momen khusus umat Islam yang terjadi sebab adanya peristiwa politik. Salah satu yang terbesar dan terkenang, serta senantiasa diulang tiap tahunnya adalah gerakan 212.
.
Sebagaimana diketahui bahwa pada hari Rabu (2/12), telah dilakukan gelaran virtual, 'Dialog Nasional 100 Ulama dan Tokoh (Spirit 212)' dengan tema "REVOLUSI AKHLAQ, Solusi untuk Indonesia Bermartabat". Gelaran Akbar yang cukup berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Acara tersebut dilakukan secara virtual guna menjaga umat dari ancaman bahaya pandemi yang semakin menjadi-jadi saat ini.
.
Gelaran Akbar 212 sudah lama menjadi momen luar biasa dan tak terlupa. Gelaran tersebut telah berhasil mengumpulkan lautan massa umat melalui satu aspirasi dan perasaan. ISLAM.
.
Diawali dengan beberapa aksi Umat Islam sebelumnya, gelaran 212 mulanya bernama Aksi Bela Islam III. Diadakan pertamakali pada Desember tahun 2016, gelaran ini berhasil mengguncang nusantara dengan semangat Al-Qur'an dan semangat keislaman yang kuat. Jutaan umat berkumpul dengan latarbelakang penghinaan ayat suci Al-Qur'an, tepatnya QS. Al-Maidah : 51 oleh Gubernur aktif saat itu, Ahok.
.
Banyak yang mengkritisi gelaran tersebut, mulai dari masalah ketertiban, sampah, rumput dan lainnya. Namun pada kenyataannya, empat kali gelaran semua berjalan dengan lancar, aman dan tertib. Walaupun mungkin dengan beberapa masalah teknis yang dirasakan para peserta di lapangan, namun secara umum acara tersebut berjalan lancar, tanpa ada masalah serius.
.
Selain terkait dengan berlangsungnya acara, nyatanya QS.Al-Maidah : 51 menjadi latarbelakang munculnya gerakan 212 tersebut.
.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوا۟ ٱلْيَهُودَ وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ أَوْلِيَآءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُۥ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظَّٰلِمِينَ
Artinya, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim."
.
Ayat diatas menjelaskan secara gamblang tentang bagaimana umat Islam harus memilih seorang pemimpin. Bahwa umat tidak boleh memilih pemimpin dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Menilik ayat di atas maka jelaslah bagi kita semua, bahwa ayat tersebut adalah ayat yang menjelaskan tentang politik dalam Islam.
.
Bicara persoalan politik, seperti yang disampaikan diawal, pasti banyak yang merasa risih. Sikap pesimis dan fatalisme akan istilah tersebut seakan telah mendominasi umat Islam, terutama kaum ibu. Mereka lebih suka membicarakan urusan anak-anak dan dapur dibandingkan yang lainnya, apalagi urusan politik. Lantas apakah benar sikap tersebut?
.
Kata politik atau siyasah memang tidak secara langsung tertulis di dalam Al-Qur'an, namun Islam sebagai agama yang sempurna memiliki aturan di segala aspek kehidupan, termasuk urusan politik. Jangan dulu membahas tentang aksi saling sikut, debat memuakkan, lobi-lobi keuntungan, lelang kekuasaan, jejaring pengambilan uang rakyat, ikatan koruptor licik dan lainnya dari mereka yang menamakan diri sebagai politisi. Tapi kita akan bahas tentang politik dalam Islam.
.
Bahasa Arab untuk kata politik adalah siyasah. Adapun kata siyasah menurut kalangan ahli Bahasa Arab berasal dari akar kata sasa-yasusu-siyasatan, berarti mengatur, memerintah atau melarang. Adapun secara istilah, siyasah adalah suatu aktifitas yang dilakukan seseorang, sekelompok masyarakat, atau negara guna memperbaiki keadaan yang buruk menjadi baik, dan yang baik menjadi lebih baik.
.
Di kalangan ulama Fikih, siyasah biasa diartikan sebagai interaksi yang dilakukan oleh seorang pemimpin secara evolusioner untuk mencapai satu kemaslahatan. Adapun Syekh Taqiyuddin An-Nabhani menyampaikan bahwa politik adalah mengurus urusan umat dengan menerapkan hukum Islam, baik di dalam maupun luar negeri.
.
Banyak kosa kata politik Islam (Siyasah Syar'iyyah) yang masuk menjadi kosakata popular di Indonesia, seperti kata Siyasah al-Syar'iyyah itu sendiri, Dar al-Salam, Dar al-Amn, Dar al-Harb, Ahl al-Zimmah, dll. Bahkan sejak awal terbentuknya NKRI kita mengenal kata Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang sangat dikenal luar di dalam masyarakat berasal dari bahasa Siyasah Syar'iyyah, yaitu kata majlis (Arab: tempat duduk, kursi), per-musyawara-tan (Arab: bermusyawarah), ra'yah (warga, penduduk); diwan (Arab: Dewan), per-wakil-an (Arab: wakil, representase), ra'yah (warga, penduduk). (DetikNews.com, 04/10/2020)
.
Dengan familiarnya istilah-istilah politik Islam di negeri ini dan juga melihat tentang definisi politik atau siyasah sendiri, maka kita tidak akan mendapati kebusukan disana. Sebab nyatanya kebusukan bukanlah berasal dari istilahnya itu sendiri, melainkan praktik nya lah yang membuat istilah tersebut makin busuk terlebih di akhir-akhir ini. Kenapa? Pasalnya, masyarakat kini terlalu banyak disuguhkan dengan berbagai dramatisasi kepentingan di dalam tubuh orang-orang yang menamakan dirinya politisi.
.
Inilah kemudian dilihat oleh umat Islam yang kemudian menjadi jalan orang-orang yang tidak senang kepada Islam untuk menjauhkan mereka dengan urusan politik pemerintahan. Umat pun akhirnya melihat hal tersebut dengan buruk dan mencap segala hal yang berhubungan dengan mereka itu busuk.
.
Hal yang amat miris, mengingat Islam telah mewajibkan kita sebagai umatnya untuk mengamalkan ajaran secara kaffah, termasuk dalam hal politik. Sudah seharusnya lah kita sadar politik dan berusaha untuk mengembalikan sistem perpolitikan kepada sistem politik yang telah digariskan oleh Allah.
.
Tugas yang memang berat, namun tetap harus dilakukan. Karena bagaimanapun kita tidak akan mau menunggu orang Yahudi dan Nasrani berkuasa dahulu baru kita sadar akan pentingnya pemahaman politik. Hal ini tentunya untuk seluruh umat Islam, termasuk kalangan para ibu. Semisal ada ungkapan jika mereka sudah cukup mengurusi anak-anak dan dapur saja. Bagaimana jika dapur yang mereka miliki tidak punya persediaan bahan makanan sebab adanya salah pengambilan kebijakan? Apakah masih akan tetap anti terhadap urusan politik?
.
Wallahu A'lam bis Shawwab
Tags
Opini