Oleh: Ummu hafidz
Komunitas Muslimah Peduli Generasi.
Jakarta, CNN Indonesia -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode kepengurusan 2020-2025 resmi diumumkan, Rabu (26/11) malam. Sejumlah nama baru muncul, wajah lama hilang seiring pengumuman Miftachul Akhyar sebagai Ketua Umum MUI periode 2020-2025.
Misalnya, nama Din Syamsuddin dan sejumlah ulama identik dikaitkan dengan Aksi 212 terdepak dari kepengurusan. Nama Din digeser Ma'ruf Amin. Wakil Presiden RI itu kini mengemban jabatan Ketua Dewan Pertimbangan MUI.
Dari susunan kepengurusan yang dibuka ke publik, selain nama Din yang hilang, raib juga nama mantan bendahara Yusuf Muhammad Martak, mantan wasekjen Tengku Zulkarnain, dan mantan sekretaris Wantim Bachtiar Nasir. Keempatnya dikenal sebagai tokoh yang keras mengkritik pemerintah. Din aktif di Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), dan tiga nama terakhir merupakan pentolan Aksi 212.
Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai dominasi dan kekuatan Ma'ruf Amin di MUI sangat kentara. Membuka dugaan kuat campur tangan pemerintah di payung besar para ulama tersebut.
Seperti diketahui, kurang lebih dua tahun sejak Ma'ruf ikut dalam politik kekuasaan. Akhir 2018, ia mencalonkan diri sebagai wakil presiden bersama petahana Joko Widodo. Saat itu, ia sedang memegang jabatan sebagai Rais Aam PBNU dan Ketua Umum MUI. Jabatan di PBNU ia tinggalkan, tapi tidak dengan jabatan di MUI.
Ma'ruf, dalam Munas MUI tahun ini, memimpin Tim Formatur yang terdiri dari 17 ulama. Tim ini berwenang menentukan siapa saja yang akan berada di pucuk pimpinan MUI, termasuk ketua umum MUI. Ujang berpendapat skenario ini mirip seperti yang terjadi di DPR RI. Kubu pemerintah merangkul sebanyak-banyaknya rekan koalisi dan menyingkirkan yang bernada sumbang.
MUI sangat strategis bagi pemerintah. Sebab ormas ini mengumpulkan berbagai ormas Islam dalam satu wadah. Sementara pemerintah punya masalah dengan kelompok Islam kanan yang diorkestrasi Rizieq Shihab. Dengan menggandeng MUI, posisi pemerintah tentu akan jadi lebih aman.
"Kalau MUI tidak dipegang, akan membahayakan. Buktinya dulu zamannya Pak Ma'ruf Amin pas demo Ahok, itu kan MUI menaikkan terus."
Melihat ini ada upaya kubu pendukung pemerintah untuk menyamakan suara di kalangan masyarakat, salah satunya di MUI, sebagai state coorporatism.
"Ini harus keluar dari state coorporatism. Semua dikooptasi, semua kekuatan yang ada dikooptasi, itu Orde Baru. Ini Orde Reformasi yang tidak sepatutnya itu,"
Seharusnya kelompok-kelompok yang berbeda pandangan tidak didepak dari kepengurusan MUI. MUI dibentuk untuk mewadahi berbagai ormas Islam.
Meski begitu, upaya menyingikirkan suara sumbang di MUI bukan kemenangan mutlak kubu pendukung pemerintah. mengingatkan Indonesia tidak hanya ditentukan oleh elite.
"Naif memaksakan organisasi lembaga tertentu dengan penyeragaman seperti ini. Demokrasi kita partisipatoris, bukan lagi perwakilan. Masyarakat tidak lagi diwakili oleh sejumlah kalangan,"
Fakta rezim yang berusaha mengebiri peran MUI ( menyingkirkan yang kritis, dianggap main politik ) adalah bukti bahwa sistem sekuler makin kuat dan dominan mewarnai pengambilan kebijakan.
Jelas ini tindakan yang menyimpang dari Alquran dan memastikan pelakunya mendapatkan kenistaan di dunia dan adzab pedih di akhirat sebagaimana firman Allah SWT,
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ ٱلْكِتَٰبِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ ۚ فَمَا جَزَآءُ مَن يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمْ إِلَّا خِزْىٌ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَيَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰٓ أَشَدِّ ٱلْعَذَابِ ۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“Apakah kamu beriman kepada sebagian Alkitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS Al Baqarah 85)
Para Ulama seharusnya tetap teguh menyampaikan kebenaran, menyampaikan Islam secara keseluruhan yang bersumber dari Alquran dan Hadis, sekalipun sulit dan berisiko karena melawan arus moderasi.
Sungguh, kedudukan para Ulama ini sama dengan Nabi. Dan para ulama adalah orang yang paling takut kepada Allah sebagaimana firman-Nya
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama . Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Fathir [35]: 28).
Pada ayat ini, yang disebut ulama adalah hamba-hamba Allah yang keilmuan yang dimilikinya membuatnya “khasyah” (takut) kepada Allah. Takut di sini berbeda dengan kata “khauf” yang biasa diterjemahkan dengan takut
Tak boleh gentar, justru harus ada kesadaran bahwa Majlis Ulama wajib mencontohkan sikap menentang kezaliman dan muhasabah lil hukkam (makna politik dalam Islam).
Politik Islam tidak identik dengan rebutan kedudukan dan haus kekuasaan. Dalam bahasa Arab Siyasah itu diambil dari kata “sasa-yasusu-siyasatan” yang berarti memelihara, mengatur, dan mengurusi. Pemaknaan politik (siyasat) Menurut Imam al-Bujairimi: “Memperbagus permasalahan rakyat dan mengatur mereka dengan cara membimbing mereka untuk mereka dengan sebab ketaatan mereka terhadap pemerintahan”. Dalam hal itu, maka dalam Islam, Politik itu sangat diprioritaskan karena politik tidak bisa dipisahkan dari Islam.
Ulama juga wajib mewaspadai arus moderasi yang memanfaatkan posisi mereka untuk menyesatkan umat.
Itulah fokus kiprah ulama, sedangkan menghentikan kerusakan akibat sistem rusak ini tak bisa diserahkan pada umat ( ormas ) tapi hanya bisa dijalankan sempurna oleh negara (Khilafah Islam).