Oleh: Rina Yulistina
DPR menggulirkan RUU tentang larangan minuman berakohol sudah bisa ditebak terjadi perdebatan pro kontra, bukan hanya dikalangan masyarakat saja yg mengalami hal itu dikalangan dewan dan pemerintah pun perdebatan itu tak kunjung usai. RUU tersebut sebenarnya telah dibahas sejak periode 2014-2019 hingga kini tak kunjung terwujud.
PDIP dan Golkar getol menolak RUU tersebut, pemerintah pun ternyata juga sama menolak. Alasan klasik dalam penolakan tersebut bersembunyi dibalik keberagaman. Menurut Firman Soebagyo dari Fraksi Golkar dilansir dilaman tempo.co mengatakan bahwa minol digunakan agama (selain agama Islam) untuk kegiatan ritual seperti di, Bali, Papua, Sumatera Utara, NTT, dan Sulawesi Utara.
Sekilas alasan penolakan tersebut nampaknya masuk akal namun jika ditelisik lagi apakah hanya atas dasar itu lantas menolak keberadan RUU tersebut? Berdasarkan data yang ditunjukkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementeria Keuangan, capaian penerimaan Negara dari cukai MMEA pada tahun 2017 mencapai Rp 5,6 Triliun. Bisa dibayangkan jika RUU larangan minol ini berlaku maka uang triliunan rupiah ini bisa lenyap. Maka tidak salah jika memiliki kesimpulan bahwa penolakan tersebut lebih didasari oleh nilai materi yang terkandung dalam minol.
Pembebasan minol tentunya akan menguntungkan negara karena menghasilkan triliunan rupiah tiap tahunnya, apalagi disektor pariwisata minol tak lepas disajikan bagi turis. Itulah alasan logis kenapa mereka getol menolak RUU pelarangan minol.
Maka hingga kapanpun pro kontra itu terus ada, apalagi di alam demokrasi semua hal diselesaikan dengan suara terbanyak. Jika suara terbanyak kontra dan ingin minol dibebaskan maka RUU pelarangan minol akan menguap begitu aja. Namun kemungkinan RUU disahkan pun akan sangat kecil, kepentingan materi akan terus bermain apalagi kondisi keuangan negara yang kembang kempis selalu defisit sepertinya akan sulit untuk meloloskan RUU ini.
Maka berharap pada demokrasi untuk memberantas minol terasa hanya khayalan belaka, apalagi jika kita runut sejarah terbentuknya demokrasi berasal dari hasil kompromi yang menghasilkan sekulerisme sebagai jantung demokrasi. Maka agama harus dijauhkan dalam kehidupan, hawa nafsu manusia harus dikedepankan maka aturan-aturan yang diterapkan dalam mengatur negara harus menggunakan akal manusia yang lemah dan terbatas malah dipenuhi dengan hawa nafsu.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS: Ar Rum:41)
Padahal sudah nampak banyak sekali kerusakan diakibatkan minuman berakhohol tersebut, seperti pembunuhan, pemerkosaan, putus sekolah dan lain sebagainya. Apakah menunggu negara ini hancur baru disahkan RUU pelarangan Minol?
Bertolak belakang dengan Islam, Islam jelas mengharamkan dalam surat Al Baqarah : 219. "Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya."
Islam sangat menjaga akal manusia, tidak boleh sedikitpun zat merusak akal manusia. Selain itu Islam meharamkan pendapatam negara dihasilkan dari barang haram masih banyak pemasukan negara yang bisa dioptimalkan selain dari minol seperti SDA yang tumpah ruah dibumi pertiwi. Jika dikelola dengan baik oleh negara ratusan triliun bisa diraup oleh negara untuk kesejahteraan rakyat namun sayangnya SDA diserahkan pada asing dan aseng, malah negara sibuk mencari sumber lain seperti minuman haram minol sebagai pemasukan negara.
Tentunya kita sebagi seorang yang beriman miris melihat fakta ini, tentunya hati kecil kita tak bersedia jika pelayanan publik yang dinikmato oleh seluruh rakyat Indonesia sebagain kecil dari hasil minuman keras. Tentunya kita ingin negara ini diberkahi oleh Allah dan jauh dari azab. Maka tidak ada pilihan lain selain mengganti sistem demokrasi sekuler dengan sistem Islam.