Oleh: Wilujeng Sri Lestari, S.Pd.I
Kasus stunting kembali mencuat. Menurut riset kesehatan dasar Kementerian Kesehatan Tahun 2019 mencatat sebanyak 6,3 juta balita dari populasi 23 juta atau 27,7 persen balita di Indonesia menderita stunting. Jumlah yang masih jauh dari nilai standard WHO. (Merdeka.Com, 21 Desember 2020)
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis, terutama pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) akibat kekurangan unsur seng (Zn). Menurut Profesor Damayanti, Guru Besar dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), stunting itu sebuah penyakit, bukan hanya sekadar kurang gizi, namun harus diobati dengan pangan khusus untuk kebutuhan medis khusus (PKMK) dan bukan hanya sekadar dengan makanan tambahan. (Tempo.Co, 9 Desember 2020).
Jumlah stunting kemungkinan bisa semakin meningkat di tengah pandemi. Mau tak mau Covid memang sangat mempengaruhi ekonomi masyarakat. Bukan lagi makanan sehat dan bergizi untuk keluarga, namun bisa makan setiap harikah yang menjadi prioritas masyarakat. Maka tak heran jika kasus stunting meningkat.
Disaat semua orang fokus pada penanganan pandemi, di sisi lain kebutuhan kesehatan anak juga tak bisa diabaikan. Anak merupakan calon generasi penerus bangsa. Jika dari kecil saja sudah tidak sehat, siapa nanti yang akan meneruskan perjuangan bangsa?
*Penanganan Stunting Butuh Peran Negara*
Cepat atau lambatnya negara dalam menangani stunting ini menjadi cermin keseriusan negara dalam mengayomi dan menjamin kehidupan warganya. Sudah banyak upaya yang dilakukan negara dalam menangani stunting ini. Dari pemberian makanan tambahan untuk ibu hamil dan balita, pengadaan antropometri, insentif petugas di desa, bahkan seminar kesehatan dan konseling pun telah dilakukan. Namun ternyata hal ini belum bisa mengentaskan masyarakat dari momok stunting.
Akar masalah ini bukanlah pada kasus stunting. Stunting adalah salah satu akibat saja. Dasar semua ini adalah sistem kebijakan dan sistem ekonomi yang digunakan negara dalam menjalankan perannya mengurus masyarakat.
Negara selama ini menggunakan sistem kapitalis dimana kebijakan lebih condong pada pemilik modal. Selain itu distribusi kekekayaan negara yang tak merata. Belum lagi pemangku kebijakan yang tak amanah, memakan hak rakyat untuk kepentingan pribadinya.
Maka sangat dibutuhkan sistem Islam sebagai ganti sistem kapitalis yang menjadikan jurang kesenjangan semakin besar. Sistem Islam akan memenuhi kebutuhan pokok masyarakat dari sandang, pangan, papan. Islam akan memberikan pekerjaan dan membuka akses- akses sektor ekonomi untuk masyarakat, mendistribusikan kekayaan negara secara merata. Dan sumber daya manusia yang amanah, yang takut korupsi karena Allah SWT.
Islam juga akan meningkatkan layanan pendidikan bagi masyarakat untuk meningkatkan pola pikir dan pemahaman masyarakat terkait kesehatan, pendidikan anak. Sehingga akan didapati masyarakat yang mandiri dan generasi yang sehat dan berkualitas untuk pembangunan di masa depan.
Wallahu'alam bishowab.