Spirit Persatuan dan Kebangkitan dalam Reuni Aksi 212




Oleh Anita Irmawati

Desember tak lepas dari ikon aksi 212 yang menyedot perhatian warga. Aksi memutihkan Monas pertama kali pada 2 Desember 2016 yang dihadiri (setidaknya) dua juta massa untuk menuntut Gubernur DKI Jakarta sebagai tersangka dalam kasus dugaan penistaan agama. Aksi ini merupakan tuntutan kedua setelah unjuk rasa pada 4 November 2016. Namun, tahun-tahun berikutnya spirit 212 masih terasa, sehingga dijadikan sebagai ajang Reuni Aksi 212 pada setiap tahunnya mulai dari 2017, 2018, hingga 2019.

Namun, berbeda dengan tahun ini. Segala aktivitas Reuni Aksi 212 tak bisa memutihkan Monumen Nasional. Shalat tahajjud berjamaah, dzikir bersama, hingga orasi tak bisa dilakukan akibat pandemi. Tak sampai menghilangkan ajang silahturahmi, Reuni 212 tetap berjalan secara virtual yang dihadiri Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab serta 100 tokoh dan ulama. 

Kilas Balik Aksi 212

Tak ada uang atau materi yang didapat saat menghadiri Reuni Aksi 212. Justru, kebanyakan dari peserta (tahun lalu) saling berbagi baik makanan, minuman hingga menyodorkan tempat sampah pada peserta aksi agar tak mengotori Monas. Aksi damai ini pun, tak lagi mengenal batasan kelompok atau organisasi yang sedang digeluti. Mereka melebur satu menjadi kaum muslim dalam bendera yang sama. Tak ada sekat-sekat penghalang dalam persatuan diantara mereka.  

Namun, bukan hanya persatuan atas reuni ini. Tetapi, ada spirit kebangkitan dalam berkumpulnya lautan manusia di ibukota. Baik perasaan yang sama terhadap ketidakadilan yang dirasakan dalam masing-masing kehidupan, kekecewaan terhadap kebijakan, ketidakpercayaan masyarakat, harapan baru dalam terbelenggunya aturan yang tak sesuai hingga merasakan lelahnya dalam kebebasan yang kebablasan. Ya, signal kebangkitan sudah menghubungkan untuk bersatu padu menyongsong kehidupan baru. 

Berkumpulnya masyarakat tentu memiliki dan menciptakan kekuatan besar. Mereka sudah disatukan dalam perasaan yang sama. Namun, apakah hal ini hanya bersifat sementara tanpa ada kelanjutannya baik tujuan jangka pendek atau panjang hingga metode dan serangkaian langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut. Jangan sampai kekuatan besar itu justru ditunggangi oleh kepentingan segelintir golongan apalagi oknum yang ingin kekuasaan. Sudah selayaknya arah kebangkitan harus ditentukan dengan peraturan dan pemikiran yang sama.

Celah-celah pengalihan kekuatan bisa setiap saat menghadang. Memecah belah persatuan hingga membuat adu domba dalam masyarakat. Bukan tanpa sebab, situasi dan kondisi perpolitikan pun ikut memanas akibat kekuatan ummat. Akibat dari simpul umat (para tokoh) yang memilih bersama masyarakat. Jangan sampai, hal dimanfaatka sebagai pengalihan isu dan fokus perhatian rakyat karena perpecahan. Sehingga kebangkitan dari keterpurukan bisa gagal dan lenyap seketika. 

Memilih Kebangkitan Hakiki 

Kebangkitan akan keterpurukan sudah pasti menjadi resolusi. Namun, jangan sampai refleksi dipenghujung tahun hanya dilakukan setahun sekali. Sudah sejatinya resolusi dilakukan saat keterpurukan. Pun, dengan kekuatan besar persatu masyarakat dalam Reuni 212 ini, sudah seharusnya menempuh perjalanan menuju kebangkitan. Jangan hanya, dijadikan sebagai seremoni yang terasa satu tahun sekali. 

Kebangkitan hakiki haruslah dimulai dari pemikiran mendasar. Memikirkan bagaimana aturan manusia dan sebab-akibat apa yang akan ditimbulkan. Ini memerlukan solusi (problem solving) bagi masalah-masalah yang sedang menimpa. Ada ide-ide cemerlang dalam memainkan peran penting untuk mengatur kehidupan. Juga langkah-langkah strategis apa saja yang harus ditempuh agar ide cermerlang itu tercapai. 

Pun sama halnya dengan lahirnya Aksi Damai 212 yang menolak kedzaliman atas Islam yang selalu terpojokkan. Maka dari itu, butuh solusi tuntas dalam mengakhiri hal ini. Karena kekuatan politik yang besar mesti tersalurkan dengan benar. Dengan ide-ide cemerlang dan metode yang pasti untuk mencapainya serta mesti serasi dan berkaitan antara idebdan langkah dalam pelaksanaan. Jangan sampai goyah dengan kepentingan pribadi atau golongan yang mampu mengikis ide cermerlang. 

Maka dari itu, kebangkitan mestilah dilakukan secara revolusioner bukan sekadar reformasi yang hanya mengubah jajaran dengan ide yang sama yang bersifat perubahan parsial. Namun, harus perubahan total dan mendasar untuk mencapai kebangkitan. Jadi, kekuatan besar ini sudah semestinya memilih jalan mana yang akan ditempuh untuk mengubah kedzaliman.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak