Oleh F.Dasti
Baru-baru ini masyarakat kembali menyoroti pengadaan bantuan sosial (bansos), setelah Mensos Juliari Batubara tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan korupsi bansos covid-19. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengungkapkan kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) atas kasus dugaan suap bantuan sosial penanganan pandemi Covid-19 berawal dari informasi masyarakat yang diterima tim KPK pada Jumat 4/12/2020 (kompas.com).
Melihat fakta di atas tentu sangat miris. Mengingat derita masyarakat belum mereda akibat dampak covid-19, utamanya terkait kesejahteraan masyarakat. Masih teringat, sebelumnya polemik terkait bansos juga turut memberi kekecewaan pada masyarakat. Hal tersebut diakibatkan karena masalah ketidaksesuaian data sampai Bansos yang belum tepatnya sasaran. Karena itu dugaan kasus korupsi ini berdampak bukan hanya pada kerugian yang dialami negara. Tapi juga berdampak pada kekecewaan masyarakat yang semakin besar. Kepentingan masyarakat harus kembali tergadai.
Sejumlah pihak menilai penyebab munculnya kasus suap tersebut karena pengadaan bansos berupa sembako yang dinilai sangat rentan atas penyimpangan. Diantara penyebabnya adalah adanya kick back atau fee yang diminta, sering kali besaran bantuan tidak sesuai dengan nominal bantuan yang seharusnya diberikan. Jadi, masyarakat miskin dirugikan berlipat-lipat (kompas.com)
Namun benarkah hanya akibat bentuk bansos yang dinilai rentan atas penyimpangan menjadi sebab munculnya kasus korupsi yang terjadi ?
Korupsi di negeri tercinta ini memang bukan kali pertama terjadi. Seolah korupsi menjadi sebuah permasalahan yang begitu sulit diselesaikan. Sebagaimana dilansir kompas.com, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah mengatakan, terdapat 169 kasus korupsi selama periode semester satu tahun 2020. Hal ini ia katakan berdasarkan pemantauan yang dilakukan ICW sejak 1 Januari hingga 30 Juni 2020. Dari 169 kasus korupsi yang disidik oleh penegak hukum, 139 kasus di antaranya merupakan kasus korupsi baru. Kemudian, ada 23 pengembangan kasus serta 23 operasi tangkap tangan (OTT). Tersangka yang ditetapkan ada 372 orang dengan nilai kerugian negara sebesar Rp 18,1 triliun.
Sehingga dari sini, dapat dilihat bahwa bukan hanya bentuk bansos berupa barang yang rawan penyimpangan atau adanya peluang untuk melakukan korupsi. Korupsi yang terjadi sejatinya tidak bisa dipisahkan dari sebuah sistem yang memposisikan manfaat berupa materi sebagai tujuan atas setiap aktifitas manusia. Yaitu sistem kapitalisme yang di topang oleh demokrasi. Sistem ini telah berhasil menjadikan orientasi manusia selalu tentang manfaat dan uang. Disamping itu demokrasi dengan pembiayaan politiknya yang mahal telah menjadi bibit tumbuh suburnya korupsi. Bagaimana tidak, jika seseorang yang ingin duduk di tampuk kepemimpinan atau terjun dalam perpolitikan diharuskan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Akibatnya, peluang hadirnya pihak lain yang turut membiayai tak bisa dielakkan lagi. Baik dari partai ataupun pengusaha. Tak ayal, orientasi kepemimpinan berpeluang besar berubah. Dari yang awalnya pengurusan urusan rakyat menjadi mencari manfaat atau materi. Sehingga selama sistem ini masih dijadikan sistem dalam kehidupan manusia, maka selama itu juga korupsi akan terus ada dan bertambah subur.
Kondisi di atas sangat berbeda dengan penerapan sistem Islam. Sistem Islam menjadikan akidah Islam sebagai landasan kehidupan manusia. Negara yang menerapkan Islam akan membentuk ketakwaan individu dan masyarakat dengan aturan dan pengkondisian yang dilakukan oleh negara. Baik melalui pendidikan sampai media. Selain itu Islam memiliki mekanisme pemilihan pemimpin dengan biaya murah dan dengan kualifikasi yang jelas sesuai syari'at, yang berbeda dengan sistem hari ini. Karena hal tersebut maka muncul sosok-sosok pemimpin yang bukan hanya takut kepada hukuman manusia namun juga kepada Allah. Mereka menyadari betul bahwa amanah pengurusan urusan rakyat akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah. Selain itu juga ada sanksi tegas atas korupsi yang dilakukan para pemimpin atau orang yang memiliki amanah pengurusan urusan rakyat.
Wallahu A'lam Bishawab