Oleh Melitasari
Kurang lebih sembilan bulan sudah pandemi Covid-19 ini tak kunjung teratasi. Berangsur-angsur keberadaannya telah mengubah tatanan kehidupan di negeri ini. Dari mulai merubah sistem pembelajaran menjadi PJJ dan aktifitas bekerja dari rumah (WFH) hingga menimbulkan berbagai permasalahan ekonomi, serta peristiwa yang mengiris hati.
Berbagai kebijakan yang diberlakukan tentunya untuk meminimalisir adanya penyebaran virus lebih luas, namun tanpa penanganan yang tepat keadaan ini telah menimbulkan banyak tekanan dan permasalahan di kalangan masyarakat. Setelah pada bulan Agustus lalu seorang ibu membunuh anaknya gara-gara si anak tak mengerti saat belajar daring, peristiwa ibu bunuh anak kembali terjadi karena himpitan ekonomi.
Seorang ibu berinisial MT (30), tega membunuh tiga anak kandungnya sendiri yang masih balita. Ketiga korban itu diketahui berinisial YL (5), SL (4), dan DL (2). Usai membunuh ketiga anaknya itu pelaku sempat berusaha melakukan upaya bunuh diri dengan menggorok lehernya sendiri dengan parang. Adapun penyebab pembunuhan sadis yang dibarengi dengan percobaan aksi bunuh diri itu karena diduga terhimpit masalah ekonomi.
Pembunuhan tersebut terjadi pada Rabu (9/12/2020). Saat kejadian itu, suami pelaku sedang pergi ke TPS untuk mencoblos di Pilkada Sumut bersama dengan tiga anggota keluarga lainnya. Setibanya pulang ke rumah, suami terkejut setelah mendapati tiga orang anaknya sudah tewas dengan kondisi leher tergorok. Sementara pelaku yang berusaha menyayat lehernya sendiri sempat diselamatkan dan dilarikan ke rumah sakit oleh suaminya. (Kompas.com, 15/12/20).
Adanya kasus penganiayaan serta pembunuhan ibu terhadap anaknya adalah korban dari pemberlakuan sistem yang salah. Sistem yang menjadikan negara sebagai sarana untuk para penguasa dan pengusaha bebas berlaku semaunya. Lebih mengutamakan kepentingan individu daripada mengurusi urusan rakyat. Demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat pun hanya selogan semata. Faktanya negeri ini mulai tampak seperti negara yang korporatokrasi.
Dalam negara yang menganut sistem kapitalis, menjunjung kebebasan individu adalah hal utama, sehingga semua orang bebas dalam menentukan agama, pendapat, dan kepemilikan termasuk bebas memiliki aset negara yang seharusnya tidak boleh dimiliki perorangan. Para penguasa akan senantiasa menggantungkan kekuasaannya kepada para pengusaha.
Hal ini menyebabkan negara yang kaya akan sumber daya tapi minim akan pemasukan, karena penguasa menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta. Sehingga para korporasi yang akan meraup banyak pundi-pundi, sedang rakyat hanya gigit jari dan tak dapat menikmati hasil kekayaan bangsa sendiri.
Negara pun pada akhirnya tidak bisa menjamin kebutuhan dasar setiap rakyat, dan menjamin pemenuhan kebutuhan pendidikannya terlebih di masa pandemi seperti ini. Sehingga untuk membantu keuangan saat ini, negara harus berhutang pada asing dengan jumlah yang sangat besar. Namun jatah yang diterima rakyat hanya sedikit itupun dikorupsi.
Sistem salah ini akan terus memproduksi kerusakan sebab landasannya tidak sejalan dengan fitrah manusia. Terbukti sudah berapa kali pergantian pemimpin namum kesejahteraan rakyat tak pernah terjamin.
Beda halnya dengan sistem demokrasi, dalam Islam negara dan seorang Khalifahnya bertugas untuk mengurusi urusan rakyatnya. Mengelola tatanan negara berdasarkan syariat Islam yang telah ditentukan. Sehingga tidak ada kebebasan mutlak bagi setiap individu untuk bertindak semaunya termasuk tidak ada kebebasan dalam kepemilikan.
Kepemilikan umum tidak akan diserahkan kepada tangan swasta melainkan dikelola oleh pemerintah yang keuntungannya nanti bisa digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakatnya. Selain itu negara memperoleh dana dari kharaz dan jizyah sehingga negara tidak akan kekurangan dana dan kebutuhan dasar serta pendidikan rakyat tetap terpenuhi walau di masa pandemi.
Sehingga dapat dipastikan tak ada ibu yang alami depresi sebab tekanan dan beban kehidupan.
Tags
Opini