Tradisi turun temurun tiap tahunnya adalah mengucapkan hari
raya natal. Islam memang mengajarkan sikap toleransi. Dalam Islam, toleransi
bermakna membiarkan umat lain menjalankan ritual ajakannya, termasuk perayaan
agamanya. Toleransi juga bermakna tidak memaksa umat lain untuk memeluk Islam.
Toleransi dalam Islam itu bukan berarti menerima keyakinan yang bertentangan
dengan Islam. Allah SWT menurunkan firman-Nya, yakni Surat al-Kafirun, hingga
ayat
terakhir.
لَكُمْدِينُكُمْ
وَلِيَ دِينِ
_"Untuk kalian
agama kalian dan untukku agamaku"_ (TQS al-Kafirun [109]: 6).
Islam membolehkan kaum Muslim untuk berjual-beli,
bertransaksi dan bermuamalah dengan non Muslim. Islam juga memerintahkan kita
untuk berbuat baik dan berlaku adil dan fair terhadap mereka (lihat QS
al-Mumtahanah [60]: 8).
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahulLâh di dalam tafsirnya
mengatakan bahwa berbuat baik dan adil di sini berlaku kepada setiap pemeluk
agama. Islam melarang kita berlaku zalim, aniaya dan merampas hak-hak non-Muslim.
Rasul saw. banyak memberikan teladan bagaimana bermuamalah dan memperlakukan
non-Muslim tanpa melakukan toleransi yang salah kaprah dan kebablasan. Namun
demikian, toleransi bukan lantas memberikan ucapan selamat atas hari raya dan
perayaan keagamaan agama lain. Masalah ucapan selamat hari raya agama lain
tidak selayaknya dianggap remeh. Tidak selayaknya masalah itu disepelekan,
misalnya, dengan ungkapan, “ Ucapan Selamat Natal tidak akan mengurangi imanmu .”
Dari sini jelaslah bahwa mengucapkan Selamat Natal dan
selamat hari raya agama lain adalah haram dan dosa. Apalagi jika justru ikut
serta merayakannya. Tentu lebih besar lagi keharaman dan dosanya.
MUI telah mengeluarkan fatwa melarang umat Islam untuk
menghadiri perayaan Natal Bersama. Dalam fatwa yang dikeluarkan Komisi Fatwa
MUI pada 7 Maret 1981, MUI di antaranya menyatakan:
(1) Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya
haram;
(2) Agar umat Islam tidak terjerumus pada syubhat dan
larangan Allah SWT, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.
Dari sini jelas, umat Islam haram terlibat dalam peribadatan
pemeluk agama lain. Umat Islam juga haram merayakan hari raya agama lain,
bagaimanapun bentuknya. Berpartisipasi
dalam perayaan hari raya agama lain juga jelas dilarang
berdasarkan nas al-Quran. Allah SWT berfirman:
وَالَّذِيۡنَلَايَشۡهَدُوۡنَ
الزُّوۡرَۙ وَ اِذَا
مَرُّوۡا بِاللَّغۡوِ مَرُّوۡا كِرَامًا
" Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian
palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan menjaga
kehormatan dirinya "(QS al-Furqan [25]: 72).
Menurut Imam al-Qurthubi, yasyhadûna az-zûra ini adalah
menghadiri serta menyaksikan kebohongan dan kebatilan. Menyebarkan perbuatan
keji ( fakhisyah ) juga mencakup semua bentuk kemaksiatan. Menyemarakkan,
meramaikan dan menyiarkan Perayaan Natal sama saja dengan ikut terlibat dalam
penyebarluasan kekufuran dan kesyirikan yang diharamkan.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, “ _Sebagaimana kaum
musyrik tidak boleh menampakkan syiar-syiar mereka, tidak boleh pula kaum
Muslim menyetujui dan membantu mereka melakukan syiar itu serta hadir bersama
mereka. Demikian menurut kesepakatan ahli ilmu_ .” (Ibnu Qayyim alJauziyyah, Ahkâm
Ahl al-Dzimmah, I/235).
Para ulama dulu juga telah jelas menyatakan haram menghadiri
perayaan hari raya kaum kafir. Imam Baihaqi menyatakan, "Jika kaum Muslim
diharamkan memasuki gereja, apalagi
merayakan hari raya mereka"
Alhasil, kaum Muslim harus tetap memegang teguh Islam dan
syariat-Nya. Jangan sampai terpengaruh dengan propaganda seruan bahkan tipudaya
dari pihak manapun yang sekilas terkesan baik, namun sejatinya menggiring kaum
Muslim untuk menjauhi dan menanggalkan ajaran Islam sedikit demi sedikit.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb