Simpati Terhadap Agama Lain



 Oleh : Cahaya Septi

Tradisi turun temurun tiap tahunnya adalah mengucapkan hari raya natal. Islam memang mengajarkan sikap toleransi. Dalam Islam, toleransi bermakna membiarkan umat lain menjalankan ritual ajakannya, termasuk perayaan agamanya. Toleransi juga bermakna tidak memaksa umat lain untuk memeluk Islam. Toleransi dalam Islam itu bukan berarti menerima keyakinan yang bertentangan dengan Islam. Allah SWT menurunkan firman-Nya, yakni Surat al-Kafirun, hingga ayat

terakhir.

 

لَكُمْدِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

 

 _"Untuk kalian agama kalian dan untukku agamaku"_ (TQS al-Kafirun [109]: 6).

 

Islam membolehkan kaum Muslim untuk berjual-beli, bertransaksi dan bermuamalah dengan non Muslim. Islam juga memerintahkan kita untuk berbuat baik dan berlaku adil dan fair terhadap mereka (lihat QS al-Mumtahanah [60]: 8).

 

Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahulLâh di dalam tafsirnya mengatakan bahwa berbuat baik dan adil di sini berlaku kepada setiap pemeluk agama. Islam melarang kita berlaku zalim, aniaya dan merampas hak-hak non-Muslim. Rasul saw. banyak memberikan teladan bagaimana bermuamalah dan memperlakukan non-Muslim tanpa melakukan toleransi yang salah kaprah dan kebablasan. Namun demikian, toleransi bukan lantas memberikan ucapan selamat atas hari raya dan perayaan keagamaan agama lain. Masalah ucapan selamat hari raya agama lain tidak selayaknya dianggap remeh. Tidak selayaknya masalah itu disepelekan, misalnya, dengan ungkapan, “ Ucapan Selamat Natal tidak akan mengurangi imanmu .”

 

Dari sini jelaslah bahwa mengucapkan Selamat Natal dan selamat hari raya agama lain adalah haram dan dosa. Apalagi jika justru ikut serta merayakannya. Tentu lebih besar lagi keharaman dan dosanya.

 

MUI telah mengeluarkan fatwa melarang umat Islam untuk menghadiri perayaan Natal Bersama. Dalam fatwa yang dikeluarkan Komisi Fatwa MUI pada 7 Maret 1981, MUI di antaranya menyatakan:

(1) Mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram;

(2) Agar umat Islam tidak terjerumus pada syubhat dan larangan Allah SWT, dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.

 

Dari sini jelas, umat Islam haram terlibat dalam peribadatan pemeluk agama lain. Umat Islam juga haram merayakan hari raya agama lain, bagaimanapun bentuknya. Berpartisipasi

dalam perayaan hari raya agama lain juga jelas dilarang berdasarkan nas al-Quran. Allah SWT berfirman:

 

وَالَّذِيۡنَلَايَشۡهَدُوۡنَ الزُّوۡرَۙ وَ اِذَا مَرُّوۡا بِاللَّغۡوِ مَرُّوۡا كِرَامًا

 

" Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan menjaga kehormatan dirinya "(QS al-Furqan [25]: 72).

 

Menurut Imam al-Qurthubi, yasyhadûna az-zûra ini adalah menghadiri serta menyaksikan kebohongan dan kebatilan. Menyebarkan perbuatan keji ( fakhisyah ) juga mencakup semua bentuk kemaksiatan. Menyemarakkan, meramaikan dan menyiarkan Perayaan Natal sama saja dengan ikut terlibat dalam penyebarluasan kekufuran dan kesyirikan yang diharamkan.

 

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mengatakan, “ _Sebagaimana kaum musyrik tidak boleh menampakkan syiar-syiar mereka, tidak boleh pula kaum Muslim menyetujui dan membantu mereka melakukan syiar itu serta hadir bersama mereka. Demikian menurut kesepakatan ahli ilmu_ .” (Ibnu Qayyim alJauziyyah, Ahkâm Ahl al-Dzimmah, I/235).

 

Para ulama dulu juga telah jelas menyatakan haram menghadiri perayaan hari raya kaum kafir. Imam Baihaqi menyatakan, "Jika kaum Muslim diharamkan memasuki gereja, apalagi

merayakan hari raya mereka"

 

Alhasil, kaum Muslim harus tetap memegang teguh Islam dan syariat-Nya. Jangan sampai terpengaruh dengan propaganda seruan bahkan tipudaya dari pihak manapun yang sekilas terkesan baik, namun sejatinya menggiring kaum Muslim untuk menjauhi dan menanggalkan ajaran Islam sedikit demi sedikit.

 

 WalLâh a’lam bi ash-shawâb

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak