Oleh: Ummu Zhafran
(Pegiat Literasi)
Ya, aturan yang dibuat manusia
mustahil sanggup menandingi syariat Sang Pencipta sampai kapan pun. Pesan inilah yang bisa ditangkap pasca menyimak bedah buku virtual bertajuk
How to Destroy America in Three Easy Steps karya Ben Saphiro oleh Ustadz Pedyanto,
founder Klubuku.
Jangan terkecoh dengan judul.
Alih-alih membahas detail cara
menghancurkan Amerika, Ben Saphiro
justru mengirim sinyal seruan
untuk memperkuat AS. Dengan tiga poin yang
menurut Ben jadi kuncinya. Filosofi,
kultur dan sejarah Amerika. Hal ini juga
bisa berlaku pada negara mana Amerika. Maka bila ketiga poin ini lemah, kehancuran
sebuah negara hanya tinggal menunggu waktu.
Menilik filosofi Amerika, terdapat
dua pemahaman yang dominan mewakili.
Konservatif dengan Partai Republik dan Liberal dengan Demokratnya.
Anehnya meski keduanya sama
berakar pada satu hal yaitu sekularisme -kapitalis namun friksi di antara mereka cukup tajam. Di satu sisi paham Konservatif selalu
mencitrakan diri sebagai penjaga hak warga negara. Sedang Liberal memandang negara sebagai
sarana untuk mewujudkan hak setiap warganya.
Dalam buku ini, adanya polarisasi antar keduanya jelas terlihat saat penulis yang mewakili
golongan konservatif menuding kebijakan Obama dari Partai Demokrat telah memicu
lemahnya AS. Pasalnya Obama memasukkan
sektor kesehatan sebagai hak warga yang harus ditangani negara. Jelas bagi konservatif, hal ini menyimpang
dari filosofi Amerika versi mereka. Kesehatan
dipandang sebagai hak manusia yang
melekat sejak lahir. Maka tak butuh
peran negara untuk mewujudkannya.
Ada pun poin kedua dari Ben Shapiro untuk
menguatkan Amerika adalah kultur. Terdiri dari: pertama, toleransi akan hak
orang lain. Kedua, gereja dan keluarga
sebagai penjaga nilai moral bangsa.
Ketiga, bersikukuh membela hak sendiri dan golongan di hadapan tirani. Ini tampak dari dilegalkannya kepemilikan
senjata api bagi tiap warga negara.
Keempat, bertualang dengan berani mengambil risiko dalam bidang ekonomi,
seperti terjun di bursa saham dan pasar bebas.
Menariknya, sebelum menguraikan
tentang kultur Ben Saphiro mengawali dengan sebuah tanya. Bila semua hak warga dipenuhi negara lalu
untuk apa ada kultur?
Dari pertanyaan retoris ini, seketika menguar aroma ideologi
kapitalisme yang menjadi induk dari
konservatif dan liberal. Ideologi yang
melepaskan campur tangan negara dalam mengurusi urusan rakyatnya. Bagai dalam permainan sepakbola, negara
berperan hanya sebagai wasit, tidak lebih.
Amboi, jangan salahkan bila pembaca balik
bertanya pada Ben Shapiro dengan retorika
yang sama.
Jika perangkat aturan negara tak
lebih dari basa-basi wasit, apa guna
ambisi kekuasaan?
Di bawah jutaan pasang mata penduduk
dunia terlihat meski presiden baru Amerika dari Partai Demokrat sudah terpilih
dengan suara mayoritas, namun petahana yang notabene dari Partai Republik masih
kasak-kusuk tak terima. Miris.
Lanjut poin yang terakhir. Resep
menguatkan negara ala Ben Shapiro. Yaitu
melalui sejarah.
Dalam ruang lingkup sejarah, lagi-lagi
ditemukan kesenjangan. Bagi
Konservatif, kental diwarnai oleh kehebatan dan super Power Amerika. Pengaruhnya tampak bahkan sampai pada tokoh
pahlawan super dalam imajinasi mereka. Ingat Captain Amerika, Avenger dan semacamnya? Mereka
tokoh fiktif penyelamat dunia yang selalu dicitrakan baik hati dan suka
menolong.
Beda dengan versi Liberal. Sejarah bangsa justru ditulis dengan tinta
kelam. Di dalamnya termuat episode
perbudakan yang amat panjang juga daftar kejahatan tiada akhir.
Baik pada warganya sendiri juga pada masyarakat dunia.
Sampai di sini, pengutuban antar
Konservatif dan Liberal semakin nyata. Sekularisme
yang menjadi asas keduanya yang jadi penyebab. Menyekat peran agama dari kehidupan. Kalaupun ada, sebatas menyeru pada nilai
moral semata.
Bandingkan dengan ideologi Islam. Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, seorang
mujtahid mutlak jauh hari juga telah merumuskan tiga pilar negara. Akidah
sebagai fondasi, syariah yang terpancar dari akidah dan hikmah.
Bertentangan dengan kapitalisme yang
merupakan produk akal manusia, ketiga
pilar ini bersandar pada apa yang datang
dari Al Khalik Pencipta alam semesta.
Allah swt. yang Maha Tahu akan segenap potensi makhluk-Nya. Bahwa manusia tak pernah lepas dari salah dan khilaf. Bila dibiarkan membuat aturan sendiri
pastinya kacau dan penuh pertentangan satu dengan yang lainnya. Maha Benar Allah dalam firman-Nya,
"Maka apakah mereka tidak
memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (QS
AnNisa: 82)
Alhasil, lazimnya fondasi yang kuat
menghasilkan bangunan kuat pula. Pun dengan
Islam. Ketika diemban dalam naungan Khilafah
yang menerapkan syariah kaffah, akidah yang jadi fondasi mampu menjadikan
negara tegak kokoh berabad lamanya.
Mulai masa khulafaurrasyidin di Makkah hingga era Utsmaniyah di Turki. Bukan tak mungkin akan tegak kembali dengan
seizin Allah.
Sebaliknya dengan kapitalisme,
tampak gagah perkasa dari luar namun sejatinya keropos digerogoti perpecahan di
antara mereka sendiri. Tak menutup kemungkinan
Ben Shapiro malah membuktikan judulnya benar, to destroy America is easy.