Sekolah Tatap Muka, Tanggung Jawab Siapa?



Oleh: Niswa
(Aktivis Dakwah)


Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mengizinkan pemerintah daerah untuk memutuskan pembukaan sekolah atau kegiatan belajar tatap muka di sekolah di seluruh zona risiko virus corona mulai Januari 2021.

"Perbedaan besar di Surat Keputusan Bersama (SKB) empat menteri sebelumnya, peta zonasi risiko tidak lagi menentukan pemberian izin pembelajaran tatap muka. Tapi Pemda menentukan sehingga bisa memilih daerah-daerah dengan cara yang lebih detail," ungkap Nadiem dalam konferensi pers daring dikutip dari akun Youtube Kemendikbud RI, Jumat (20/10).

"Kebijakan ini berlaku mulai semester genap tahun ajaran 2020/2021. Jadi bulan Januari 2021. Jadi daerah dan sekolah sampai sekarang kalau siap tatap muka ingin tatap muka, segera tingkatkan kesiapan untuk laksanakan ini," lanjut dia (cnnindonesia.com, 20/11/2020).

Menanggapi keputusan tersebut Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menyatakan, Komisi X DPR mendukung rencana tersebut dengan protokol Kesehatan ketat. Menurutnya,  pembukaan sekolah tatap muka memang menjadi kebutuhan, terutama di daerah-daerah. Hal ini terjadi karena pola pembelajaran jarak jauh (PJJ) tidak bisa berjalan efektif karena minimnya sarana prasarana pendukung, seperti tidak adanya gawai dari siswa dan akses internet yang tidak merata (liputan6.com, 20/11/2020).

Masalah pendidikan yang tidak pernah usai, baik sebelum pandemi maupun di tengah pandemi menunjukkan buruknya sistem pendidikan di Indonesia.  Pemberlakuan PJJ untuk mendukung pemerintah dalam menangani masalah wabah Covid-19 dari sektor kesehatan dengan physical distancing nyatanya tidak juga dapat memenuhi hak pendidikan anak di negeri ini.  Sementara, pembukaan sekolah tanpa perbaikan fasilitas kesehatan juga membuat para orangtua khawatir terhadap resiko penularan virus covid-19.  Dilema yang dirasakan para orangtua, guru, dan siswa ini mengkonfirmasi juga ketidakmampuan rezim sistem kapitalis dalam memberikan solusi tuntas dan menyeluruh dalam mengatasi masalah pandemi.

Kebijakan rezim sekuler yang bersifat sektoral dan tambal sulam, mengakibatkan tiap kebijakan yang dibuat saling berbenturan dari satu aspek dengan aspek yang lainnya.  Dalam hal ini jelas terlihat, pada kondisi di Indonesia dengan positivity rate sebesar 10.41% per 17 November 2020, yaitu dua kali lebih besar dari standar yang ditetapkan WHO, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan malah mengeluarkan kebijakan untuk membolehkan sekolah tatap muka. 

Epidemiolog dari Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman, menilai kebijakan pemerintah yang membuka sekolah pada Januari tahun depan tidak realistis. Jika berpatokan pada saran Organisasi Kesehatan Dunia, WHO tentang pelonggaran kegiatan di suatu negara bisa dilakukan jika posivity rate di bawah 5%, maka ia menyarankan pemerintah agar membatalkan keputusan tersebut. Sebab, besar kemungkinan terjadi klaster penularan Covid-19 (bbc.com, 23/11/2020)

Dalam penanganan wabah, negeri ini telah menjadikan Amerika Serikat (AS) sebagai acuan untuk menangani wabah. Namun AS dengan sistem kapitalis yang diembannya juga telah gagal mengintervensi pemutusan rantai penularan spesifik secara global.  Faktanya, AS masih saja masuk dalam daftar Negara dengan jumlah kasus terbanyak di dunia. Dimana peningkatan infeksi pada anak-anak meningkat 100% dalam satu bulan, setelah diberlakukannya kebijakan pembukaan sekolah pada bulan agustus dan September dengan kondisi positivity rate diatas 10%

Seandainya sejak awal pemerintah serius untuk memisahkan antara masyarakat yang sehat dan masyarakat yang sakit, maka peta penyebaran wabah akan tergambar dengan jelas dan karantina wilayah akan dapat berjalan dengan efektif untuk masayarakat yang berada di wilayah yang terkena wabah.  Sedangkan masyarakat yang sehat dan berada dalam wilayah yang tidak terkena wabah dapat menjalan aktivitasnya seperti biasa termasuk dalam hal pendidikan.

Kebijakan tersebut sudah terbukti berhasil ketika Amr bin Ash menjadi pemimpin Negeri Syams dimana saat itu terjadi wabah yang menyebabkan sekitar 20 ribu orang penduduknya meninggal.  Beliau mengeluarkan kebijakan social distancing dengan meminta penduduknya berpencar menempati gunung-gunung dan menjaga jarak. Penduduk Syam pun mematuhinya dan mereka berpencar dan menempati gunung-gunung. Wabah pun berhenti layaknya api yang padam karena tidak bisa lagi menemukan bahan yang akan dibakar.

Namun hal tersebut tidak terjadi pada sistem kapitalis hari ini. Sistem yang berorientasi pada materi, mengakibatkan lahirnya kebijakan yang mengedepankan nilai ekonomi daripada menekan tingkat resiko penularan dan keselamatan nyawa rakyat.  Alih-alih melakukan perbaikan fasilitas dan pelayanan kesehatan untuk menyelesaikan pandemi, pemerintah malah mengambil kebijakan PSBB sebagai kata lain dari New Normal  dengan alasan perbaikan ekonomi. Hal tersebut membuat kehidupan berjalan seolah-olah keadaan sudah kembali normal. Hasilnya jumlah infeksi penularan semakin  tidak terbendung meski ada instruksi untuk memperhatikan protokol kesehatan.

Komersialisasi pelayanan kesehatan untuk melakukan tes virus corona juga menjadi sumber masalah  dalam memutus rantai penularan. Pemerintah mengalami banyak kesulitan untuk melakukan 3T (Tracing, Testing, Treatment).  Inilah wajah rezim kapitalis  yang tidak berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masyarakat dari seluruh aspek termasuk dalam hal keselamatan nyawa rakyat. 

Berbeda dengan Islam, tujuan dari syariat Islam adalah juga menjaga nyawa manusia sesuai dengan hadist rasulullah saw:

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
“Sungguh lenyapnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang Muslim.” (HR an-Nasai, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).

Jika terjadi wabah, khalifah akan memisahkan antara orang yang sakit dengan orang yang sehat.  Hal ini dilakukan agar wabah tidak menyebar luas ke daerah-daerah lain.  Karenanya kecepatan dalam melakukan 3T menjadi kunci untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang peta penyebaran wabah.  

Wilayah yang menjadi pusat wabah segera diisolasi,  dan dijamin segala kebutuhan masyarakatnya.  Sarana dan prasarana untuk menunjang aktivitas diberbagai sektor akan disediakan secara gratis untuk seluruh  lapisan masyarakat, mulai dari kebutuhan pokok, kesehatan, juga pendidikannya.  Sementara di wilayah yang tidak terkena wabah, dapat menjalankan aktivitasnya seperti biasa dan tetap produktif di berbagai sektor, termasuk sektor ekonomi dan pendidikan tanpa khawatir muculnya kluster penularan.   

Aktivitas dan pemenuhan kebutuhan mayarakat di tengah pandemi memang membutuhkan tenaga dan biaya yang lebih banyak.  Karenanya dibutuhkan penerapan syariah Islam secara kaffah dari berbagai sektor, mulai dari perekonomian, kesehatan, ekonomi, hukum dan politik agar melahirkan kebijakan yang memberikan solusi secara menyeluruh untuk menyelesaikan pandemi. Dan Khilafah adalah satu-satunya metode yang dapat menerapkan semua itu.

Maka dari itu, penerapan syariah Islam secara kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah menjadi kunci dari jawaban untuk mengatasi dilema pendidikan di tengah pandemi saat ini.  Semoga hal ini dapat membuka mata dan hati kita untuk ikut berjuang menerapkan syariah Islam secara kaffah agar dapat mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin. 





















Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak