Oleh : Desi Anggraini
(Pendidik Palembang)
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mengizinkan pemerintah daerah untuk memutuskan pembukaan sekolah atau kegiatan belajar tatap muka di sekolah di seluruh zona risiko virus corona mulai Januari 2021.
"Kebijakan ini berlaku mulai semester genap tahun ajaran 2020/2021. Jadi bulan Januari 2021. Jadi daerah dan sekolah sampai sekarang kalau siap tatap muka ingin tatap muka, segera tingkatkan kesiapan untuk laksanakan ini," lanjut dia.
Nadiem mengatakan keputusan pembukaan sekolah akan diberikan kepada tiga pihak, yakni pemerintah daerah, kantor wilayah (kanwil) dan orang tua melalui komite sekolah.Ia pun menegaskan, orang tua masing-masing siswa dibebaskan untuk menentukan apakah anaknya diperbolehkan ikut masuk sekolah atau tidak. Sekalipun, sekolah dan daerah tertentu telah memutuskan untuk membuka kembali kegiatan belajar tatap muka. (CNNIndonesia, 20/11/2020 )
Pakar epidemiologi dr. Dicky Budiman, M.Sc.P.H., Ph.D. (Cand.) Global Health Security pernah menyarankan untuk tidak membuka sekolah hingga situasi benar-benar baik. Ia mengatakan sekolah baru boleh dibuka jika situasi pandemi benar-benar bisa terkendali.
Saat ini, apakah situasi pandemi sudah benar-benar terkendali? Sekali longgar, masyarakat ambyar. Protokol kesehatan tidak diperhatikan. Sekali lengah dari pengawasan, masyarakat melanggar. Ini mengindikasikan tingkat kesadaran masyarakat dan kepatuhan terhadap protokol kesehatan masih rendah. Ini masyarakat umum, bagaimana dengan anak-anak peserta didik?
Pertanyaan besar untuk Mendikbud Nadiem, siapa yang bertanggung jawab atas semua hal itu? Pemerintah pusat-dalam hal ini negara atau pemerintah daerah?
Sebelum lebih jauh melihat kesiapan pembelajaran tatap muka, langkah pertama yang harus dipastikan adalah kedisiplinan dan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan. Sejauh ini masih banyak kasus pelanggaran protokol kesehatan yang terjadi di tengah masyarakat.
Jangankan sekolah, di tempat publik, masyarakat masih terkesan abai dengan protokol kesehatan yang paling dasar, yakni penerapan 3M (Memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak). Beberapa wilayah bahkan harus memberi sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan. Mereka hanya patuh saat ada razia. Kesadaran menjaga konsistensi disiplin 3M masih rendah.
Negara mestinya berpikir mendalam tentang strategi dan kebijakan yang diambil agar semua pihak, baik kepala daerah, pemangku kebijakan pendidikan, guru, siswa, dan orang tua merasakan kenyamanan dan keamanan.
Sayangnya, paradigma sistem kapitalisme yang egois menjadikan pejabat mau enaknya, tapi tidak mau bersusah-susah mengurusi rakyatnya.
Pandemi tidak akan berlarut-larut akibat kebijakan yang karut marut. Negara bersistem Islam tidak akan membiarkan tiap daerah mengalami kesulitan selama belajar daring. Fasilitas pendidikan akan diberikan secara merata ke semua daerah.
Langkah Sistematis Khilafah dalam Mengatasi Sekolah di Masa Pandemi
Pertama, selesaikan wabahnya, baru buka sekolahnya. Negara Khilafah akan melakukan pemetaan terhadap kasus positif yang tersebar di setiap daerah. Tujuannya, untuk memudahkan pemisahan yang sakit dengan yang sehat.
Negara juga akan melakukan testing secara masif ke seluruh elemen masyarakat agar diketahui secara jelas status individu tersebut bebas virus atau terinfeksi virus. Jika klasifikasi ini dilakukan, maka mudah bagi negara memetakan mana daerah yang bisa sekolah tatap muka dan mana yang masih butuh belajar di rumah.
Kedua, melakukan edukasi melalui kesadaran pemahaman, yaitu edukasi spiritual, emotional, dan intelektual. Rakyat harus memahami bahwa pandemi bagian dari ujian Allah. Mereka juga dibekali pengetahuan terkait pandemi Covid-19.
Ketiga, memfasilitasi dan memenuhi kebutuhan rakyat. Tak dimungkiri, pandemi Covid-19 memukul perekonomian masyarakat. Oleh karena itu, negara harus memberi insentif yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing keluarga agar perekonomian tidak lesu.
Selain itu, negara juga harus menyediakan kebutuhan guru dan peserta didik dalam mendukung belajar daring. Seperti fasilitas internet, kuota, dan sarana penunjang lainnya yang mendukung pembelajaran jarak jauh.
Keempat, paradigma dan tujuan pendidikan negara khilafah berlandaskan Islam. Dengan asas ini, arah dan tujuan pendidikan jelas berbeda jauh dari asas pendidikan sekuler. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk manusia saleh yang cerdas iptek serta berkarakter mulia.
Begitu pula dengan kurikulum yang disusun. Kurikulum yang dibuat haruslah merujuk pada tujuan sahih tersebut. Negara harus menyusun kurikulum yang lengkap dan sesuai jenjang usia.
Bobot materi tsaqafah Islam dan ilmu terapan harus seimbang. Dengan begitu, suasana kebatinan siswa dan guru akan terjaga. Sekolah daring tidak akan membuat guru dan siswa pening. Sebab, asas pendidikannya adalah akidah Islam.
Kelima, yang tak kalah penting dari semua itu adalah dukungan negara terkait anggaran pendidikan dan kesehatan. Negara harus memastikan setiap hak individu terjamin dalam mendapat layanan pendidikan di setiap kegiatan belajarnya. Apalagi di masa pandemi, biaya dan tenaga yang dikeluarkan akan jauh lebih besar. Semua anggaran dibiayai oleh Baitul maal.
Demikianlah negara khilafah menjalankan fungsinya sebagai raain (pengurus rakyat). Pendidikan di masa pandemi membutuhkan keseriusan dan perhatian besar dari negara. Sebab, setiap warga negara berhak mendapat jaminan pendidikan dan kesehatan yang memadai dan tercukupi. Semua prinsip tersebut terlaksana jika negara menerapkan syariat Islam secara kafah.
Wallahu a'lam bishawab