RUU Minol, Mampukah Wujudkan Negeri Bebas Alkohol?




Oleh: Ummu Khansa (Muslimah Bangka Belitung)

Bagai angin segar, RUU Minol (Larangan Minuman Beralkohol) seolah begitu menyejukkan bagi masyarakat yang resah dengan penjualannya yang kian bebas. Pasalnya, usulan RUU Minol ini kembali dibahas oleh DPR. Tentu saja hal ini memberikan harapan untuk Indonesia bebas alkohol.

Dalam draft RUU ini dimuat aturan melarang setiap orang memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, dan menjual minuman beralkohol di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). RUU itu juga mengatur sanksi pidana bagi mereka yang mengkonsumsi minuman keras.

Namun, pro kontra pun mengemuka. Sebagai pihak pengusul dengan anggota terbanyak, PPP merasa punya alasan kuat untuk membuka kembali pembahasan RUU Minol. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal PPP, Achmad Baidowi alias Awiek, RUU ini sangat urgent untuk menjadi undang-undang. Bukan hanya demi umat Islam, tapi juga generasi penerus bangsa. Ia juga menegaskan setiap hari ada saja korban berjatuhan akibat alkohol. Besarnya keuntungan minol dari sektor pariwisata tidak sebanding dari generasi muda yang rusak, begitu juga dari sisi ekonomi. (liputan6.com, 19/11/2020)

Sebaliknya, anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Fraksi Golkar, Firman Soebagyo justru menegaskan RUU Minol diskriminatif terhadap kaum minoritas di Indonesia. Ia menyebut minol di Indonesia juga digunakan untuk ritual keagamaan dan acara adat. Terkait anggapan minol membahayakan nyawa dan menimbulkan banyak korban jiwa, Firman menilai hal itu tidak akan terjadi apabila tidak mengkonsumsi secara berlebihan. 

Kalangan pengusaha juga angkat bicara. Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) DKI Jakarta, Sarman Simanjorang menilai RUU Minol akan berdampak negatif pada pengendalian minol di lapangan yang dianggap sudah cukup ketat saat ini. Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol dan implementasi di lapangan juga dinilai sudah berjalan efektif. Jika dalam RUU ini kesannya melarang, ia khawatir akan terjadi praktik masuknya minol selundupan yang tidak membayar pajak, maraknya minol palsu yang tidak sesuai standar pangan serta maraknya minol oplosan yang membahayakan konsumen. (kompas.com, 15/11/2020)

RUU ini memang memuat beberapa pasal larangan, tetapi juga memuat pengecualian tentang konsumsi minuman beralkohol yang diperbolehkan untuk kepentingan terbatas, seperti kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan. Ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Namun, tak heran dalam sistem demokrasi perdebatan seperti ini wajar terjadi. Kepentingan dan keuntungan menjadi dasar setiap pengambilan keputusan. Meskipun membahayakan, tidak jadi persoalan. Standar perbuatan adalah untung dan rugi, bukanlah halal dan haram. Demokrasi yang lahir dari rahim kapitalisme ini adalah alat untuk mengabulkan kemauan para penguasa. Walhasil, ketika ada hal yang menguntungkan sekalipun haram, akan tetap dipertahankan.

Nyatanya, di lapangan angka kriminalitas dan masalah sosial akibat minuman beralkohol ini begitu tinggi. Ditambah tidak adanya sanksi yang tegas dan menimbulkan efek jera, mengakibatkan peminum miras pun semakin merajalela. Terbukti, pelarangan minol di negeri ini akan sulit diwujudkan. Setiap kebijakan selalu menjadi polemik. Berharap kemaslahatan umat jadi perhatian hanyalah angan-angan. Inilah gambaran nyata bobroknya sebuah aturan yang dibuat oleh manusia.

Lain halnya ketika aturan itu datangnya dari Sang Pencipta. Segala problematika dapat dituntaskan dengan syari'atnya. Itulah Islam, agama yang sempurna dan paripurna. Segalanya diatur sedemikian rupa. Bukan dibuat berdasarkan akal manusia yang lemah dan terbatas. Standar perbuatan adalah halal dan haram. Keuntungan (materi) bukanlah menjadi tujuan. Termasuk perkara minuman beralkohol (khamr).

Sebagaimana firman Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman. Sungguh meminum khamr, berjudi, (berkoban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah termasuk perbuatan syetan. Karena itu, jauhilah semua itu agar kalian beruntung". (QS. Al-Maidah [5]: 90)

Dalam ayat tersebut jelas dikatakan bahwa meminum khamr adalah perbuatan syetan dan kita diperintahkan untuk menjauhinya. Bahkan Rasulullah mengatakan bahwa khamr adalah haram. Rasulullah bersabda: “Setiap hal yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr itu adalah haram.” (HR. Muslim)

Islam menjaga umatnya dengan melarang dan mengharamkan khamr karena dapat mengacaukan bahkan merusak akal manusia. Dampak buruknya pun sangat berbahaya. Ketika hukum-hukum Islam diterapkan, akan mampu memberikan rasa aman dari segala hal yang membahayakan.

Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda: "Rasulullah SAW telah melaknat dalam hal khamr sepuluh pihak: pemerasnya, yang minta diperaskan, peminumnya, pembawanya, yang minta dibawakan, penuangnya, penjualnya, pemakan harganya, pembelinya, dan yang minta dibelikan.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Islam akan memberikan sanksi yang tegas tidak hanya bagi peminum, bahkan produsen dan pengedarnya. Islam memandang bahwa ke-sepuluh pihak tadi layak diberi sanksi sesuai ketentuan syari'at. Peminum khamr, sedikit atau banyak jika terbukti di pengadilan akan dihukum cambuk sebanyak 40 atau 80 kali. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits: "Nabi Muhammad SAW pernah mencambuk peminum khamr dengan pelepah kurma dan terompah sebanyak empat puluh kali." (HR. Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi dan Abu Dawud)

Sedangkan bagi produsen dan pengedarnya akan dijatuhi hukuman yang lebih berat dari peminumnya, sanksi ta'zir yakni hukuman yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada Khalifah atau Qadhi, sesuai ketentuan syari'at. Keberadaan mereka lebih berbahaya bagi masyarakat. Tentu saja, sanksi yang diberikan ini akan menimbulkan efek jera bagi para pelakunya.

Dengan adanya peraturan serta sanksi yang tegas, tentu permasalahan minuman beralkohol ini dapat dituntaskan. Namun, semua itu tidak akan kita dapatkan ketika  aturan yang dipakai adalah aturan buatan manusia. Hanya aturan yang berasal dari Allah SWT saja, dalam sebuah sistem pemerintahan Islam yang dapat menerapkannya secara kaffah. Untuk itu, sudah seharusnya kita berupaya agar sistem ini dapat ditegakkan, karena akan memberikan keamanan, kesejahteraan, dan rahmat bagi semesta alam.

Wallahu a'lam bish shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak