Oleh: Ummu Zakrina
Rohingnya berasal dari kata Rohai atau Roshangee yang berarti penduduk muslim Rohang atau Roshang. Saat ini wilayah tersebut menjadi bagian dari negara bagian Rakhine wilayah Myanmar Barat yang berbatasan langsung dengan Bangladesh. Derita kaum muslim Rohingya belum berakhir. Walaupun PBB telah menetapkan muslim Rohingya sebagai kaum yang paling teraniaya di dunia, nyatanya PBB tak mengambil tindakan yang tegas pada pemerintahan Myanmar. Mengapa warga Rohingnya dibenci? Karena Pemerintah Myanmar khawatir terhadap agama yang berbeda dari mayoritas masyarakat Myanmar yang beragama Budha.
Pemerintah Bangladesh telah mulai mengirim sebagian pengungsi Rohingya ke Pulau Bhasan Char, meskipun ada seruan dari kelompok hak asasi manusia agar proses tersebut dihentikan.Tujuh kapal angkatan laut Bangladesh yang membawa lebih dari 1.600 pengungsi Rohingya dari kamp pengungsi Cox's Bazar berangkat ke Bhasan Char pada Jumat (4/12) pagi. Dua perahu lainnya membawa makanan dan perbekalan untuk para pengungsi yang pindah ke pulau itu. Seorang pejabat pemerintah yang tidak bersedia disebutkan namanya mengatakan kepada VOA bahwa beberapa ribu pengungsi sedang diproses untuk dipindahkan ke Bhasan Char dalam beberapa hari mendatang.
Menteri Luar Negeri Bangladesh A.K. Abdul Momen, Kamis (3/12), mengatakan bahwa tidak ada pengungsi yang dipaksa pindah ke Bhasan Char. Pejabat pemerintah mengatakan memindahkan pengungsi Rohingya ke Bhasan Char akan mengurangi kepadatan di kamp-kamp, yang didirikan untuk menampung ratusan ribu Rohingya, minoritas Muslim yang melarikan diri dari kekerasan di negara tetangga Myanmar pada tahun 2017.Beberapa kelompok hak asasi telah meminta Bangladesh agar menghentikan proses relokasi para pengungsi ke Bhasan Char dan mengizinkan tim ahli independen untuk mengevaluasi pulau itu apakah sesuai untuk menampung para pengungsi.
Kelompok-kelompok HAM telah lama berpendapat bahwa pulau itu, yang terbentuk secara alami oleh lumpur Himalaya di Teluk Benggala, sekitar 60 kilometer dari daratan, rentan terhadap bencana alam dan tidak cocok untuk permukiman manusia. Human Rights Watch, Amnesty International dan Fortify Rights sangat menentang relokasi para pengungsi ke pulau itu. (Oke News International, 5/12/2020)
Sangat disayangkan sikap para pemimpin negeri muslim terhadap para pengungsi Rohingya, bukannya memberikan perlindungan dan memenuhi kebutuhan asasinya, layaknya saudara seiman. Justru yang terjadi sebaliknya, para pengungsi itu dianggap sebagai beban negara yang harus dibuang.Termasuk apa yang dilakukan pemerintah Bangladesh yang "membuang" ribuan kaum Rohingya ke sebuah pulau yang tak layak huni. Perlakuan tak manusiawi kepada pengungsi Rohingya bukan hanya dilakukan Bangladesh. Indonesia dan Malaysia bahkan menolak keberadaan pengungsi Rohingya.
Begitu pun apa yang dilakukan UNHCR (The United Nations High Commissioner for Refugees) dan HRW (Human Right Watch), mereka hanya mampu menjadi lembaga penghasil konvensi yang tak memberikan solusi tuntas terhadap permasalahan Rohingya. Bagaikan pungguk merindukan bulan jika berharap pada UNHCR dan HRW karena tidak bisa menjadi gantungan harapan dan solusi.
Sebenarnya apa yang menyebabkan negeri-negeri muslim tak mau menolong saudara seakidahnya? Bagaimana solusi tuntas dalam menyelesaikan permasalahan muslim Rohingya?
Paham nasionalisme yang telah memecah belah umat muslim menjadi potongan-potongan puzzle berantakan. Nasionalisme, yaitu sebuah paham yang menurut Hans Kohn dalam nasionalism: Its Meaning and History adalah sikap pandang individu bahwa kesetiaan tertinggi harus diserahkan pada negara bangsa. Paham inilah yang menghilangkan ukhuwah Islamiyah. Atas nama nasionalisme, negeri-negeri muslim seolah menutup mata atas terjadinya tragedi Rohingya. Mereka lebih mementingkan urusan dalam negerinya dibandingkan dengan nasib saudara muslimnya. Hingga mengatakan pengungsi Rohingya bukanlah urusan mereka karena bukan bagian dari bangsanya.
Padahal, jika dianalisis secara lebih mendalam, paham nasionalisme yang diterapkan negara bernama nation state (negara bangsa) adalah konsep gagal yang memiliki banyak kelemahan. Yan S. Prasetiadi dalam Islam Rahmatan Lilalamin mengungkap beberapa kelemahan tersebut:
Pertama, nasionalisme merupakan ide yang paling lemah secara intelektual. Artinya, nasionalisme lebih didasarkan pada aspek emosi dan sentimen, bukan berdasarkan aspek intelektual, rasional. (Ian Adams dalam Political Ideology Today, 1993).
Kedua, pengertian nation (bangsa) itu tidak jelas. Konsep “bangsa” sebenarnya lebih sebagai mitos atau imajinasi, bukan sebagai realitas faktual. Ini bisa dibuktikan dengan sebuah pertanyaan, apa yang membentuk suatu komunitas menjadi suatu bangsa? Jawabannya tidak jelas.
Ketiga, nasionalisme adalah ide kosong yang tidak menjawab sejumlah permasalahan. Bagaimana masyarakat diatur, nyatanya nasionalisme akan menggandeng liberalisme, konservatisme, bahkan marxisme. Sehingga Ian Adam menyebut “ide nasionalisme telah gagal menjawab persoalan yang biasanya diharapkan dari sebuah ideologi”.
Keempat, nasionalisme memecah belah umat. Karena secara praktik, menurut Shiddiq (2014), nation state bagi umat Islam ibarat racun yang melumpuhkan dan mematikan. Pasalnya, sekitar 50 negeri muslim terpecah dan menjadi lemah. Dampaknya, hegemoni barat di bawh AS terus berlangsung tanpa ada perlawanan berarti dari umat islam.
Rohingnya Butuh Dekapan Mesra Khilafah
Konsep nation state berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Islam. Nation state ikatan pemersatunya adalah kebangsaan yang tak jelas definisinya. Sedangkan dalam Islam, ikatan pemersatunya adalah Akidah Islam. Kesatuan umat hanya bisa terealisasi dengan adanya satu institusi yang bernama Khilafah.
Langkah praktis Khilafah dalam menyelesaikan masalah Rohingya dijelaskan Fika Komara dalam Muslimah Timur Jauh, yaitu:
Pertama, penyatuan negeri-negeri muslim dan penghapusan garis perbatasan. Islam membangun kesatuan fisik di antara umat Islam, sebagaimana tertuang dalam Al Qur’an Surah Al Anbiya ayat 92 yang artinya “Sungguh, (agama tauhid) inilah agama kamu, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku”. Berdasarkan ayat tersebut maka, Khilafah akan menyatukan wilayah Rakhine Myanmar, dengan tanah Bangladesh, Pakistan, kepulauan Indonesia, dengan seluruh tanah kaum muslim di dunia. Perbatasan negara Khilafah akan selalu terbuka untuk setiap muslim yang tertindas, tak peduli dari mana mereka berasal.
Kedua, digunakannya seluruh perangkat negara, termasuk memobilisasi militer untuk membela kaum muslim yang tertindas. Hal demikian akan menjadi tekanan politik yang hebat, termasuk memutus hubungan politik dan ekonomi. Serta mengeluarkan ancaman aksi-aksi militer terhadap negara mana pun yang terlibat menindas atau membunuh muslim.
Ketiga, menerapkan paradigma kewarganegaraan Islam dalam masyarakat. Menurut Islam, kewarganegaraan seseorang dilihat berdasarkan tempat yang dipilihnya untuk tinggal dan menetap. Seseorang yang menetap di dalam wilayah khilafah dan mentaati seluruh aturannya, tak peduli etnis atau agama mana pun. Maka mereka adalah warga negara yang berhak menerima seluruh haknya sebagai jaminan. Maka dari itu, sudah sangat jelas perintah Islam bagi penguasa muslim Bangladesh, Indonesia, dan Malaysia untuk segera melakukan tindakan pertolongan terhadap pengungsi Rohingya.
Namun, bergemingnya penguasa negeri-negeri kaum muslim terhadap nasib kaum muslim Rohingya hari ini adalah akibat bercokolnya konsep kebangsaan dan ditinggalkannya konsep Kekhilafahan. Oleh karena itu, satu-satunya solusi atas permasalahan kaum muslim Rohingya di Myanmar dan juga nasib muslim lainnya, seperti kaum muslim Gaza di Palestina, kaum muslim Uighur di Cina, kaum muslim Pattani di Thailan, kaum muslim Moro di Filipina Selatan, adalah tegaknya institusi pemersatu yakni Daulah Khilafah Islamiyah yang akan menjadi pelindung umat dari segala macam mara bahaya dan menjadi satu institusi yang akan mewujudkan kembali peradaban Islam yang mulia. Wallahu a’lam bish shawab.