Politisasi Agama Menjelang Pemilu




Oleh: Risma Aprilia 
(Aktivis Muslimah Majalengka)

Bulan Desember sudah dipastikan akan diadakan pemilihan umum Kepala Daerah serentak di 270 daerah dengan rincian 9 Provinsi (Gubernur), 37 Kota (Walikota) dan 224 Kabupaten (Bupati) tepatnya tanggal 9 Desember 2020. Dimana masa kampanye sudah dimulai dari tanggal 26 September hingga 5 Desember, berdasarkan Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2020.

Berbagai cara dilakukan para calon peserta Pilkada demi mendapatkan simpati masyarakat agar memilihnya saat Pemilu nanti. Bahkan tak jarang mereka melakukan politisasi agama dan uang dalam praktek kampanyenya. Seperti berkunjung ke pesantren-pesantren dengan dalih silaturahmi padahal ada maksud tersembunyi. Sudah tidak asing kita jumpai hal-hal seperti itu. Mendadak religius dan bersikap halus. Padahal itu hanyalah salah satu dari akal bulus. Tak jarang masyarakat awam tertipu dengan aksinya tersebut.

Ketua Umum Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar Cabang Indonesia TGB Muhammad Zainul Majdi mengingatkan bahwa politisasi agama semata untuk mendapatkan kekuasaan atau memenangkan kontestasi politik akan berdampak buruk dan berbahaya.

"Menurut saya, politisasi agama bentuk paling buruk dalam hubungan agama dan politik. Sekelompok kekuatan politik menggunakan sentimen keagamaan untuk menarik simpati kemudian memenangkan kelompoknya. Menggunakan sentimen agama dengan membuat ketakutan pada khalayak ramai. Menggunakan simbol agama untuk mendapatkan simpati," katanya, saat webinar Moya Institute bertema "Gaduh Politisasi Agama", Kamis. (www.antaranews.com,  19/11/2020).

Politisasi agama menjelang pemilu adalah bagian tak bisa dihindari dalam Demokrasi. Karena kontestan berebut suara rakyat demi kursi, meski dengan manipulasi atau politik kebohongan. Semua sah selama bisa berkelit dari batasan regulasi. Contoh presiden terpilih AS biden menggunakan hadits untuk memikat pemilih muslim.

Memang seperti itulah karakter dari sistem Demokrasi Kapitalis dengan asasnya Sekularis, yakni pemisahan agama dari kehidupan, termasuk dalam politik, aturan agama tidak boleh hadir dalam kepemimpinannya. Agama hanya dijadikan alat untuk meraih kekuasaan. Namun ketika sudah berkuasa agama dibuang jauh-jauh, dilarang ikut campur.

Padahal Islam sangat melarang keras tindakan politisasi agama. Karena sama halnya dengan memandang remeh agama, menganggap rendah agama, dan lebih mementingkan hawa nafsu dibandingkan agamanya. 

Berbeda dengan sistem Islam dalam memilih seorang Pemimpin atau Khalifah. Mekanismenya ialah orang-orang yang ingin ikut serta dalam pemilihan Khalifah menyampaikan permohonan kepada Majelis Umat. Para anggota Majelis Umat menimbang seluruh calon yang mengajukan permohonan, serta menilai apakah mereka dapat memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Islam. Dalam perspektif Islam, seorang Khalifah harus memenuhi syarat-syarat, yakni Muslim, laki-laki, merdeka (bukan seorang budak), berakal, baligh (dewasa), adil, mampu mengemban tugas sebagai Khalifah.

Islam juga merekomendasikan beberapa syarat tambahan, misalnya calon Khalifah sebaiknya adalah seorang Mujtahid, politisi yang berpengalaman, pemberani, bertakwa, dan sebagainya.

Setelah Majelis Umat menilai dan mempertimbangkan siapa saja calon yang akan berkompetisi dalam pemilihan Khalifah dengan kemampuan dan prestasi yang pernah dicapai, selanjutnya akan segera dipublikasikan sehingga masyarakat bisa mengetahui nama-nama calon Khalifah. 

Jadi setelah dipublikasikan nama-nama para calon. Masyarakat bisa mendatangi tempat pemungutan suara terdekat, yang akan disediakan di setiap daerah. Di sini masyarakat dapat memberikan suara kepada calon Khalifah yang menurut penilaiannya pantas untuk menduduki jabatan tersebut.

Seorang Khalifah yang terpilih sudah memahami makna politik yang sesungguhnya yakni al-riayatul suunil ummah, yang artinya mengurusi kepentingan rakyat. Maka dari itu Islam menjadikan aturan agama sebagai landasan dalam berpolitik. Bukan memanfaatkan agama demi kepentingan politik.

Karena Islam bukan hanya sekadar agama keyakinan yang dianut seseorang, melainkan sebuah sistem yang mengatur kehidupan, dimana Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai sumber hukumnya, yang melahirkan kehidupan gemilang, sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, para Khulafaur Rasyidin, serta pada masa kepemimpinan Bani Umawiyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah. Wallahu'alam bish-shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak