Perempuan Hebat, Perempuan Taat Syariat


Rianny Puspitasari
(Ibu Rumah Tangga dan Pendidik)



Dibalik laki-laki yang hebat, pasti ada perempuan yang hebat. Ungkapan ini adalah ungkapan yang tidak asing di telinga kita. Ungkapan ini menunjukkan bahwa meski perempuan tidak tampil di depan, tapi perannya tidak kalah hebat dengan membentuk, mendidik atau mendukung laki-laki yang hebat. Namun saat ini telah terjadi pergeseran pada ungkapan tersebut, tidak sedikit perempuan yang ingin tampil ke depan dan berada di atas panggung. Hal ini nampak salah satunya pada kancah pemilihan pemilihan daerah yang akan digelar pada akhir tahun ini.  Misalnya pada pilkada Kabupaten Bandung, dominasi calon perempuan terlihat. Dua dari tiga pasangan calon bupati ini adalah perempuan, yakni pasangan Nia-Usman dan Yena-Atep. 

Majunya perempuan dalam Pilkada dianggap sebagai satu keniscayaan dalam sistem demokrasi. Kepala daerah perempuan dinilai memiliki karakteristik multitasking, memiliki jiwa keibuan, lebih mudah diterima komunitas publik atau sosial. Selain itu, kepala daerah perempuan dianggap akan lebih memahami persoalan perempuan, anak, dan keluarga dan dianggap lebih bisa memberikan solusi,  dapat mewujudkan kebijakan pembangunan yang berkeadilan secara inklusif dan tidak diskriminatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Namun, seorang pengamat politik Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Asep Warlan berpendapat bahwa Kabupaten Bandung sangat mustahil dipimpin oleh seorang perempuan, mengingat bahwa Kabupaten Bandung memiliki luas wilayah dan kawasan industri yang dapat menimbulkan polemik. 

Bukan berarti perempuan tidak diperhitungkan, tetapi karena tradisi di Kabupaten Bandung pemimpinnya biasa dipegang oleh laki-laki. Meski demikian, bukan hal mustahil perempuan membuka peluang untuk menjadi kepala daerah pertama, Asep menjelaskan, dalam kontestasi politik konsolidasi dan usaha untuk mencari dukungan, tidak akan menutup kemungkinan bahwa paslon perempuan di Kabupaten Bandung bisa menang dan memimpin. (jabarnews.com, 3/11)
Sesungguhnya, gempita perempuan menjadi kepala daerah adalah ide dari pegiat kesetaraan gender. Bahkan mereka sudah mendengungkannya dari tahun 1995 dengan adanya deklarasi Beijing Platform for Action (BPfA). Deklarasi ini telah menentukan adanya 12 area kritis untuk mewujudkan hak perempuan, dan salah satunya adalah area kritis ke tujuh tentang 'Perempuan dalam Kedudukan Pemegang Kekuasaan dan Pengambilan Keputusan'. Area ke tujuh ini mengharuskan 189 negara-negara yang ikut menandatangani BPfA ini untuk mengambil langkah-langkah yang menjamin akses dan partisipasi penuh perempuan dalam struktur-struktur kekuasaan dan pengambilan keputusan. 

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa apa yang diusung oleh pegiat gender adalah ide kebebasan dan merupakan ide yang bukan berasal dari Islam. Ide yang lahir dari pandangan Barat yang merendahkan wanita ini sejatinya sering dihembuskan ke tengah-tengah umat Islam sebagai racun yang berbalut madu.  Bagaimana tidak, banyak dari ide keseteraan yang bertentangan dengan Islam yang selalu disuntikkan ke tengah-tengah umat muslim agar mereka jauh dari Islam dan mengikuti ide mereka. Dengan demikian, ideologi mereka leluasa dalam mengatur dunia berdasarkan grand design yang telah mereka susun, dan sebaliknya ideologi Islam mereka bendung agar tidak sampai bangkit.

Islam memuliakan perempuan dan memberikan peran yang sama seperti laki-laki dalam kedudukannya sebagai hamba Allah. Namun selain itu, islam juga memberikan keistimewaan khusus terhadap kodratnya sebagai perempuan. Sebagai hamba Allah, perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama, dan yang paling takwalah yang paling mulia di hadapan Allah Swt. Sementara dengan kodratnya sebagai perempuan, Islam memberikan peran yang sesuai dengan fitrahnya, yaitu sebagai istri, ibu generasi dan pengatur rumah tangga.

Islam jelas melarang perempuan menjadi pemimpin dalam urusan kekuasaan. Rasulullah SAW bersabda “Tidak akan beruntung suatu kaum apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita.” (HR Bukhari no 4225).

Oleh karena itu, haram hukumnya seorang muslimah menjadi Kepala Negara, Gubernur, Bupati atau Wali Kota, meskipun didukung oleh suara mayoritas. Namun meski Islam mengharamkan perempuan menjadi penguasa wilayah, Islam membolehkan partisipasi politik seorang muslimah dalam batas-batas yang ditetapkan syariat.

Islam membolehkan seorang muslimah untuk menjadi anggota partai politik, melakukan kritik dan mengawal jalannya pemerintahan (muhasabah lil hukkam), memilih pemimpin, dan menjadi anggota majelis ummah yang merupakan lembaga perwakilan umat. Islam juga membolehkan perempuan sebagai kepala sekolah, direktur rumah sakit, pimpinan perusahaan ataupun posisi pimpinan non-kekuasaan.

Begitulah, Islam telah menentukan dengan jelas posisi dan peran perempuan. Islam memuliakan perempuan sesuai kodratnya, tanpa sedikit pun merendahkannya. Hal ini akan terbukti jika Islam diterapkan secara menyeluruh dan sempurna dalam sebuah institusi negara. Keagungan Islam dalam memuliakan perempuan hanya bisa terlaksana oleh daulah Khilafah Islam sebagai institusi pelaksana hukum syariah. Kehebatan perempuan tidak mesti ditunjukkan dengan menjadi pemegang tampuk kekuasaan, kehebatan perempuan justru nampak dalam ketundukannya pada hukum Sang Pembuat Aturan.   
Wallahu’alam bishowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak