Oleh : F.Dasti
Perempuan, gambaran manusia mulia yang dipenuhi keelokan adab dan rupa. Sepertinya memang itulah yang cocok disematkan pada perempuan. Sekeras apapun dia, pastilah ada satu bentuk kelembutan dan kasih sayang dalam dirinya. Manusia yang sangat mengedepankan perasaan ini adalah harapan kelangsungan masa depan peradaban. Bagaimana tidak ? Jika dari tangannyalah generasi bangsa akan tercetak. Mau seperti apa nasib generasi ke depan, semuanya tergantung bagaimana para perempuannya.
Namun kerasnya hidup, apalagi di tengah carut marut yang terjadi akibat dampak covid-19. Ditambah ketidaksejahteraan masyarakat yang sudah menjadi masalah biasa yang terjadi di negeri ini, turut menyeret para perempuan harus banting tulang menghidupi keluarga. Tak jarang, peran seolah terbalik. "Perempuan bukan lagi tulang rusuk, ia sekarang telah jadi tulang punggung".
Apa boleh buat, sistem kapitalisme yang berorientasi pada manfaat dan keuntungan telah berhasil menjadikan para perempuan sapi perah untuk menopang ekonomi. Para perempuan harus rela bertukar peran, karena itulah satu-satunya solusi yang mereka bisa lakukan. Disaat para pria harus rela kehilangan pekerjaan karena PHK atau sulitnya dapat pekerjaan. Perempuan sebaliknya, menurut hasil laporan LinkedIn, perempuan 16 persen lebih cepat dalam mendapatkan pekerjaan dibandingkan lelaki. Selain itu, perempuan juga berpeluang 18 persen lebih cepat mendapat promosi jabatan dibandingkan lelaki.
Ternyata bukan hanya ketidaksejahteraan saja yang memaksa para perempuan untuk bertukar peran dengan kaum adam. Kesetaraan gender turut menarik para perempuan untuk banting tulang dengan anggapan dengan seperti itu mereka akan bisa berdaya sebagaimana laki-laki.
Namun peran baru yang di sandang kaum hawa ini turut memberi masalah baru. Mau tidak mau perannya sebagai ibu bagi generasi dan pengatur rumah tangga mulai terkikis dan terdistorsi.
Menurut survei yang dilakukan oleh Institute for Social and Economic Research, anak dari ibu yang sibuk berkerja mengalami penurunan kemampuan dalam mengikuti ujian sekolah sebesar 20%. Bahkan lebih parahnya lagi, anak usia 5-10 tahun yang ibunya sangat sibuk bekerja mengalami stres mental sehingga menimbulkan reputasi buruk di sekolah bila dibandingkan dengan anak-anak yang ibunya di rumah untuk membantu mereka belajar.
Tak jarang juga kita temui masalah-masalah yang terjadi pada generasi. Mulai dari kenakalan remaja, seperti free sex, tawuran bahkan sampai narkoba. Belum lagi mental illness yang marak menjangkiti generasi. Banyak yang terjadi akibat anak kurang perhatian dari para ibu. Kalau sudah begini, bagaimana nasib generasi ? Karena bagaimanapun mencetak generasi bukan hanya perkara membesarkan dan memberi makan pada anak. Bukan hanya dampak bagi generasi. Tak jarang peran terbalik ini juga berdampak pada permasalahan suami dan istri. Bahkan berakhir dengan ketidakharmonisan dan perceraian.
Selain itu kasus-kasus diskriminasi yang menjadikan para perempuan korban sudah kerap terjadi. Sarinah, Juru Bicara Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR), yang mewakili serikat buruh dari perusahaan aice, menyatakan bahwa sejak tahun 2019 sudah terdapat 15 kasus keguguran dan enam kasus bayi yang dilahirkan dalam kondisi tak bernyawa dialami oleh buruh perempuan di perusahaan tersebut. (theconversation)
Meski perjuangan untuk mewujudkan hak-hak buruh perempuan sudah sering diserukan utamanya oleh para aktivis gender. Tampaknya untuk mewujudkan kondisi ideal untuk para perempuan masih jauh dari angan. Para perempuan masih saja berada pada kondisi tidak ideal.
Hanya Khilafah yang Mampu Mewujudkan Kondisi Ideal Bagi Para Perempuan
Secara khusus kepada perempuan, Islam memberi perhatian besar terhadap status mereka sejak kecil. Rasulullah Saw. bersabda, “Janganlah kalian membenci anak-anak perempuan karena mereka adalah penghibur (hati) yang amat berharga.” (HR Ahmad dan ath-Thabarani)
Islam juga memerintahkan berlaku adil terhadap anak perempuan. Ibnu Abbas ra. menuturkan Rasulullah Saw. bersabda, “Berlakulah sama terhadap anak-anak kalian dalam pemberian. Jika aku ingin mengutamakan seseorang, aku akan mengutamakan perempuan.” (HR ath-Thabarani dan al-Baihaqi).
Meskipun tidak pernah ada larangan bagi para wanita untuk bekerja, namun tetap saja peran utamanya sebagai ibu bagi generasi dan pengatur rumah tangga tidak boleh terdistorsi. Tentunya semuanya tidak akan terwujud tanpa peran negara. Keberadaan sebuah negara yang menerapkan Islam (Khilafah) akan menempatkan perempuan dan memberi mereka perhatian dan penjagaan untuk memenuhi hak-hak mereka sesuai hukum syara'.
Semisal melalui hukum perwalian, perempuan dijaga dan dimuliakan. Dengan hukum nafkah, perempuan dipenuhi kebutuhan dasarnya oleh walinya. Perempuan tidak diwajibkan bekerja, tidak dituntut membantu ekonomi keluarga apapun kondisinya. Perempuan dapat menikmati perannya sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Dan masih banyak hukum islam lain, yang ketika diterapkan maka akan mampu mewujudkan kondisi ideal untuk para perempuan.
Wallahu A'lam Bishawab