Oleh: ummu Aqil
Penderitaan kaum muslim di seluruh belahan dunia baik kaum muslim itu sebagai minoritas maupun mayoritas tetap ingin disingkirkan dalam persepsi kafir-kafir penjajah. Sudah banyak terbukti seperti muslim Palestina yang menetap di negri mereka sendiri yang hidup dalam corong senjata milik kafir Yahudi Israel yang telah menduduki wilayah Palestina sekian lama. Begitu juga muslim India, Suriah dan Rohingya yang hidup terzalimi ditempat mereka tinggal.
Rohingya yang saat ini juga sedang terombang ambing hidup dalam ketidak pastian. Dan sekian lama dalam cengkraman Budha Myanmar.
Rohingya sendiri adalah sebuah kelompok etnis indo-Arya dari Rakhine di Myanmar. Dan merupakan etno-linguistik yang berhubungan dengan bahasa bangsa Indo-Arya di India dan Bangladesh. Menurut penuturan warga Rohingya dan beberapa tokoh agama, Rohingya berasal dari negara bagian Rakhine.
Namun Rohingya bukan saja terusir dari negerinya. Ketika telah mengungsi ke Bangladesh Rohingya dikabarkan juga dipindahkan ke pulau terpencil di Teluk Bengal.
Bangladesh sendiri mengatakan bahwa semua pengungsi yang dipindahkan telah memberikan persetujuan.
Namum, dilain pihak kelompok pegiat hak asasi manusia telah menyuarakan keprihatinan bahwa banyak dari pengungsi Rohingya yang dipindahkan ke pulau di Teluk Bengal tersebut diluar dari keinginan mereka.
Pengungsi Rohingya yang berada di Bangladesh mengatakan kepada BBC pada Oktober bahwa mereka sebenarnya tidak ingin dipindahkan ke pulau terpencil tersebut.
Dikabarkan telah berdiri dengan pemandangan yang luas dari bangunan beratap merah yang akan ditinggali pengungsi di Pulau Bhasan Char tersebut. Dimulai pada tahun 2018, total 1.440 rumah dengan dapur dan kamar mandi yang berdekatan dan dapat digunakan secara bersama oleh beberapa keluarga.
Namun ketika pengungsi Rohingya diwawancarai oleh kelompok pegiat HAM, Human Rights Watch, mereka menyatakan bahwa mereka tidak secara sukarela pergi.
Sedangkan PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) mengatakan telah diberikan "informasi terbatas" tentang relokasi dan tidak terlibat dalam relokasi tersebut.
Berseberangan dengan pernyataan Menteri Luar Negeri Bangladesh, Abdul Momen yang mengatakan bahwa pemerintah tidak akan membawa siapapun ke Bhasan Char secara paksa.
Etnis Rohingya yang terpaksa melarikan diri dari serangan militer Myanmar sejak tiga tahun lalu, dimana para penyelidik PBB mengatakan sebanyak 10.000 orang tewas dan lebih dari 730.000 terpaksa mengungsi.
Setelah itu, ratusan ribu pengungsi Rohingya tinggal di Cox's Bazar, kamp pengungsi yang luas di negara tetangga Bangladesh.
Dan puluhan ribu melarikan diri untuk mengungsi ke Bangladesh.
Diketahui pada hari Kamis (03/12), seorang pria berusia 31 tahun mengatakan kepada Reuters sambil menangis melalui telepon saat dia naik bus dari Cox's Bazar.
"Mereka telah membawa kami kesini dengan paksa. Tiga hari yang lalu, ketika saya.mendengar bahwa keluarga saya ada dalam daftar, saya melarikan diri dari blok, tapi kemarin saya ditangkap dan dibawa ke sini, ungkapnya."
Wakil Pejabat Pemerintah Bangladesh, Mohammad Shamsud Douza, yang bertanggungjawab atas pengungsi malah mengatakan relokasi tersebut bersifat sukarela.
"Mereka pergi ke sana dengan dengan senang hati. Tidak ada yang dipaksa. Pemerintah telah mengambil semua langkah untuk menangani bencana, termasuk kenyamanan hidup dan mata pencaharian mereka," ungkapnya.
Sementara Rashida Khatun, 55, menyatakan kepada BBC pada Oktober lalu bahwa anaknya termasuk dalam 300 pengungsi pertama yang dikirim ke Pulau Bhasan Char tanpa persetujuan mereka awal tahun ini. Setelah terombang ambing di laut sebagai upaya melarikan diri dari Bangladesh.
Namun ketika reporter BBC mengunjungi pulau itu pada Oktober, kami tidak diberi akses untuk bertemu dengan pengungsi yang tinggal di sana.
Dikabarkan bahwa otoritas Bangladesh telah membangun 1440 rumah bagi pengungsi Rohingya dan penghalang gelombang pasang besar dimulai pada tahun 2018. Dan memakan waktu selama tiga tahun, dengan biaya US$350 juta atau sekitar Rp5,1 triliun.
Dengan tujuan untuk merelokasikan lebih dari 100.000 pengungsi untuk meredakan ketegangan di dalam kamp-kamp di Bangladesh.
Amnesty Internasional awal tahun ini, merilis laporan tentang kondisi yang dialami oleh 306 pengungsi Rohingya yang sudah tinggal di pulau Bhasan Char dengan dugaan laporan tersebut menyatakan kondisi kehidupan yang tidak higienis dalam ruangan sempit serta terbatasnya fasilitas makanan dan perawatan kesehatan. Serta kurangnya telepon agar pengungsi dapat menghubungi keluarga mereka, juga kasus pelecehan seksual yang terjadi yang dilakukan oleh TNI AL dan pekerja lokal yang melakukan pemerasan.
Hal tersebut dibantah oleh Komodor Abdullah Al Mamum Chowdhury, selaku juru bicara Angkatan Laut.
"Kami merawat mereka sebagai tamu kami," ungkapnya.
"Mereka diberi makanan yang layak dan akses ke semua fasilitas."
(viva.co.id, Minggu, 6 Desember 2020).
Dikutip dari laman Okezone, beberapa kelompok hak asasi telah meminta Bangladesh agar menghentikan proses relokasi para pengungsi ke Bhasan Char dan mengijinkan tim ahli independen untuk mengevaluasi pulau tersebut apakah layak dan sesuai untuk menampung para pengungsi?
Kelompok-kelompok HAM sebenarnya telah lama berpendapat bahwa pulau Bhasan Char yang terbentuk secara alami oleh lumpur Himalaya di Teluk Benggala, sekitar 60 kilometer dari daratan , rentan terhadap bencana alam dan tidak layak untuk dijadikan pemukiman manusia.
Human Rights Watch, Amnesty Internasional dan Fortify Rights sangat menentang relokasi para pengungsi ke pulau tersebut.
(Okezone.com, Sabtu, 05/12/2020).
Kaum muslimin yang berada di wilayah Rakhine atau Arakan, Burma (Myanmar) keberadaannya tidak diakui oleh negaranya sendiri. Sejak 1982, Undang-undang Kewarganegaraan Burma tidak mengakui lagi Muslim Rohingya sebagai warga negara Myanmar. Rohingya oleh pemerintah hanya dianggap sebagai imigran gelap dari Bangladesh atau keturunannya. Sehingga berbagai tekanan dan intimidasi menjadikan kaum muslimin Rohingya meninggalkan Myanmar.
Bangladesh yang mayoritas muslim, ketika melihat kondisi Rohingya yang terusir dari negerinya dan terzalimi seharusnya menjadikan ukhuwah lebih dalam sebagai saudara sesama muslim. Dan menjadikan hati yang berbelas kasih terhadap keadaan saudaranya. Namun ikatan nasionalisme mengikis itu semua.
Bukankah Rasulullah Saw pernah bersabda:
"Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang dengan sesama mereka seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit maka seluruhp tubuh akan merasakan sakit."
(HR. Bukhari dan Muslim).
Dan bukan malah memboyong mereka ke tempat yang lebih parah yang dapat dipastikan sulitnya mengakses keberadaan mereka ketika harus hidup terpencil di pulau yang dianggap rentan terhadap bencana.
Badan Perserikatan Bangsa-bangsa yang seharusnya menjadi tameng disistem sekuler malah menyebut mereka sebagai salah satu minoritas paling teraniaya di dunia. Tanpa bisa menghentikan perlakuan keji ekstrimis Budha Myanmar yang jelas-jelas melanggar hak asasi manusia (HAM) dan juga tidak dalam segi perlindungan Rohingya. Keberadaan PBB yang selalu mengobarkan semangat HAM faktanya tidak berpihak terhadap Kaum Mualimin. Terbukti dengan diamnya negara yang tergabung dalam bertindak nyata untuk menghentikan kebiadaban ekstrimis Budha Myanmar maupun keberadaan mereka yang terombang ambing.
Semestinya umat Islam sadar, bahwa penyebab dari segala bentuk penindasan terhadap umat Islam khususnya Rohingya buah dari sistem sekulerisme yang diterapkan ditengah kehidupan manusia. Yang aturannya berasal dari pemikiran manusia yang cenderung lemah dan terbatas.
Sistem sekuler yang melahirkan darinya empat kebebasan diantaranya yaitu kebebasan bertindak atau bertingkah laku sehingga membuat manusia berbuat sesuka hati tanpa mengindahkan aturan yang berlaku. Hal tersebut dianggap wajar karena disistem sekuler negaralah sebagai penjamin kebebasan tersebut. Sehingga banyak terjadi pelanggaran hukum.
Berbeda dengan Islam, dimana hukum Syara' menjadi landasan setiap perbuatan manusia. Karena hukum yang diterapkan ditengah kehidupan manusia berasal dari al-Khailq yaitu sang Pencipta alam semesta yang kekal dan tidak bergantung terhadap apapun dan siapapun.
Ketika aturan tersebut dijalankan manusia melalui roda pemerintahan yaitu khilafah maka dapat dipastikan aturan tersebut yang terbaik bagi manusia itu sendiri.
Tidak ada bentuk diskriminasi Khalifah baik itu bagi muslim maupun non muslim yang hidup di dalamnya. Semua diperlakukan sama sesuai tuntunan syari'at. Khilafah lah sebagai perisai dan pemersatu umat manusia. Tidak akan ada lagi sekat-sekat nasionalisme yang memecah belah umat Islam.
Namun sistem Islam itu harus diperjuangkan kembali agar Izzah umat Islam dapat terjaga. Dengan bersatunya umat dalam barisan Pejuang Islam akan menjadi bumerang tersendiri bagi kafir penjajah yang begitu berambisi nya menundukkan umat Islam dibawah sistem kufur sekuler kapitalisme.
Padahal Allah ‘Azza wa Jalla melarang memberikan jalan apapun bagi orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman seperti dalam firman-Nya:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 141).
Maka sudah selayaknya umat Islam mencampakkan sekat nasionalisme untuk menuju sistem Islam yaitu Khilafah yang akan memberikan kemuliaan bagi umat Islam khususnya dan seluruh manusia pada umumnya dengan bersama-sama masuk kedalam barisan pejuang Islam Kaffah. Sehingga Rahmat Allah datang dan pertolongan Allah selalu dekat bagi hamba-Nya yang bertakwa. Sehingga ketika Allah bertanya tentang hal ini kita sudah punya hujjah yang dapat membebaskan kita dari adzab Allah.
Wallahu a'lam bish shawab.