Oleh : Nikmatus Sa'adah, SP.
Penderitaan muslim Rohingya nyatanya tak kunjung usai. Dimulai dari ketakutan dan rasa iri kaum Buddha Burma terhadap pendatang Muslim, yang sudah berlangsung lama, kembali muncul sebagai dendam lama Myanmar. Hal ini merupakan awal mula konflik Rohingya saat ini, hingga menyulut genosida kaum minoritas tersebut oleh militer Burma. Kekerasan terhadap Rohingya telah dimulai sejak 1978, yang terus berulang beberapa tahun sekali, hingga saat ini.
Kini, nasib muslim Rohingya terus dipertaruhkan. Ratusan ribu orang telah melarikan diri ke negara-negara lain di Asia Tenggara, termasuk Malaysia, Indonesia, dan Filipina. Sebagian besar pengungsi Rohingya melarikan diri ke Bangladesh, dan di negara ini terdapat dua kamp pengungsi resmi. Pada era 2010-an, kekerasan di Myanmar semakin memburuk; akibatnya jumlah pengungsi Rohingya di Bangladesh meningkat pesat. Menurut Badan Pengungsi PBB (UNHCR), lebih dari 723.000 orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh sejak 25 Agustus 2017. Pada 28 September 2018, Sheikh Hasina, Perdana Menteri Bangladesh, berbicara di hadapan Majelis Umum PBB ke-73. Beliau mengatakan terdapat 1,1 juta pengungsi Rohingya di Bangladesh. Kepadatan di kamp-kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh telah memperparah kondisi hidup para penghuninya. Kebutuhan-kebutuhan mereka (seperti pendidikan, makanan, air bersih, dan sanitasi yang layak) tidak terpenuhi, sementara mereka terancam oleh bencana alam dan wabah penyakit.
Saat ini, pemerintah Bangladesh telah mulai mengirim sebagian pengungsi Rohingya ke Pulau Bhasan Char, meskipun ada seruan dari kelompok hak asasi manusia agar proses tersebut dihentikan. Tujuh kapal angkatan laut Bangladesh yang membawa lebih dari 1.600 pengungsi Rohingya dari kamp pengungsi Cox's Bazar berangkat ke Bhasan Char pada Jumat (4/12) pagi. Dua perahu lainnya membawa makanan dan perbekalan untuk para pengungsi yang pindah ke pulau itu. (https://news.okezone.com/read/2020/12/05/18/2322014/bangladesh-kirim-pengungsi-rohingya-ke-pulau-terpencil)
Pengungsi Rohingya di Bangladesh mengatakan kepada BBC pada Oktober bahwa mereka tidak ingin dipindahkan ke pulau itu. Pada hari Kamis (03/12), seorang pria berusia 31 tahun mengatakan kepada Reuters sambil menangis melalui telepon saat dia naik bus dari Cox`s Bazar: "Mereka telah membawa kami ke sini dengan paksa. Tiga hari yang lalu, ketika saya mendengar bahwa keluarga saya ada dalam daftar, saya melarikan diri dari blok, tapi kemarin saya ditangkap dan dibawa ke sini".
Pada tahun 2018, pihak berwenang mulai membangun pulau Bhasan Char yang baru muncul. Awal tahun ini, Amnesty International merilis laporan tentang kondisi yang dihadapi oleh 306 pengungsi Rohingya yang sudah tinggal di pulau itu. Laporan tersebut berisi dugaan kondisi kehidupan yang tidak higienis dalam ruangan sempit, terbatasnya fasilitas makanan dan perawatan kesehatan, kurangnya telepon agar pengungsi dapat menghubungi keluarga mereka, serta kasus pelecehan seksual oleh TNI AL dan pekerja lokal yang melakukan pemerasan. (https://www.viva.co.id/berita/dunia/1329043-bangladesh-pindahkan-ribuan-pengungsi-rohingya-ke-pulau-terpencil?page=3&utm_medium=page-3)
Nasionalisme Penghalang Ukhuwah Islamiyah
Bangladesh yang notabene negeri muslim terbesar ketiga setelah Indonesia dan Pakistan, nyatanya juga tidak mampu memberikan jaminan kesejahteraan kepada saudara muslim Rohingya. Setelah Daulah Islam runtuh pada tahun 1924, kondisi kaum muslim dipecah-pecah dengan sekat negara. Mereka hidup dengan Nasionalisme yang telah ditanamkan pada diri mereka. Nasionalisme yang sering didengungkan dalam persatuan disetiap Negara nyatanya memiliki titik buruk dan rapuh. Sebuah ikatan pemersatu yang hanya bersandar pada aspek emosional dan kebangsaan ini justru menjadi alat penjajahan para kapitalis yang memanfaatkan kepentingan tiap bangsa dengan memecah belah dunia menjadi Negara-negara parsial kemudian menyerang tanpa senjata hingga setiap bangsa mengikuti kemauan dari si pemilik modal.
Alhasil, kaum muslim terjebak dengan Nasionalisme ini dan melupakan bahwa kaum muslim dimanapun mereka berada, mereka adalah saudaranya yang harus dipenuhi hak-hak nya. Sebagaimana hadist Rasulullah
"Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam saling mencintai, saling menyayangi dan mengasihi adalah seperti satu tubuh, bila ada salah satu anggota tubuh mengaduh kesakitan, maka anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakannya, yaitu dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.'' (HR Bukhari dan Muslim)
Khilafah Pemersatu Ukhuwah Islamiyah
Islam memiliki konsep alternatif untuk menggantikan secara keseluruhan konsep Nasionalisme yang saat ini diagung-agungkan. Dalam Islam, ikatan pemersatu atas kaum muslim yaitu Ikatan ideologis yang melahirkan peraturan hidup menyeluruh, atau dinamakan Idiologi Islam. Islam dikatakan sebagai idiologi karena islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhanya (Aqidah, ibadah, sholat, puasa, dan haji) dan manusia dengan dirinya sendiri (akhlak/kepribadian, makanan dan pakaian) namun juga mengatur hubungan manusia dengan manusia yang lain (muamalah; politik, pendidikan, keamanan, sosial dan sanksi). Ikatan idiologis islam bisa menyatukan seluruh umat manusia karena ikatan ini tidak didasarkan pada naluri mempertahankan diri, namun didasarkan pada pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan hidup serta apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan (pandangan hidup). Ikatan ini tidak memandang apakah seseorang itu dari suku, warna kulit, atau suatu bangsa. Tetapi ikatan ini memandang seluruh manusia sebagai makhluk Allah SWT yang membutuhkan aturan yang bersumber dari Al-Quran dan As-sunnah.
Ikatan ideologis ini hanya bisa terwujud jika kaum Muslim bersatu dalam naungan Khilafah. Karena hanya dengan khilafah Islam bisa diterapkan secara kaffah dalam kehidupan dan mamou menyatukan kaum muslim dimanapun mereka berada didalan satu naungan negara Islam.maka solusi sejati untuk Muslim Rohingya yaitu dengan bersatunya kaum Muslim menegakkan Khilafah ditengah-tengah mereka.
Wallahu 'alambi showab