Mimpi Kosong Demokrasi Menyelesaikan Stunting



Oleh : Rany Setiani, S.KM 

(Aktivis Muslimah)

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) menggelar Scaling Up Nutrition (SUN) Annual Meeting 2020 dengan tema “Bekerja Bersama dalam Akselerasi Perbaikan Gizi di Masa Pandemi Covid-19” pada 1–16 Desember 2020.

Kegiatan ini merupakan wadah bagi seluruh sektor yang terlibat dalam percepatan perbaikan gizi masyarakat Indonesia untuk berbagi pengalaman dan strategi di sektor kesehatan.

Salah satu yang menjadi pekerjaan rumah yang dibahas dalam forum ini adalah persoalan stunting.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat ada 9 juta anak yang mengalami stunting. Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita. Kondisi ini disebabkan kekurangan asupan gizi, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan, mulai dari janin hingga anak 2 tahun. Kondisi ini lebih berisiko jika masalah gizi sudah mulai terjadi sejak di dalam kandungan. Dampak stunting akan terlihat dari pertumbuhan tubuh dan kemampuan otak yang rendah. 

Sebagaimana ditunjukan oleh data lembaga pangan dunia FAO (Food and Agriculture Organization), bahwa satu dari tiga anak Indonesia adalah pengidap kekurangan gizi akut (stunting) dan sekitar 20 juta jiwa terkategori rawan pangan. Diperkuat oleh data GHI-Global Hunger Index Indonesia yang dilansir lembaga International Food Policy Research Institute (IFPRI), bahwa  kelaparan di Indonesia selama dua tahun terakhir naik ke level serius. Sementara penurunan proporsi balita penderita stunting dan gizi buruk bergerak sangat lambat. Maka dari sini bisa kita amati bahwa ada anak-anak di Indonesia yang masih dalam kondisi kekurangan makan yang memprihatinkan, sehingga menyebabkan kondisi mereka dalam kondisi gizi yang buruk.

Saat masih menjabat sebagai Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto mengungkap bahwa jumlah kasus stunting di Indonesia per 2019 masih tinggi. Hal ini patut menjadi perhatian mengingat angka tersebut lebih tinggi dibandingkan toleransi maksimal atau ambang batas stunting yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 20%. "Hasil survei status gizi balita Indonesia tahun 2019 menunjukkan prevalensi stunting sebesar 27,67 persen," kata Menkes. Angka ini masih jauh dari target pemerintah untuk menurunkan angka prevalensi stunting menjadi 14 persen di tahun 2024 (m.suarakarya.id, 9/12/2020).

Persoalan stunting jika tidak segera diselesaikan akan berdampak pada menurunnya kualitas generasi. Generasi akan mudah terserang penyakit dan akan gagal dalam menghadapi persaingan global. Belum lagi berdasarkan hasil kajian World Bank, stunting dapat menimbulkan kerugian ekonomi bagi negara sebesar 2- 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) per tahun. Sehingga ketahanan Negara pun akan dipertaruhkan.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi persoalan stunting. Dikutip dari merdeka.com (21/10), Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo menginginkan hanya ada satu badan khusus yang menangani persoalan stunting di tanah air. Harapannya agar hasilnya lebih maksimal. Sebelumnya ada 21 lembaga pemerintah yang menangani permasalahan stunting di Indonesia.

Selain itu, untuk mempercepat penanganan stunting, pemerintah tengah merancang aturan yang baru.

Muhadjir menjelaskan, hal ini dilakukan lantaran Peraturan Presiden nomor 42 tahun 2013 tahun Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. yang menjadi landasan penanganan stunting saat ini sudah tidak terlalu relevan untuk dijadikan dasar berpijak atau dasar regulasi. Beliau mengatakan, dasar Undang-Undang yang digunakan adalah UU nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.

Dalam UU tersebut dinyatakan Kualitas Penduduk adalah kondisi penduduk dalam aspek fisik dan nonfisik yang meliputi derajat kesehatan, pendidikan, pekerjaan, produktivitas, tingkat sosial, ketahanan, kemandirian, kecerdasan, sebagai ukuran dasar untuk mengembangkan kemampuan dan menikmati kehidupan sebagai manusia yang bertakwa, berbudaya, berkepribadian, berkebangsaan dan hidup layak.

Namun faktanya, angka kemiskinan di Indonesia semakin memprihatinkan hingga berdampak pada asupan gizi yang diperoleh balita dan anak-anak. Selain itu banyak anak-anak putus sekolah. Dampak ini semakin terasa di tengah pandemi wabah Covid-19.

Ditambah lagi sistem yang tegak saat ini menjadikan rezim dan para elite politik tidak sepenuh hati dalam menangani persoalan stunting. Pasalnya, angka stunting berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) terus meningkat sejak 2007. Padahal kekayaan alam Indonesia, terutama persediaan pangan, cukup melimpah. Namun sistem yang tegak saat ini meniscayakan rezim bertindak sekedar profit oriented. Demi mengejar target-target ekonomi, pemerintah menderaskan arus impor yang berakibat pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri menjadi tidak maksimal. Ya, begitulah sistem demokrasi yang tegak di negeri ini yang berjalan sesuai arahan ideologi kapitalisme.

Demokrasi memberi mimpi kosong mengatasi stunting baik dengan rencana pembentukan badan khusus maupun dengan mendesakkan UU pembangunan keluarga.

Dalam Islam,  pemimpin adalah penanggung jawab urusan dan kemaslahatan rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas hal itu di hadapan Allah SWT.  Nabi saw.  bersabda  :“Seorang iman (pemimpin) pengatur dan pemelihara urusan rakyatnya; dia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya”(HR. al-Bukhari dan Muslim).

Di dalam sistem Islam meniscayakan pemimpin sebagai khadimul ummah yang mampu memberikan pelayanan sebaik baiknya kepada rakyat, salah satu diantaranya memberikan asupan gizi yang cukup bagi rakyatnya. Karena itu semua merupakan tanggung jawab negara. Dalam sirah pun diceritakan bagaimana seorang khalifah Umar bin Khattab setiap malam tidak pernah tidur nyeyak. Hal ini terjadi karena beliau khawatir jika masih ada anggota  masyarakatnya kelaparan. Maka tidak heran khalifah Umar sering melakukan sidak ke rumah-rumah penduduknya untuk melihat bagaimana kondisi rakyatnya. Dan ketika mengetahui ada salah satu keluarga yang belum makan, beliau pun rela memanggul sendiri bahan pokok untuk diantar ke keluarga tersebut. Terbukti, hanya sistem Khilafah lah yang mampu melahirkan sosok pemimpin yang amanah seperti beliau.

Khilafah merupakan sistem pemerintahan yang menjadikan aturan Islam sebagai landasan dalam mengurus seluruh aspek kehidupan. Dalam mewujudkan generasi berkualitas, selain mencukupi kebutuhan asupan gizi, khalifah juga akan menyediakan berbagai sarana dan prasarana pendidikan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat luas.

Alhasil, hanya dengan Khilafah sajalah mimpi lahirnya generasi berkualitas dan pembangunan sumber daya manusia unggul akan terwujud. Karena aktivitas politik dalam Islam adalah dalam rangka menegakkan hukum-hukum Allah dan mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil 'alamiin. 

 

Waallahu'alam bi ash-showwab

 

 

 

 

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak