Merajut Asa Sejahtera di Masa Depan, Hanya Islam yang Mampu Wujudkan




Oleh: Dwi Indah Lestari, S.TP (Penggiat Literasi)

Tak lama lagi tahun 2020 akan berakhir. Tahun baru akan menjelang. Tentu banyak doa dan harapan yang terajut, agar di waktu mendatang kehidupan akan lebih baik. Tak sedikit yang bermimpi mampu meraih kesejahteraan yang selama ini dinanti. Mungkinkah teraih adil dan merata dengan sistem yang ada?

Sejahtera dapat diukur dari sejauh mana rakyat mampu untuk memenuhi hak dasarnya, yaitu mencakup sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Salah satu indikator untuk menilainya adalah dari tingkat kemiskinannya. Presentase penduduk miskin pada bulan Maret 2020 sebesar 9.78 persen (26.42juta), meningkat 0.56 persen atau 1.63 juta orang dari September 2019 (BPS.go.id). Peneliti Institute of Development of of Economic and Finance (Indef) Rusli Abdullah memperkirakan angka kemiskinan pada September 2020 naik menjadi 10.34 persen sebagai dampak dari pandemi (antaranews.com, 8 September 2020).

Memang benar, dampak pandemi telah melahirkan persoalan sosial yang semakin banyak, seperti kelaparan, masalah tempat tinggal, akses kesehatan dan pendidikan serta masih banyak lainnya. Meski begitu masalah-masalah tersebut sejatinya sudah berlangsung lama bahkan sebelum badai pandemi melanda.

Kapitalisme Melahirkan Ketimpangan Sosial Akut

Persoalan demi persoalan yang membelit masyarakat saat ini tidak bisa dilepaskan dari sistem yang mengaturnya, yaitu kapitalisme. Hal ini nampak dari pandangan materialistik yang senantiasa mewarnai interaksi yang berlangsung baik antar anggota masyarakat maupun penguasa dengan rakyatnya.

Pandangan tersebut membuat segala sesuatu dinilai dari sejauh mana kemampuan materi yang dimiliki tiap individu untuk dapat memenuhi hak-hak hidupnya. Maka yang terlahir adalah hubungan yang didasarkan pada untung rugi yang menjadi pijakan bagi kebijakan penguasa saat ini.

Penghapusan subsidi BBM misalnya, dengan dalih BBM bersubsidi malah dikonsumsi oleh mereka yang berduit, sehingga salah sasaran. Padahal saat subsidi dicabut, justru rakyat kecil yang paling merasakan imbasnya. Kenaikan harga BBM juga sering didasari alasan, bahwa negara sering mengalami kerugian entah dengan berbagai sebab. 

Begitupun dengan berbagai kebijakan kenaikan tarif berbagai kebutuhan, seperti listrik, air, tol, iuran BPJS, selalu dikaitkan dengan untung rugi. Hubungan penguasa dengan rakyat ibarat pedagang dan pembeli. Bila rakyat ingin mendapat pelayanan layak maka ada nilai yang harus dibayar. 

Begitupun dalam kesempatan berusaha. Mereka yang bermodal besar akan mampu menguasai. Pasar bebas diterapkan sehingga semakin menguatkan pihak yang punya daya besar menguasai hajat hidup pihak yang lemah. Wajarlah jika kemudian SDA dapat dikuasai oleh segelintir korporasi. 

Dampaknya adalah terciptanya jurang pemisah yang dalam antara si kaya dan si miskin. Harta hanya beredar diantara sekelompok manusia sementara sebagian besar lainnya harus berebut untuk sekadar bertahan hidup. Inilah gambaran kekejaman kapitalisme saat diterapkan.

Dengan begitu mustahil bila harapan kesejahteraan secara adil dan merata akan mampu diraih dengan menumpang kendaraan bobrok kapitalisme. Ibarat jauh api dari panggang. Sia-sia meletakkan mimpi tersebut di atas sistem buatan manusia cacat ini. 

Islam Mewujudkan Kesejahteraan Hakiki

Manusia butuh alternatif sistem yang mampu menggantikan kapitalisme yang rusak. Dan itu hanya ada dalam Islam, yang berasal dari Pencipta alam, manusia dan kehidupan. Kebenaran Islam nyata terlihat dari asasnya yaitu aqidah Islam yang mampu memuaskan akal, sesuai fitrah dan menenangkan jiwa. 

Sistem Islam terbukti pernah menghadirkan kesejahteraan hakiki yang adil dan merata bukan hanya untuk kaum muslim tapi seluruh manusia yang pernah diatur dengannya, dalam sebuah institusi negara bernama khilafah Islamiyah, yang kegemilangannya berlangsung selama 13 abad lamanya menguasai duapertiga dunia. 

Bahkan jejak keemasan peradaban Islam diabadikan dalam catatan sejarah yang ditulis non muslim, seperti Will Durrant seorang sejahrawan Barat. Dalam bukunya, Story of Civilization, ia mengatakan “Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka.”

Kesejahteraan dalam khilafah bukan semata retorika, namun terwujud nyata. Bahkan pada masa Umar bin Abdul Aziz, sampai-sampai tidak ditemukan satupun warga yang berhak untuk mendapatkan zakat. Pada masa Bani Umayyah, Cordoba menjadi ibukota Andalusia yang dikelilingi taman yang hijau dan diterangi lampu-lampu jalan. Kotanya bersih, penduduknya berjumlah satu juta jiwa, dan memiliki rumah-rumah yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas penunjang. 

Di bidang pendidikan, khilafah sangat memperhatikan. Khalifah Al-Hakam II pada 965 M, membangun 80 sekolah di Cordoba. Bahkan Di Kairo, Al-Mansur Qalawun mendirikan sekolah anak yatim dan menganggarkan untuk makanan dan baju untuk musim dingin dan musim panas setiap harinya.

Sementara di bidang kesehatan, pada kurun abad 9-10 M, Qusta ibn Luqa, ar-Razi, Ibn al-Jazzar dan al-Masihi telah membangun sistem pengelolaan sampah perkotaan. Khilafah menyediakan tabib dan tenaga kesehatan yang terus diuji kompetensinya secara teratur, agar mampu memberikan pengobatan sesuai keahliannya. Rumah sakit-rumah sakit dibangun di seantero khilafah dan memberikan pelayanan kesehatan berkualitas secara gratis bagi siapa saja. Bahkan pada tahun 800 M di Baghdad sudah dibangun rumah sakit jiwa yang pertama di dunia. 

Begitulah gambaran sebagian kejayaan yang diraih oleh khilafah Islamiyah. Dengannya manusia benar-benar hidup dengan limpahan kemakmuran. Hal itu karena sistem Islam merupakan satu-satunya sistem hidup yang memanusiakan manusia. Keberhasilan Islam mewujudkan kesejahteraan belum mampu ditandingi oleh peradaban lainnya. Inilah berkah yang dilimpahkan oleh Allah, karena ketaatan manusia dalam menjalankan perintah-Nya. 

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS al-A’raaf:96). Wallahu’alam bisshowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak