Oleh : Rayani Umma Aqila
Pilkada tak lama digelar para kandidat mulai bermunculan, berbagai iming-iming dan tebar pesona ditawarkan kembali termasuk politisasi agama yang tak pernah ketinggalan. Penampilan yang tiba-tiba agamis tentu menjadi hal yang sudah biasa. Menyoroti hal ini Ketua Umum Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar Cabang Indonesia, TGB Muhammad Zainul Majdi, mengingatkan bahwa politisasi agama semata untuk mendapatkan kekuasaan atau memenangkan kontestasi politik akan berdampak buruk dan berbahaya.(republika.co 19/11/2020).
TGB memaknai politisasi agama merupakan pemanfaatan agama semata untuk mendapatkan kekuasaan atau memenangkan kontestasi politik, atau agama jadi instrumen untuk mendapatkan hasil politik. Melihat kejadian akhir-akhir ini, TGB menilai ada kelompok tertentu mempolitisasi agama dengan tujuan politik, murni untuk mencapai kekuasaan. Menjelang Pilkada, terkait dengan politisasi agama dan money politic (politik uang) sudah menjadi rahasia umum.
Bahkan hampir di setiap pemilihan (Bupati/Wali Kota/Gubernur dan Presiden/Legislatif) selalu tercium dan terkabar praktek politisasi agama dan uang serta sejenisnya seperti sembako. Tujuannya tentu saja untuk mempengaruhi para pemilik suara. Ini menunjukkan bahwa politisasi agama menjelang pemilu/kada adalah bagian tak bisa dihindari dalam demokrasi, karena kontestan berebut suara rakyat demi kursi, meski dengan manipulasi atau politik kebohongan.
Semua sah selama bisa berkelit dari batasan regulasi. Contoh presiden terpilih AS Joe Biden menggunakan hadits untuk memikat pemilih muslim mengkritisi Donald Trump walaupun hadist tersebut bukanlah keyakinan dari Joe Biden sendiri. Dan umat Islam yang mayoritas tentu tak bisa diacuhkan begitu saja, suara mereka sangat signifikan dalam menentukan perolehan suara. Cara-cara seperti ini tentu sangat lazim terjadi apalagi menjelang pemungutan suara, masing-masing pasangan calon melakukan berbagai cara agar mereka bisa merangkul umat agama untuk memilihnya.
Modusnya ada yang minta didoakan, ada yang silaturahmi dan ada juga yang memberikan cinderamata baik kepada calon maupun kepada pimpinan-pimpinan agama. Demikianlah dalam sistem demokrasi rakyat sangat dibutuhkan pada saat pemilihan lima tahunan, namun setelah itu terlupakan setelah menang suara umat Islam tidak dibutuhkan lagi. Sungguh ironis, posisi agama dalam perpolitikan hanya sebatas pendulang suara dalam demokrasi dan mekanisme suara terbanyak telah mengkompromikan hukum dari pencipta. Demikianlah tabiat demokrasi sekuler, yang terlahir dari rahim sistem kapitalisme. Maka harapan rakyat hanya sekedar impian. Sistem demokrasi yang digunakan hanya untuk meraih kepentingan pribadi dan tidak mengutamakan kepentingan rakyat. Didepan rakyat seolah bermusuhan namun setelah tujuan tercapai menjadi kawan. Maka, rakyat jika ingin menginginkan perubahan yang berarti maka tidak lain dan tidak bukan harus dengan mengganti sistemnya, yakni dengan sistem Islam kaffah. Sistem yang berasal dari Sang Pemberi kehidupan
Dan bagaimana dalam Islam telah menjelaskan sistem khilafah menjauhkan politisasi agama, namun justru menjadikan politik berdasarkan aturan agama Islam. Agama dan politik tidak dapat dipisahkan, sebab politik merupakan bagian integratif dari ajaran agama Islam. Meski demikian, dalam Islam tidak dibenarkan adanya politisasi agama. Politisasi agama, seperti memanfaatkan simbol agama dalam berpolitik, merupakan hal terlarang.
Dalam Islam, politik menempati peran yang cukup penting bagaikan saudara kembar yang saling membutuhkan. Dalam berpolitik Islam juga menjadi pijakan utama. Ibarat dua sisi mata uang, keduanya memang mustahil untuk dipisahkan. Pentingnya posisi politik, bahkan diletakkan hanya satu garis di bawah kenabian. Didalam Islam terdapat politik dan mengajarkan politik, aspek politik dari Islam berasal dari Alquran dan Sunnah, sejarah perjalanan Islam dan elemen gerakan politik baik di dalam ataupun di luar Islam.
Antara agama dan politik terdapat sebuah perbedaan pendapat dalam memahami sumbernya, yaitu Alquran dan Sunah. Dan tidak bisa lepas dari sebuah tatanan kehidupan bernegara. Ditandaskan, bagi agama Islam tidak ada batas antara agama dan politik karena politik adalah bagian integratif dari ajaran agama islam. Namun, yang terlarang dalam agama Islam ialah politasi agama dalam makna memanfaatkan simbol agama dalam berpolitik, padahal tujuan dan aktivitas berpolitiknya tidak terkait sama sekali dengan tuntunan politik agama.
Dengan demikian seperti apa yang dicontohkan Rasulullah, justru melalui proses politiklah Rasul menjadi kepala Negara Madinah, hal ini sudah menjelaskan kalau memang dalam Islam memberikan ajaran politik. Dan juga membuktikan bahwa hanya dengan sistem politik menurut Islam yang menjadikan Negeri ini kepentingan rakyat benar- benar terjamin.
Allahu A'lam Bisshawab
Tags
Opini