Oleh: Yulia Putbuha
Disintegrasi merupakan upaya pemisahan diri sebuah wilayah dari negara induk. Atau dalam kamus KBBI disintegrasi yaitu keadaan tidak bersatu padu, keadaan terpecah belah. Keadaan inilah yang saat ini terjadi di daerah Papua.
Dilansir dari Cnnindonesia.com (01/12/2020) Setiap tanggal 1 Desember dirayakan oleh beberapa kelompok di Papua sebagai hari ulang tahun Organisasi Papua Merdeka. Momen 1 Desember kerap digunakan untuk mewacanakan kembali pemisahan diri Papua dari Indonesia.
Masih terekam dalam ingatan, kejadian satu tahun yang lalu, kejadian yang sama yaitu kerusuhan yang disebabkan oleh gerakan disintegrasi dan terjadi sangat masif. Beberapa gedung dibakar, fasilitas umum dirusak. Bahkan korban jiwa berjatuhan. Namun sayang, pemerintah terkesan lamban dalam menangani masalah ini, bahkan cenderung membiarkan, tidak peduli. Dan kali ini kasus tersebut terulang kembali begitupun dengan sikap pemerintah. Pemerintah masih abai.
Padahal masalah disintegrasi merupakan masalah yang sangat serius, jika pemerintah membiarkan dan terkesan bersikap abai dan akhirnya gerakan disintegrasi berhasil memisahkan diri, maka daerah-daerah lain juga akan melakukan hal yang sama. Jangan sampai kasus Timor Timur yang sekarang sudah terpisah dan membentuk negara sendiri terulang kembali.
Penyebab munculnya gerakan disintegrasi dikarenakan gagalnya negara dalam memberi keadilan dan kesejahteraan rakyat Papua. Dalam masalah keadilan misalnya, Papua merupakan daerah yang sangat kayaraya dengan sumber daya alamnya yang melimpah. Namun, kekayaan tersebut dikuasai oleh pemilik modal dan para kapitalis. Sedangkan, rakyat Papua tetap miskin dan terbelakang. Hal itulah yang menjadi alasan Papua ingin memisahkan diri dari negara induk.
Kesejahteraan pun menjadi pemicu adanya disintegrasi, keberadaan Freeport sebagai tambang emas terbesar tidak berdampak signifikan pada kesejahteraan rakyat. Fasilitas publik seperti jalan, sekolah, rumah sakit juga sangat terbatas. Walaupun jika kita lihat kesejahteraan bukan hanya terjadi di Papua namun diseluruh Indonesia, akantetapi ketidaksejahteraan dibarengi dengan ketidakadilan menjadi pemicu terkuat adanya disintegrasi.
Ketika pemerintah santai menangani masalah disintegrasi ini, itu artinya pemerintah membiarkan Papua beralih kedalam genggaman negara asing. Karena hingga saat ini dunia internasional terus memberi sinyal dukungan atas kemerdekaan Papua. Sedangkan Pemerintah pusat lebih banyak beretorika dibandingkan memberantas tuntas benih disintegrasi.
Jadi tidak heran, jika Papua diibaratkan seperti makanan yang diperebutkan, daerah yang terkenal dengan kekayaan alamnya seperti tambang emas Freeport dan yang lainnya, menjadi incaran empuk para penguasa-penguasa asing.
Sungguh disayangkan ketika Indonesia membiarkan berlarut-larut masalah disintegrasi ini tanpa tindakan yang tegas dan tanpa memberikan solusi yang praktis. Maka tinggal menunggu lepasnya Papua dari Indonesia, karena penguasa-penguasa asing kian gencar mengincar.
Dari gambaran tersebut jelas nampak kegagalan sistem demokrasi dalam menangani disintegrasi. Berbeda dengan Islam, karena dalam Islam menganggap disintegrasi adalah suatu persoalan besar yang harus diatasi dari mulai munculnya benih-benih disintegrasi tersebut.
Selama ini Papua merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah juga diperlakukan tidak adil, ini merupakan benih awal tumbuhnya disintegrasi. Islam memberikan solusi atas hal ini, karena khalifah (pemimpin Islam) kebutuhan rakyat adalah prioritas utama. Khalifah akan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyat hingga kebutuhan rakyat benar-benar terpenuhi. Itulah cara khalifah memberi perhatian kepada rakyatnya.
Selain itu, keadilan dalam sistem Islam akan tercipta. Karena dalam Islam terkait dengan kepemilikan, ada yang dikelola oleh negara, milik umum, juga ada milik individu. Sumber daya alam seperti Freeport adalah kekayaan alam yang dikelola oleh negara, kemudian hasilnya akan dinikmati oleh rakyat bukan dimiliki oleh para pemilik modal dan dinikmati oleh mereka, seperti yang terjadi dalam sistem demokrasi saat ini.
Dengan demikian, benih-benih disintegrasi dalam Islam tidak akan muncul karena Islam mampu mencegah hal tersebut sebelum tumbuh berkembang. Memisahkan diri dari negara induk dalam sistem Islam, sama halnya seperti bunuh diri, karena disintegrasi hanya akan menjadikan negara yang terpisah menjadi lemah. Begitupun ketika Papua terpisah dari Indonesia. Incaran dari negara asing akan semangkin masif.
Oleh sebab itu, sistem Islam adalah solusi untuk menyelesaikan masalah disintegrasi, karena sesuatu yang mustahil ketika mengharap keadilan dan kesejahteraan pada sistem demokrasi. Ketika Islam dijadikan sebuah sistem yang mengatur seluruh aspek kehidupan, maka keadilan dan kesejahteraan akan terasa. Jadi tidak mungkin ada daerah yang menginginkan lepas dari negara (daulah) Islam, karena semua kebutuhan sudah terpenuhi. Ketika pun ada yang memberontak dan ingin melepaskan diri dari daulah Islam maka daulah akan mempertahankan daerah tersebut. Karena keluar dari daulah Islam sama artinya mencerai beraikan umat.
Larangan dalam Al-Qur'an tentang bercerai berai.
Allah SWT berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara.” (QS Ali Imran:103)
Oleh sebab itu jelas sudah Islam melarang tegas adanya disintegrasi, namun sangat berbeda dengan sistem demokrasi, sangat lamban dalam menangani masalah ini.
Wallahu a'lam bishowab.