Oleh : Desi Anggraini
(Pendidik Palembang )
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berharap, aparat kepolisian dapat berlaku adil dan transparan dalam memproses hukum Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS).
Nasir menilai, dengan datangnya Habib Rizieq ke Polda Metro Jaya untuk menjalani pemeriksaan status tersangka, kasus kerumunan di Jakarta dan Megamendung Bogor itu menunjukkan bahwa HRS kooperatif.
"Sejak awal kita menilai bahwa HRS koperatif dengan aparat penegak hukum," kata dia.
Politikus PKS ini juga berharap agar proses hukum berjalan dengan adil dan transparan karena HRS pun punya hak untuk diperlakukan setara di depan hukum dan tidak dikriminalisasikan," tegasnya.
Keadilan Hukum Berlaku Untuk Siapa?
Pakar hukum tata negara, Refly Harun, mengatakan dalam kanal YouTube-nya, HR5 tidak dijerat pasal 93 tentang kekarantinaan kesehatan karena hal itu akan memunculkan perdebatan.
Sebab, pada waktu terjadinya kerumunan Petamburan, saat itu DKI dalam masa PSBB transisi dan pemberlakuan peraturan ini berdasarkan peraturan Gubernur bukan Nasional. Oleh karena itu, kerumunan di Petamburan disebutkan sebagai pelanggaran administratif.
“Nah rupanya polisi tidak puas kalau hanya mengenakan Pasal 93 yang debatable. Pasal 93 UU No.6 Tahun 2018, era pemerintahan Jokowi sendiri, maka dicarilah pasal baru dalam KUHP yaitu Pasal 160 mengenai penghasutan,” ungkap Refly.
Selama masa pandemi, sebenarnya ada banyak kasus kerumunan yang melanggar protokol kesehatan. Termasuk kerumunan pilkada yang melibatkan calon kepala daerah. Namun, kasus kerumunan yang ditindak tegas dan dramatis hanyalah kasus kerumunan HR5.
Apakah kerumunan memiliki makna yang berbeda? Ada ribuan anggota KPPS yang reaktif Covid-19, bisakah kerumunan pilkada dipidanakan? Jika memang kerumunan melanggar aturan, mestinya hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Siapa pun yang membuat kerumunan massa harusnya ditindak tegas. Jangan dipilih-pilih semaunya.
Jika ada warga berkerumun karena melakukan hajatan nikah, lalu protokol kesehatan tidak dijalankan, akankah dijerat dengan pasal yang sama seperti yang dialami HR5? Kalaulah negeri ini berkomitmen sebagai negara hukum, maka perlakukan hukum secara adil dan berimbang. Tidak tumpul ke atas, lalu tajam ke bawah.
Jika keadilan tidak ditegakkan, kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum akan runtuh. Janganlah hukum digunakan untuk memukul lawan. Bukankah semua orang harus diperlakukan sama di mata hukum?
Hanya saja, dalam praktiknya, hukum dalam sistem demokrasi memang rentan dijadikan alat kepentingan. Kekuasaan. Jika hukum sudah ternodai dengan kepentingan kekuasaan, maka saat itu hukum tak bisa melihat lagi benar dan salah. Pada akhirnya kebenaran ditentukan oleh mereka yang memegang kendali kekuasaan.
Keadilan dalam demokrasi mustahil bebas kepentingan. Sebab, demokrasi memberi peluang tegaknya hukum sesuai kehendak manusia. Di sinilah kelemahan demokrasi. Bagaimana mau mewujudkan keadilan sementara hukumnya sendiri bisa berubah-ubah sesuai kepentingan manusia?
Keadilan Hukum dalam Islam
Keadilan merupakan hal yang paling esensial dalam kehidupan. Tanpa keadilan, mustahil kehidupan ini berjalan harmonis dan seimbang. Adil adalah salah satu sifat yang harus dimiliki seseorang dalam rangka menegakkan kebenaran kepada siapa pun tanpa kecuali.
Bahkan sifat adil menjadi syarat wajib bagi seseorang yang dicalonkan sebagai khalifah bagi kaum muslim. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya sifat adil dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Secara bahasa adil berarti tidak berat sebelah; tidak memihak; atau menyampaikan yang satu dengan yang lain.
Menurut Ibnu Khaldun, adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya. Maksudnya memenuhi hak-hak orang yang berhak dan melaksanakan tugas-tugas atau kewajiban sesuai dengan fungsi dan peranannya dalam masyarakat. Lafaz adil disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 28 kali yang terdapat pada 28 ayat dalam 11 surat.
Dalam surat an-Nisa’ [4] ayat 58 disebutkan, “Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” Ayat ini memerintahkan agar manusia berlaku adil dalam menetapkan hukum di antara manusia. Jika hukum yang ditetapkan tidak adil, maka berakibat pada pincangnya kehidupan dan maraknya diskriminasi.
Bersikap adil mengantarkan pada takwa. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (TQS al-Maidah: [5]: 8)
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, disebutkan bahwa Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i menggarisbawahi tentang kewajiban hakim untuk berlaku adil terhadap orang yang berperkara. Hal. Ini sesuai dengan surat Amr bin Abi Syaibah yang dikirim ke Basrah dalam bidang peradilan dengan sanad dari Ummu Salamah, yakni Rasulullah Saw berkata bahwa siapa saja yang diserahi tugas sebagai hakim, maka hendaklah ia berlaku adil dalam ucapan, tindakan, dan kedudukan.
Demikian juga surat Khalifah Umar bin Khaththab kepada Abu Musa Al Asy’ari yang diangkat menjadi hakim di Kuffah. Dalam surat itu berbunyi, “Samaratakan lah manusia dalam persidangan, kedudukan, dan keputusanmu sehingga tidak ada celah bagi orang terpandang yang menginginkan agar kamu menyeleweng dan tidak berlaku adil. Begitu pula tidak akan putus asa kaum yang lemah dan mendambakan keadilan darimu.”
Allah memerintahkan setiap hamba-Nya untuk berlaku adil. Karena keadilan itu akan membawa nilai kebaikan, kejujuran, dan kebahagiaan hidup. Lawan kata adil adalah zalim. Siapa saja yang tidak berbuat adil, maka orang itu pasti zalim. Begitulah Islam menetapkan adil dan zalim sesuai timbangan syariat. Bukan sesuai kemauan penguasa sebagaimana fakta keadilan yang terjadi hari ini.
Dalam Islam, proses penyelesaian suatu perkara membutuhkan persaksian dua orang saksi yang adil. Allah berfirman dalam surat an-Nisa [4] ayat 135, yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.”
Demikian prinsip keadilan dalam Islam yang Allah perintahkan. Penerapan keadilan hukum dalam Islam tidak membedakan musuh, sahabat, relasi, atau rival. Adakah keadilan seperti ini bisa tegak dalam kubangan sistem demokrasi?
Dalam demokrasi, pembuat hukumnya, pelaksananya, dan pengeksekusinya adalah manusia. Manusia yang sangat mungkin tersandera kepentingan tertentu. Jika demokrasi tak mampu memberi keadilan, lantas mengapa kita masih betah dan bertahan dengan sistem ini? Ingatlah, keadilan hakiki hanya bisa diraih jika kita menerapkan aturan dari Zat Mahaadil, Allah Swt.
Wallahu a'lam bishawab