Layakkah Hukuman Mati bagi Koruptor?




Oleh Amma Faiq


Korupsi masih menggurita di bumi pertiwi. Tak pilih pandang dan jabatan. Tentu masih kuat dalam ingatan kasus korupsi yang menimpa Menteri Sosial Juliari Batubara. Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan bakal mendalami dugaan aliran uang haram kasus suap pengadaan bantuan sosial Covid-19 yang turut dinikmati pihak lain selain Menteri Sosial (merdeka.com/13/12/2020).

Ancaman hukuman mati terhadap pejabat yang korupsi kembali muncul di public. Setelah terungkap 2 kasus korupsi yang melibatkan menteri aktif terungkap (cnbcindonesia.com/10/12/2020). Pro kontra hukuman mati bagi koruptor pun bermunculan. Bagi Indonesia, ini jelaslah hukuman mengerikan yang belum pernah diterapkan.

Namun, bagi sejumlah negara, hukuman mati bukanlah sekedar wacana. Sebut saja negara Tiongkok dan Korea Utara. Tiongkok telah menerapkan eksekusi mati bagi para penjahat yang mencuri uang negara. Begitu pula dengan Korea Utara. Pada tahun 2015, tercatat sekitar 50 pejabat telah dieksekusi mati (idntimes.com/30/04/2020).

Adanya kasus korupsi meski dimasa pandemi merupakan gambaran dari kegagalan sistem demokrasi dalam melahirkan pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab. Sistem pemilihan dalam sistem demokrasi juga merupakan sistem yang bisa dikatakan memerlukan banyak biaya. Sehingga selalu membuka peluang untuk melakukan korupsi dengan mengembalikan modal.

Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Dalam sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah pemilihan pemimpin dilakukan berdasarkan tingkat keimanan dan ketakwaan selain melihat tingkat kemampuannya. Untuk mencegah dan mennghentikan korupsi. Khilafah juga memiliki aturan tersendiri yang didasarkan kepada syariat Islam.

Salah satu contohnya adalah pada masa Khalifah Umar bin Khatab. Khalifah Umar mengangkat Muhammad bin Maslamah sebagai badan pengawas keuangan yang bertugas mengawasi keuangan negara dan para pemimpinnya. Khilafah akan mengawasi jumlah kepemilikan harta yang dimiliki setiap penguasa dan jika ada harta tidak wajar yang berlebih selama masa menjabat tanpa ada pembuktian yang jelas, maka penguasa tersebut dinyatakan melakukan korupsi.

Khilafah juga memberikan gaji yang layak dan cukup bagi aparatur negara agar tidak melakukan kegiatan korupsi. Selain itu, bagi seluruh warga negara juga ada jaminan pemenuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan dari negara. Tak kalah penting adalah dorongan keimanan yang kuat yang selalu dijaga oleh negara dan masyarakat serta pemberian tsaqafah Islam kepada seluruh masyarakat. 

Hal ini akan membuat seseorang enggan melakukan kemaksiatan. Belum lagi sistem sanksi dalam Khilafah yang dapat menjerakan. Hukuman bagi koruptor tidaklah sama dengan hukuman pencuri. Sebab, para koruptor sejatinya telah mengkhianati amanahnya sebagai aparatur negara dan pemimpin umat. Seorang koruptor akan dijatuhi sanksi ta'zir yaitu hukuman yang dapat menjerakan sesuai dengan kadar pelanggarannya sebagai Khaain (pengkhianat).

Hukuman yang diberikan kepada koruptor merupakan sanksi tegas yang hanya boleh ditentukan oleh hakim (Qadhi) sesuai dengan dalil hukum syara' yang ada. Sanksi dapat berupa teguran, penjara, pengenaan denda, pengumuman didepan khalayak, pencambukan atau bahkan hukuman mati. Hadits dari Jabir ra menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan (termasuk korupsi)".

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak