Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis
Di dalam Undang-undang (UU) No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dan UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, Dewan Perwakilan Rakyat telah mengamanatkan kuota 30% untuk perempuan. Kuota ini digadang – gadang akan memberikan pengaruh signifikan terhadap kesejahteraan perempuan.
Karenanya, kaum perempuan juga tak luput dari keterlibatannya mencoba bersaing dalam pesta demokrasi, walaupun menuai kontroversi dikarenakan acara pesta rakyat kali ini, digelar di tengah pandemi covid-19. Hal itu dilakukan karena dianggap sebagai jalan perjuangan kaum perempuan dan untuk memperjuangkan hak rakyat.
Kalau kita perhatikan, sejak demokrasi muncul, kendali kekuasaan berada di tangan para intelektual dan orang - orang bermodal. Pada akhirnya kebijakan negara pun lebih banyak diarahkan untuk kepentingan kelompok tersebut. Hingga kini, di negara demokrasi manapun, kelompok kapitalislah yang menjadi pemilik kekuasaan bahkan kedaulatan. Mayoritas rakyat dipaksa untuk mengikuti suara segelintir orang yang mampu membeli suara rakyat tersebut. Itulah demokrasi yang menyerahkan segala urusannya kepada rakyat. Maka dari itu, kelompok rakyat yang dianggap kuat yang akan menentukan arah negara.
Lalu, apa yang sudah demokrasi berikan untuk perempuan?. Sesungguhnya sistem buatan manusia ini telah memberi kado pahit kepada masyarakat, tak terkecuali perempuan. Saat kekuasaan dipegang oleh penguasa yang disokong kapitalis, maka kepentingan rakyat akan diabaikan. Karena itulah, sistem demokrasi - liberal telah memproduksi jutaan perempuan miskin di seluruh penjuru dunia. Mereka dibuat tidak berpendidikan, tidak sehat, tidak aman dan di paksa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
Demokrasi yang bertumpu pada kebebasan telah menjadikan keuntungan materi dan finansial menjadi prinsip fundamental dalam pembuatan undang-undang. Misalnya, industri fashion, obat-obat diet dan kosmetik secara legal dibolehkan ada untuk membuat perempuan merasa bahagia dengan penampilan fisik mereka. Industri pornografi, baik dalam bentuk produk film, majalah dan media lainnya legal dalam sistem demokrasi. Akibatnya, masyarakat terpapar oleh berbagai rangsangan seksual dahsyat yang mendorong mereka untuk melakukan perilaku bejat free sex. Hasilnya? Perselingkuhan, kehamilan tidak sah, aborsi dan ragam penyakit seksual masyarakat, termasuk perempuan. Sementara para kapitalis meraup untung dengan adanya industri tersebut.
Demokrasi sekuler ini pun mengajarkan, jika perempuan ingin hidup sejahtera dan bahagia, mestilah ia harus setara dan sejajar dengan laki-laki dalam ukuran materi. Ia akan dihargai dengan lembaran dolar, rupiah yang didapat dengan keringatnya. Para pendukung kesetaraan gender pun mempromosikan bahwa laki-laki dan perempuan harus memiliki hak yang sama, peran dan tanggung jawab yang sama dalam semua bidang kehidupan, termasuk politik.
Selain itu, ada harga mahal yang ditebus perempuan akibat keinginannya sejajar dengan laki – laki. Diantaranya, demokrasi telah menyerang peran keibuan. Ibu yang seharusnya mengasuh dan mendidik anak - anaknya harus menjadi mesin uang dan menduduki kursi jabatan strategis, tanpa pernah mendapatkan penjaga kehormatan, kesehatan, bahkan keamanan. Selanjutnya pendidikan anak menjadi tidak maksimal, bahkan keutuhan keluarga dipertaruhkan.
Kerugian besar yang diderita perempuan dan masih terus dirasakan hingga saat ini, seharusnya memunculkan kesadaran bahwa demokrasi bukan tumpuan harapan perempuan. Kesejahteraan dan kemuliaan perempuan bukan dijamin oleh ide kesetaraan gender dan program pemberdayaan perempuan. Maka, islam sebenarnya telah memiliki serangkaian sistem yang menjadikan perempuan terjaga segala kebutuhannya. Tinggal maukah para perempuan memepelajarinya dan berupaya untuk menerapkannya.
Waallahu’alam bi showab